Selasa, 01 Mei 2012

Cerpen Cinta Romantis "Ditimang Alun Asmara"

DITIMANG ALUN ASMARA
Cerpen Ilham

Langit yang indah. Terbang melayang di atas angkasa yang dipenuhi malaikat cinta di sampingku. Kornea mataku menatap seluruh isi taman firdaus. Rerumputannya menghijau dipenuhi bunga indah beribu warna dan aroma berbeda. Ada merah, kuning, putih, dan jingga. Semua itu nampak jelas kurasa. Sungguh anugrah tuhan luar biasa nikmat. Hari yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Dapat melayang menembus nirwana bersama malaikat-malaikat cinta bersenggama di hamparan taman firdaus penuh bunga. Ingin rasanya aku hidup selamanya. Terima kasih telah membawaku ke alam yang sebelumnya tak pernah kujamah.
“ Akhh “ tiba-tiba aku tersentak kaget. Semua malaikat cinta dan indah taman firdaus seketika menghilang dari rasaku. Dasar, hanya akibat Suara serene mobil ambulance lewat segalanya pamit dari lamunku. Andai dapat, ingin rasanya aku mengejar mobil jenazah itu. Kan kucaci supirnya. Membuat segalanya indah sekejap saja. Yah, meskipun di sisi lain, pasti ada sebab mengapa sirene itu berbunyi. Kalau bukan mayat berarti itu pasien yang sedang bertarung pada maut.


Hanya beberapa detik saja mobil jenazah itu berlalu dari tatap dan dengarku. Mobil angkot tumpanganku tiba-tiba terhenti, membuatku tersentak. Lalu kucoba mencari tahu apa sebab sehingga supir yang tepat duduk di sampingku itu mengerem mobilnya. Lirik kanan dan kiriku, semuanya baik-baik saja. Tetapi rupanya, setelah aku sedikit menengadah ke atas langit, rupanya yang penyapa mataku hanyalah lampu jalan tiga warna. Merah, kuning dan hijau pertanda semua kendaraan harus berhenti untuk beberapa menit. Lampu merah.

Sekedar menghilangkan rasa kesal yang mulai datang bercengkrama di hatiku, secara sadar dan tak sadarku, aku terfokus pada satu titik kecil di tengah jalan. Semakin kutatapi, semakin pula titik itu tak jelas di mataku. Fikiran-fikiran yang tak pernah kusurati sebelumnya perlahan-lahan berbondong ke jantung hati yang tak pernah enggan untuk berdetak.
***

Di pesisir pantai. Deburan-deburan ombak perlahan terus menciumi pasir pantai. Hembusan angin yang ditiupkan oleh bentang samudra terasa jelas menyapa tubuhku. Semua itu bagaikan hembusan nafasku. Masuk melalui hidung lalu ke kerongkongan dan sejenak bersemayam di rongga perutku. Lalu udara itu kembali terdorong kembali ke kerongkongan dan terhembus melalui mulutku. Begitulah seterusnya. Sebuah anugrah yang tak dapat di kalkulasi.

Tersenyum menyadari semua kenikmatan yang menjelma menjadi keindahan, tiba-tiba terhenti. Tanganku yang sedikit merasa beku seketika terhangatkan dengan adanya genggaman tangan yang kurasa jadi belaian. Senyum pun kembali menghiasi wajahku. Kutatapi dengan dalam wajahnya yang menyumbangkan senyum termanisnya padaku. Kutahu itu. Lesung pipitnya yang seakan air dapat tergenang di dalamnya menambah keestetikaan wajahnya. Sungguh lelaki yang begitu sempurna bagiku. Rasanya akulah wanita yang paling beruntung hidup di dunia ini. Yah meskipun di sisi lain aku menyadari ada sesuatu hal yang mengganjal di sudut relung hatiku. Entahlah.
“ Dinda, dari tadi aku perhatikan, wajahmu sangatlah berbunga-bunga,” sapa mesrahnya dengan genggaman tangannya terasa lembut di tanganku.
“ Ah, kanda bisa saja,” ku coba menepis rasaku agar tak terkubur malu.
“ Dinda. Perasaan seorang wanita itu kan tercurahkan segalanya dari tatap mata dan bentuk senyumnya. Entah itu bahagia maupun rasa gunda,” kata-katanya kembali menusuk jantung hatiku.

Seakan tak menggubris manis ucapnya, aku hanya terus menatap bentang samudra sekedar membagi rasaku di hari itu. Manis seakan terus membukit. Tak dapat dijelaskan lagi. Dengan menyadari tingkah lakunya yang menjadi kebutuhan bagi setiap wanita, wajahku yang tadinya senyum lalu berubah mejadi tawa. Kutatapnya lelaki itu yang sedang bertingkah bagaikan sule sang pelewak di siaran tv. Andai hatiku saat itu terasa gundah, pasti semuanya akan sekejap pamit dari hatiku dengan melihat tingkahnya yang humoris. Dasar lelaki perampok hati. Tuhan, maafkan aku yang telah mempertuhankan perasaanku saat itu.

Jika aku jujur, gigi dan lengkung bibirku telah mengering akibat tawa yang hampir tak pernah mengering melihatnya. Kuputuskan untuk mencerai tingkahnya yang langkah itu. Aku merasa, dengan kondisi berdua sepertinya akan lebih sempurna jika dibumbuhi dengan cumbuan layaknya sepasang merpati putih beradu kasih,
“ Cukup kanda. Duduklah di sampingku. Ada sesuatu hal ingin kukatakan padamu,” kataku ketika tawaku mengering memandangnya.
“ Baiklah tuan putri. Hamba akan menghadap. “ balasnya dengan canda. Namun tak pernah kusangka, katanya yang kedengaran lebai seketika terhapus setelah kedua tanganku dikecupnya penuh kelembutan. Bukan hanya jantung, melainkan hatiku semakin berdegup kencang tak karuan lagi. Mencoba menghilangkan rasa itu, kulayangkan telapak tanganku pada pundaknya sekedar ingin memukul. Aku tahu, ia pasti paham, apa arti pukulan itu. Ditambah lagi dengan senyumku yang salah tingkah. “ jangan kurang ajar yah,” kataku dengan sekedar.

Setelah lelaki itu duduk tepat di sampingku, dengan disejukkan hembusan angin untaian kata kembali terucap di bibirku.
“ Kanda, aku takut, dengan kedekatan kita ini semua teman-temanku akan menilai aku perusak hubungan orang. Aku takut, hanya dengan perasaanku yang mungkin keliru ini segala terasa berubah padaku “.

Dengan kembali membelai kedua telapak tanganku ia pun kembali membalas perkataanku dengan penuh kemesraan,
“ Dinda, aku tahu. Hubungan kita masih sebatas sahabat saja. Dan kini aku masih dalam posisi terikat oleh kasih seorang wanita yang telah lama mengisi kehampaan hatiku. Tapi apakah kita akan menyalahkan tuhan yang telah memberikan kita anugerah berupa perasaan cinta ini. Apalagi di sisi lain mungkin kamu pun menyadari bagaimana tingkah pacarku memaknai rasa sayangnya padaku. Aku ini seorang lelaki yang ingin dimengerti”.

Mendengar bait-bait katanya yang diselubungi rasa sakit, aku seketika terdiam. Dan tak tahu lagi harus berkata apa untuk membalasnya. Kembali suaranya bersemayam di telingaku,
“ Aku sadar, aku yang salah karena tak mampu mengambil kesimpulan perjalanan asmara hidupku ini. beban di pundakku terasa berat untuk dilepaskan. Jika aku berpaling darinya, apakah aku masih dapat dikatakan manusia. Tapi jika aku tak meninggalkan sifatnya, apakah aku akan dapat menjadi manusia. Ia mengungkungku. Aku tak merdeka bersamanya. Hidupku di bawah kuasanya,” kata curahan hatinya begitu pilu kurasa melalui genggaman tangannya yang erat. Andai lelaki mudah meneteskan air mata bagai wanita, mungkin hamparan laut akan semakin asin dengan deraian air matanya. Merasakan apa yang dirasanya, kuputuskan untuk menyirami kepiluannya dengan tatapan mataku padanya,
“ Kanda. Jujur selama ini aku pun merasa sakit jika melihatmu tersiksa dengannya. Hati ini seakan tak rela jika lelaki sesabar dan penyayang sepertimu dilukai dengan sikap sayangnya yang keliru. Mungkin detik ini juga kanda telah tahu, apa dan bagaimana perasaanku padamu. Sebab aku pun tak mampu menepis semua perasaan cinta ini pada kanda,” kataku dengan menumpahkan segala apa yang kurasa.
“ Aku sadar, aku pun keliru karena memiliki perasaan seperti ini padamu. Jadi aku tak akan pernah mengharap perasaan ini akan terbalas. Cukup kanda memahami apa yang kurasa. Sebab aku telah cukup puas dan berbangga, karena memiliki perasaan ini padamu,” lanjut kataku dengan beranjak beberapa langkah darinya.

Mengira semua perasaan akan terlebur dan menyatu pada lautan. Mengira aku akan terlepas dari perasaan yang mungkin keliru ini. Tanpa mencapai menit lepas kataku, tiba-tiba tubuhku terasa hangat. Perasaanku seketika melayang ke nirwana bersama malaikat. Berseggama di taman firdaus penuh bunga. Aku terlena. Rupanya tubuhku kini dalam dekapan pelukannya. Rasa yang menembus ke hatiku sepertinya pelukan atas nama cintanya padaku. Aku tak dapat berbuat apa-apa. Aku hanya mampu menikmati pelukan mesra itu. Tanpa kusadari, kelopak mataku seketika basah. Air mata yang mungkin atas nama kebahagian mengalir berderai deras ke pipiku. Satu persatu butiran-butiran air mata itu menetes jatuh ke bumi. Menyatu bersama putihnya pasir pantai di kala itu.
***

“ Pipp. Pipppp,” secara tiba-tiba angkot yang kutumpangi itu membunyikan klaksonnya membuat lamunku kembali berai. “ Akhh, astagfirullah”. Aku benar-benar kaget saat itu. Aku pun heran sendiri. Mengapa semenjak perasaan cinta yang salah tempat ini tumbuh bersemi padanya aku banyak terdiam. Termenung. Daya khayal yang sangat tinggi. Hari-hariku tak pernah konsen. Aku lepas kendali.

Memandang ke arah depan perempatan jalan, aku pun mengerti apa sebab sang supir membunyikan klakson mobilnya. Rupanya tepat di depan mobil tumpanganku, seorang pengendara sepeda motor yang melesat kencang menerobos lampu merah dan pada akhirnya ia tertabrak oleh truk pemuat sampah.

Sesaat setelah kecelakaan itu, beberapa orang berpakaian polisi datang mengamankan kejadian. Sang pengemudi truk di amankan. Mungkin sekedar mengantisipasi amukan warga. Aku kembali terdiam setelah menyaksikan kejadian itu. Kembali kulihat kendaraan antri disepanjang jalan dengan tatapan kosong. Perlahan demi perlahan tatapan itu kembali kabur. Lambat laun hanya membentuk pandangan di tempat lain.
***

Gulungan ombak terus bergerak pelan membelai pantai. Suara deburnya menjadikan sebuah irama bunyi yang kedengaran merdu. Di tambah lagi dengan untaian kata lelaki itu yang terus terngiang di telinga membuat segalanya semakin terasa indah. “Aku ingin hidup seribu tahun lagi,” sekedar meminjam bait puisi almarhum Hairil Anwar untuk kujadikan kata hati di kala itu.

Mengingat waktu yang semakin berlalu. Matahari tak terasa berubah jadi senja. Mencuri segala terang dan meninggalkan kegelapan pada dunia. Pelan-pelan ia terus mengendap merayap pulang ke malam. Bintang pengantar hari mulai nampak tersenyum di langit malam. Aku tersadar, rupanya wangi semerbak bunga dapat menghilangkan bau seonggok daging yang membusuk.
“ Kanda, siang telah berganti malam. Ada baiknya kita pulang saja. Mungkin tuhan masih akan menyisakan waktu pada kita untuk mengukir kembali suana dan rasa indah seperti di hari ini,” kataku sambil melepas belaian tangannya dari lingkaran perutku. Mendengar kataku, lelaki itu kembali bertingkah lucu membuat penghias senyumnya kembali hadir di kornea mataku.
“ Baiklah tuan putri. Kemana pun engkau mau, matipun aku siap untuk mengantarkanmu,” kalimat candanya yang mampu menusuk relung hatiku untuk kesekian kali. Entah mengapa.

Sebelum beranjak dari tempat terindah itu, tak lupa aku merapikan jilbabku yang terlihat berantakan akibat belaian angin. Namun tak kudaga, ada satu hal yang ingin membuat aku kembali melayang ke nirwana pada saat lelaki itu kembali menatapku. Bola matanya yang indah terpancarkan beribu kata cinta berwujud semerbak bunga. Aku salah tingkah. Aku terikat oleh ketidak mampuan. Tak mampu menahan rasa cinta yang terus mengalir membanjiri hatiku. Mungkin itulah yang dikatakan, tersipu malu akibat cinta.

Malam terus mengalir pelan. Sesampainya di rumah, aku sedikit kaget. Kabar atas kerenggangan hubungan asmarah mereka menukik pelan ke telingaku. Kabarnya, lelaki itu telah mengambil satu keputusan yang menurutku terlalu sakit bagi seorang wanita sepertiku. Rupanya lelaki itu telah benar-benar menepi dari kehidupan wanita yang sebelumnya menjadi teman hidupnya. Mendengar semua itu, aku tak dapat mungkir dari bisik hatiku. Perasaan bersalah seketika menyeruak menghantuiku. Takut, cemas, bukankah akibat rasaku sehingga lelaki itu mengambil keputusan yang mungkin keliru dalam hidupnya?
“ akhhh, tidak. Tidak,” aku kembali tersentak mengenangnya. Mudah-mudahan saja dengan apa yang kupikirkan itu salah. Sebab aku pun yakin. Bukan karena dia aku mencinta. Melainkan karena cintalah aku mampu mengenal dia.

Sekarang semuanya kuserahkan padaNYA. Jika memang cinta itu suatu rahmat, maka tuhan tak akan salahkan siapa-siapa. Tapi jika cinta itu suatu cobaan, maka luputlah aku jadi seorang insan. Dan apabila memang jodoh itu di tangan tuhan, maka IA akan mempertemukanku kembali denganya. Meskipun itu dengan tampang rupa yang berbeda. Tak lama kemudian angkot itu pun kembali melaju setelah keramaian jalan kembali aman. Satu persatu para polisi itu kembali meninggalkan tempat kejadian.
Sekian

Minggu, 23 oktober 2011
Gemabina,

PROFIL PENULIS
Ilham lahir di tinigi 18 februari 1990. di kabupaten Toli-toli, Sul-teng Ilham pertama kali menghirup udara dunia. sekarang Ilham kuliah di Universitas Al-ayariah Mandar kab, Polewali Mandar Sulawesi Barat pada jurusan Bahasa Indonesia semester 6. sekarang Ilham menjabat sebagai Ketua Garakan Mahasiswa Bahasa Indonesia Unasman. pesan " Tatap semangat, hidupkan imajinasimu untuk mengetuk pintu hati Manusia". alamat Facebook illanki21@yahoo.com (ilham jie).

Baca juga Cerpen Cinta, Cerpen Romantis dan Cerpen Remaja yang lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar