YOUR EYES
Cerpen Codet
Cerpen Codet
“Aku pulang!”
“Hai, Zee, apa kabarnya kampus?” tanya Joanna, kakaknya.
“Biasa-biasa saja, sampai aku bertemu dengan pria itu.” Zee membuka sepatu ketsnya dan meletakkannya di rak sepatu di dekat pintu masuk. Ia merebahkan dirinya di sofa. “Dia dosen mata kuliah Kebudayaan Jepang.” Zee mengerang. “Dia genit sekali! Dia masih muda, sekitar 25 tahun.” Zee tidak senang melihat senyum kakaknya. “Ada apa? Oke, dia memang tampan dan populer di kalangan mahasiswa maupun dosen. Tetapi dia bertingkah menyebalkan selama mengajar!”
Joanna menyesap kopinya. Kakaknya itu memang penggemar kopi. “Dia mengedipimu?” Saat adiknya menjawab bahwa dosen itu menatapnya terus-menerus selama mengajar, Joanna memperhatikan adiknya. Hari ini adiknya mengenakan jeans biru pudar dan kaos oranye tanpa lengan. Zee mempunyai mata yang tajam, berbulu mata tebal, dan berkesan angkuh. Alisnya tebal dan bagian kirinya lebih tinggi. Hidungnya kecil mancung dan bibirnya berwarna pink alami serta tipis. Jika tersenyum, hanya satu sudut yang tertarik ke atas. Rambutnya berponi. Jika tidak diurai, rambut itu akan diikat ekor kuda. “Itu wajar saja ‘kan?”
“Itu tidak wajar.” Zee memasang tampang cemberut. Alisnya berkerut dan bertemu di tengah. “Dia sudah menikah. Ada cincin di jari manis tangan kirinya. Oh, dia benar-benar brengsek!”
“Bahaya….” Joanna menatap adiknya yang balas menatapnya penuh tanda tanya. “Bahaya, karena kau bisa saja akan jatuh cinta padanya.”
Zee memukul meja. Matanya yang tajam dan angkuh menatap kakaknya. “Itu tidak mungkin terjadi! Jika ya, berarti salju akan turun di Jakarta!” Joanna kembali menyesap kopinya. Ia hanya tersenyum sambil memandang kebun mawar di halamannya.
***
“Kalian semua boleh pulang, kecuali Azya.”
Zee menyandar di kursinya. Ia melipat lengan dan menumpangkan kaki. Matanya yang tajam menatap white board.
“Sudah saya bilang, jangan memakai topi di kelas.” August, dosen Kebudayaan-nya, mengambil topi dari kepala Zee, membuat Zee menatapnya marah, dan merebut kembali topinya.
“Bapak tidak sopan.” Zee menepuk-tepuk topinya terlebih dulu sebelum memakainya kembali. “Ini sudah bukan jam kuliah, saya berhak mengenakan topi! Nah, silahkan, kenapa Bapak menyuruh saya agar tidak meninggalkan kelas?”
“Sebentar…” August meraih topi Zee dan mengenakannya terbalik. “Nah, dengan begini saya dapat melihat mata Anda yang indah, yang tersembunyi di balik topi Anda.”
Mata Zee menyorot galak. Kurasa aku harus merebus topiku dulu sebelum kupakai lagi. Atau kubuang saja….
“Azya, sepertinya Anda membenci saya….”
“Kenapa Bapak berpikir begitu?”
“Entahlah, sepertinya selama tadi saya memberikan kuliah, Anda selalu mencari-cari kesalahan dan kekurangan saya. Tapi sayang, saya dapat menjawab semua pertanyaan Anda tadi. Dan sepertinya Anda kesal karena saya cerdas.”
Zee menarik sudut bibir kanannya. “Bukankah itu sudah sewajarnya? Saya bertanya karena saya tidak tahu dan ingin tahu. Sedangkan Bapak menjawab karena Bapak adalah dosen. Orang yang sudah banyak pengalaman dan pengetahuan. Lebih dari saya sebagai mahasiswa.”
“Apa yang membuat Anda membenci saya?” tanyanya serius.
Senyum genitnya membuatku muak. Biarpun semua peremuan memuja ketampananmu tetapi aku tidak! Zee bangkit dari kursinya, menghampiri dosennya yang menyandar pada meja dengan santai sambil masih mengenakan topi Zee. “Dengar, ya, Pak. Saya tidak suka Bapak lihat-lihat saya.”
August malah tersenyum, bukan marah. “Ini mata saya, Azya.”
Zee menarik tangan kanan August. “Apa Bapak tidak malu dengan cincin ini? Apa Bapak tidak merasa berdosa? Bapak sudah menikah. Seharusnya Bapak tahu diri!” Zee mengambil tasnya. “Saya mau pulang.”
Tetapi August menarik siku Zee. “Jika saya belum menikah, saya boleh memandangi Anda?”
“Tolong lepaskan saya, Pak. Istri Anda kasihan sekali.” Mata Zee menatap August tajam dan penuh keangkuhan. “Jika Bapak belum menikah mungkin saya akan sedikit memikirkannya.”
“Baiklah.” August membalikkan tubuh Zee dan dengan cepat mendaratkan kecupan singkat di bibir pink gadis itu. “Kuharap kau benar-benar memikirkannya.”
Tamparan Zee sangat keras dan nyaring. “Saya sangat merasa kasihan pada istri Bapak.” Lalu Zee membanting pintu kelas. Ia pergi ke toilet dan menggosok-gosok bibirnya dengan air keran wastafel. Tangan kirinya mencuci tangan kanannya. Manusia yang sangat menjijikkan!
***
Zee ingin sekali bolos pada kuliah kebudayaan Jepang, namun karena Kebudayaan hanya berjatah 1 minggu sekali, Zee mengurungkan niatnya. Jika bukan karena mengincar absen, aku takkan masuk kelasnya!
Sial nasib Zee, saat masuk kelas, kelas masih kosong. Lima belas menit telah lewat dari jadwal namun teman-temannya belum datang. Malah August yang datang. “Mana yang lain?”
Zee membuka topinya. “Saya tidak tahu.”
August mengerutkan dahinya. “Anda tidak tahu? Anda tidak bareng dengan teman yang lain?”
“Tidak, istirahat saya ke perpustakaan sendiri. Bisa kita mulai kuliah? Atau pulang?”
“Kita mulai.” August menerangkan religi masyarakat Jepang. Setelah selesai, ia menoleh pada Zee. “Ada yang ingin ditanyakan?”
“Ya, begini…tiga puluh menit lagi waktu Bapak mengajar akan habis. Teman-teman saya yang lain belum datang juga. Jadi….”
August melipat lengannya. “Mengenai yang barusan saya terangkan, Azya. Apakah ada pertanyaan?”
Zee berdiri dari kursinya dengan cepat. “Saya mau pulang saja.”
August menghmpiri Zee sehingga mereka berdiri berhadap-hadapan. August tersenyum. “Saya suka mata Anda. Sangat menawan, apalagi saat marah. Karena itulah saya jatuh cinta pada Anda.”
Ucapan August benar-benar membuat Zee naik darah. “Beraninya Bapak mengatakan cinta, padahal istri Bapak menunggu dengan setia di rumah!”
“Jika saya tidak punya istri di rumah, bagaimana?”
“Bagaimana apanya? Bapak menjijikkan!”
“Saya akan membuat Anda jatuh cinta pada saya.” August mengembalikan topi ─ yang diambilnya minggu lalu ─ pada Zee.
“Takkan pernah!” Zee benar-benar geram pada August sehingga malamnya ia tidak dapat tidur dengan nyenyak. Sekitar pukul 1 dini hari, Joanna mengetuk pintunya. Zee mempersilahkannya masuk. “Ada apa, Kak?”
“Kau belum tidur? Begini, Zee, aku…aku dilamar oleh teman kantorku. Baru satu bulan aku mengenalnya. Tetapi ia telah mengetahui tentangku sejak setahun yang lalu, sejak aku baru masuk dan bekerja di sana. Dan eh, ia tahu bahwa aku baru saja putus dari Thomas dua bulan yang lalu….”
Mata Zee yang tajam menatap kakaknya. “Lalu? Baru satu bulan Kakak mengenalnya ‘kan? Apa kakak jatuh cinta padanya? Apa kakak akan menerima lamarannya?”
“Karena itu aku ke sini. Kupikir, kau pasti takkan setuju….Ia baik dan aku sangat mencintainya. Tetapi jika kau tak mau aku menerima lamarannya, aku….”
“Tunggu dulu! Jika Kakak menikah dan Kakak akan bahagia, silahkan saja.”
“Aku memang bahagia. Tetapi setelah menikah, aku dan Rai akan tinggal di rumah kontrakannya yang sekarang. Dan kau harus ikut.”
Zee tergelak. “Aku tinggal di rumah kontrakan ini saja. Kakak, aku tidak mau mengganggu. Kakak tidak usah mencemaskanku, aku akan baik-baik saja. Kapan kakak akan menikah?”
Joanna tersipu. “Entahlah. Menurut Rai, jika aku menerima lamarannya, pernikahan akan dilangsungkan secepatnya.”
“Kak Jo tidak sedang hamil ‘kan?”
Joanna tersenyum mengerti akan kekhawatiran adiknya. “Seratus persen belum.”
Dua hari kemudian Joanna mengajak Zee ke rumah Rai. Zee memperhatikan ruang tamu keluarga Rai. Sangat besar, mewah, dan indah. Joanna memperhatikan adiknya. “Aku tidak tahu kalau keluarga Rai sangat kaya, Zee.”
“Orang kaya biasanya sombong.” celetuk Zee asal.
“Siapa yang sombong?”
Zee menoleh. Ia nyengir. “Kak Rai….”
Rai merupakan pria tampan dengan postur tubuh tinggi, 6 pacs, dan mempunyai senyum menawan. Kali ini pun ia sedang memperlihatkan senyumnya itu. “Jo, Zee, ini Ayah, Ibu, dan adikku, Ratu.”
Ibu Rai langsung menghampiri Joanna. “Wah, kau lebih cantik dari fotomu, Sayang!”
Zee bersalaman dengan Ayah dan adik Rai, yang menurut Zee masih kelas 1 SMU. Setelah itu ia dipeluk Ibu Rai. Ibu Rai bertanya pada Joanna dan Rai mengenai tanggal pernikahan. Ia kelihatan sangat memperhatikan Joanna. Syukurlah, pikir Zee.
“Aku ingin meminta pendapat Agi.” Rai menoleh pada calon istrinya. “Sebab aku sangat menghormati kakakku itu.” Rai meremas tangan Joanna sayang. “Bagaimana menurutmu, Jo, Ayah, Ibu?”
Joanna mengangguk tersenyum. “Aku ikut saja.”
“Terserah kalian saja kalau begitu.” ujar Ayahnya.
“Tapi cepat, ya!” Ibunya menepuk-tepuk bahu Joanna sayang. Sebenarnya Ibu sangat ingin menimang cucu.”
Ratu protes. “Ibu ini bagaimana, sih? Kan masih ada aku yang lucu!”
“Lucu sih lucu. Tapi kau terlalu berat untuk Ibu gendong.”
Semuanya tertawa.
Zee mengerutkan kening memperhatikan Ratu. Sepertinya ia mengenal wajah dan tawa itu, entah dimana.
Sekitar pukul 7 malam mereka pergi ke ruang makan untuk makan malam sementara Zee dan Ratu sudah akrab. “Ya, begitulah. Aku tidak tahu kapan Agi akan punya pacar lagi. Aku sangat mengkhawatirkannya. Semoga makan malam kali ini Agi datang.”
Zee tersenyum menanggapi. Jadi Agi ditinggal kekasihnya. Ia pasti sangat sedih sekali. Tapi kurasa ia mengagumkan sebab ia pernah mencintai sedalam itu. aku saja belum pernah jatuh cinta!
“Agi datang!” Ratu berlari dan langsung memeluk Agi yang baru datang. Zee ingin melihat seperti apa Agi. Ia menerobos kerumunan dan langsung terhenyak. Agi adalah Pak August! August terlihat bingung dan sama terkejutnya dengan Zee.
“Azya ini mahasiswaku.” ujar August salah tingkah. Zee memperhatikan August. Pantas saja aku merasa mengenal Ratu, ternyata wajah Ratu mirip dengan August! “Eh, ayo Azya, ada yang ingin saya bicarakan.” August menariknya dari kerumunan. “Kalian makan malam duluan saja, aku dan Azya akan menyusul.” August membawanya ke taman di belakang rumah. Di tengah taman terdapat ayunan bercat putih. Tercium aroma mawar merah yang segar dan manis, seperti di kebun kecil milik kakaknya.
Zee memperhatikan jari manis tangan kiri August. “Kenapa hari ini tidak mengenakan cincin? Saya tahu dari Ratu kalau Bapak belum menikah.”
“Tolong dengarkan saya, Azya.” August mengeluarkan cincin dari sakunya. “Ini cincin yang diberikan pacar pertama saya, Arrifah. Sejak ia meninggal, saya berjanji pada diri saya sendiri takkan pernah jatuh cinta lagi. Jika saya jatuh cinta, itu sama saja saya mengkhianati Arafah. Selama Sembilan tahun saya bertahan, namun entah kenapa saat melihat mata Anda….”
“Mata saya mirip dengan mata Arrifah?” Entah kenapa, dada Zee terasa sakit.
August tersenyum sedih. Ia menggeleng lalu menatap Zee. “Mata Anda telah membuat dada saya bergemuruh lagi, sejak sembilan tahun lamanya terasa hampa. Dan saya sadar saya telah jatuh cinta pada Anda. Kaulihat cincin ini? Hanya sebagai benteng, agar tidak ada wanita yang berharap lebih pada saya.” Tatapan matanya melembut. “Ironisnya, saya malah jatuh cinta pada Anda.”
“Banyak yang jatuh cinta pada mata saya. Terima kasih. Saya…mengagumi cinta Bapak. Tentu Arifah sangat beruntung dicintai Bapak. Setelah Sembilan tahun, kenapa justru saya? Saya tidak pernah mencintai seseorang sebelumnya. Banyak orang ingin mengajak saya pacaran tetapi saya tidak merasakan apa-apa.” Jantung Zee tiba-tiba berdebar dengan kencang. “Tapi entah kenapa, sekarang saya merasa sesak dan berdebar….”
“Bolehkah saya melabuhkan hati saya pada Anda, Azya? Saya ‘kan belum menikah.”
Azya tersenyum cerah. “Boleh saya memikirkannya dulu?”
“Tentu saja, pikirkanlah secara perlahan.” August mengulurkan tangannya. “Ayo kita makan malam.”
Zee menyambut uluran tangan August. Hangat. Tanpa terasa air mata Zee menetes. Aku telah jatuh cinta….
12 Februari 2005
End
Zee menyandar di kursinya. Ia melipat lengan dan menumpangkan kaki. Matanya yang tajam menatap white board.
“Sudah saya bilang, jangan memakai topi di kelas.” August, dosen Kebudayaan-nya, mengambil topi dari kepala Zee, membuat Zee menatapnya marah, dan merebut kembali topinya.
“Bapak tidak sopan.” Zee menepuk-tepuk topinya terlebih dulu sebelum memakainya kembali. “Ini sudah bukan jam kuliah, saya berhak mengenakan topi! Nah, silahkan, kenapa Bapak menyuruh saya agar tidak meninggalkan kelas?”
“Sebentar…” August meraih topi Zee dan mengenakannya terbalik. “Nah, dengan begini saya dapat melihat mata Anda yang indah, yang tersembunyi di balik topi Anda.”
Mata Zee menyorot galak. Kurasa aku harus merebus topiku dulu sebelum kupakai lagi. Atau kubuang saja….
“Azya, sepertinya Anda membenci saya….”
“Kenapa Bapak berpikir begitu?”
“Entahlah, sepertinya selama tadi saya memberikan kuliah, Anda selalu mencari-cari kesalahan dan kekurangan saya. Tapi sayang, saya dapat menjawab semua pertanyaan Anda tadi. Dan sepertinya Anda kesal karena saya cerdas.”
Zee menarik sudut bibir kanannya. “Bukankah itu sudah sewajarnya? Saya bertanya karena saya tidak tahu dan ingin tahu. Sedangkan Bapak menjawab karena Bapak adalah dosen. Orang yang sudah banyak pengalaman dan pengetahuan. Lebih dari saya sebagai mahasiswa.”
“Apa yang membuat Anda membenci saya?” tanyanya serius.
Senyum genitnya membuatku muak. Biarpun semua peremuan memuja ketampananmu tetapi aku tidak! Zee bangkit dari kursinya, menghampiri dosennya yang menyandar pada meja dengan santai sambil masih mengenakan topi Zee. “Dengar, ya, Pak. Saya tidak suka Bapak lihat-lihat saya.”
August malah tersenyum, bukan marah. “Ini mata saya, Azya.”
Zee menarik tangan kanan August. “Apa Bapak tidak malu dengan cincin ini? Apa Bapak tidak merasa berdosa? Bapak sudah menikah. Seharusnya Bapak tahu diri!” Zee mengambil tasnya. “Saya mau pulang.”
Tetapi August menarik siku Zee. “Jika saya belum menikah, saya boleh memandangi Anda?”
“Tolong lepaskan saya, Pak. Istri Anda kasihan sekali.” Mata Zee menatap August tajam dan penuh keangkuhan. “Jika Bapak belum menikah mungkin saya akan sedikit memikirkannya.”
“Baiklah.” August membalikkan tubuh Zee dan dengan cepat mendaratkan kecupan singkat di bibir pink gadis itu. “Kuharap kau benar-benar memikirkannya.”
Tamparan Zee sangat keras dan nyaring. “Saya sangat merasa kasihan pada istri Bapak.” Lalu Zee membanting pintu kelas. Ia pergi ke toilet dan menggosok-gosok bibirnya dengan air keran wastafel. Tangan kirinya mencuci tangan kanannya. Manusia yang sangat menjijikkan!
***
Zee ingin sekali bolos pada kuliah kebudayaan Jepang, namun karena Kebudayaan hanya berjatah 1 minggu sekali, Zee mengurungkan niatnya. Jika bukan karena mengincar absen, aku takkan masuk kelasnya!
Sial nasib Zee, saat masuk kelas, kelas masih kosong. Lima belas menit telah lewat dari jadwal namun teman-temannya belum datang. Malah August yang datang. “Mana yang lain?”
Zee membuka topinya. “Saya tidak tahu.”
August mengerutkan dahinya. “Anda tidak tahu? Anda tidak bareng dengan teman yang lain?”
“Tidak, istirahat saya ke perpustakaan sendiri. Bisa kita mulai kuliah? Atau pulang?”
“Kita mulai.” August menerangkan religi masyarakat Jepang. Setelah selesai, ia menoleh pada Zee. “Ada yang ingin ditanyakan?”
“Ya, begini…tiga puluh menit lagi waktu Bapak mengajar akan habis. Teman-teman saya yang lain belum datang juga. Jadi….”
August melipat lengannya. “Mengenai yang barusan saya terangkan, Azya. Apakah ada pertanyaan?”
Zee berdiri dari kursinya dengan cepat. “Saya mau pulang saja.”
August menghmpiri Zee sehingga mereka berdiri berhadap-hadapan. August tersenyum. “Saya suka mata Anda. Sangat menawan, apalagi saat marah. Karena itulah saya jatuh cinta pada Anda.”
Ucapan August benar-benar membuat Zee naik darah. “Beraninya Bapak mengatakan cinta, padahal istri Bapak menunggu dengan setia di rumah!”
“Jika saya tidak punya istri di rumah, bagaimana?”
“Bagaimana apanya? Bapak menjijikkan!”
“Saya akan membuat Anda jatuh cinta pada saya.” August mengembalikan topi ─ yang diambilnya minggu lalu ─ pada Zee.
“Takkan pernah!” Zee benar-benar geram pada August sehingga malamnya ia tidak dapat tidur dengan nyenyak. Sekitar pukul 1 dini hari, Joanna mengetuk pintunya. Zee mempersilahkannya masuk. “Ada apa, Kak?”
“Kau belum tidur? Begini, Zee, aku…aku dilamar oleh teman kantorku. Baru satu bulan aku mengenalnya. Tetapi ia telah mengetahui tentangku sejak setahun yang lalu, sejak aku baru masuk dan bekerja di sana. Dan eh, ia tahu bahwa aku baru saja putus dari Thomas dua bulan yang lalu….”
Mata Zee yang tajam menatap kakaknya. “Lalu? Baru satu bulan Kakak mengenalnya ‘kan? Apa kakak jatuh cinta padanya? Apa kakak akan menerima lamarannya?”
“Karena itu aku ke sini. Kupikir, kau pasti takkan setuju….Ia baik dan aku sangat mencintainya. Tetapi jika kau tak mau aku menerima lamarannya, aku….”
“Tunggu dulu! Jika Kakak menikah dan Kakak akan bahagia, silahkan saja.”
“Aku memang bahagia. Tetapi setelah menikah, aku dan Rai akan tinggal di rumah kontrakannya yang sekarang. Dan kau harus ikut.”
Zee tergelak. “Aku tinggal di rumah kontrakan ini saja. Kakak, aku tidak mau mengganggu. Kakak tidak usah mencemaskanku, aku akan baik-baik saja. Kapan kakak akan menikah?”
Joanna tersipu. “Entahlah. Menurut Rai, jika aku menerima lamarannya, pernikahan akan dilangsungkan secepatnya.”
“Kak Jo tidak sedang hamil ‘kan?”
Joanna tersenyum mengerti akan kekhawatiran adiknya. “Seratus persen belum.”
Dua hari kemudian Joanna mengajak Zee ke rumah Rai. Zee memperhatikan ruang tamu keluarga Rai. Sangat besar, mewah, dan indah. Joanna memperhatikan adiknya. “Aku tidak tahu kalau keluarga Rai sangat kaya, Zee.”
“Orang kaya biasanya sombong.” celetuk Zee asal.
“Siapa yang sombong?”
Zee menoleh. Ia nyengir. “Kak Rai….”
Rai merupakan pria tampan dengan postur tubuh tinggi, 6 pacs, dan mempunyai senyum menawan. Kali ini pun ia sedang memperlihatkan senyumnya itu. “Jo, Zee, ini Ayah, Ibu, dan adikku, Ratu.”
Ibu Rai langsung menghampiri Joanna. “Wah, kau lebih cantik dari fotomu, Sayang!”
Zee bersalaman dengan Ayah dan adik Rai, yang menurut Zee masih kelas 1 SMU. Setelah itu ia dipeluk Ibu Rai. Ibu Rai bertanya pada Joanna dan Rai mengenai tanggal pernikahan. Ia kelihatan sangat memperhatikan Joanna. Syukurlah, pikir Zee.
“Aku ingin meminta pendapat Agi.” Rai menoleh pada calon istrinya. “Sebab aku sangat menghormati kakakku itu.” Rai meremas tangan Joanna sayang. “Bagaimana menurutmu, Jo, Ayah, Ibu?”
Joanna mengangguk tersenyum. “Aku ikut saja.”
“Terserah kalian saja kalau begitu.” ujar Ayahnya.
“Tapi cepat, ya!” Ibunya menepuk-tepuk bahu Joanna sayang. Sebenarnya Ibu sangat ingin menimang cucu.”
Ratu protes. “Ibu ini bagaimana, sih? Kan masih ada aku yang lucu!”
“Lucu sih lucu. Tapi kau terlalu berat untuk Ibu gendong.”
Semuanya tertawa.
Zee mengerutkan kening memperhatikan Ratu. Sepertinya ia mengenal wajah dan tawa itu, entah dimana.
Sekitar pukul 7 malam mereka pergi ke ruang makan untuk makan malam sementara Zee dan Ratu sudah akrab. “Ya, begitulah. Aku tidak tahu kapan Agi akan punya pacar lagi. Aku sangat mengkhawatirkannya. Semoga makan malam kali ini Agi datang.”
Zee tersenyum menanggapi. Jadi Agi ditinggal kekasihnya. Ia pasti sangat sedih sekali. Tapi kurasa ia mengagumkan sebab ia pernah mencintai sedalam itu. aku saja belum pernah jatuh cinta!
“Agi datang!” Ratu berlari dan langsung memeluk Agi yang baru datang. Zee ingin melihat seperti apa Agi. Ia menerobos kerumunan dan langsung terhenyak. Agi adalah Pak August! August terlihat bingung dan sama terkejutnya dengan Zee.
“Azya ini mahasiswaku.” ujar August salah tingkah. Zee memperhatikan August. Pantas saja aku merasa mengenal Ratu, ternyata wajah Ratu mirip dengan August! “Eh, ayo Azya, ada yang ingin saya bicarakan.” August menariknya dari kerumunan. “Kalian makan malam duluan saja, aku dan Azya akan menyusul.” August membawanya ke taman di belakang rumah. Di tengah taman terdapat ayunan bercat putih. Tercium aroma mawar merah yang segar dan manis, seperti di kebun kecil milik kakaknya.
Zee memperhatikan jari manis tangan kiri August. “Kenapa hari ini tidak mengenakan cincin? Saya tahu dari Ratu kalau Bapak belum menikah.”
“Tolong dengarkan saya, Azya.” August mengeluarkan cincin dari sakunya. “Ini cincin yang diberikan pacar pertama saya, Arrifah. Sejak ia meninggal, saya berjanji pada diri saya sendiri takkan pernah jatuh cinta lagi. Jika saya jatuh cinta, itu sama saja saya mengkhianati Arafah. Selama Sembilan tahun saya bertahan, namun entah kenapa saat melihat mata Anda….”
“Mata saya mirip dengan mata Arrifah?” Entah kenapa, dada Zee terasa sakit.
August tersenyum sedih. Ia menggeleng lalu menatap Zee. “Mata Anda telah membuat dada saya bergemuruh lagi, sejak sembilan tahun lamanya terasa hampa. Dan saya sadar saya telah jatuh cinta pada Anda. Kaulihat cincin ini? Hanya sebagai benteng, agar tidak ada wanita yang berharap lebih pada saya.” Tatapan matanya melembut. “Ironisnya, saya malah jatuh cinta pada Anda.”
“Banyak yang jatuh cinta pada mata saya. Terima kasih. Saya…mengagumi cinta Bapak. Tentu Arifah sangat beruntung dicintai Bapak. Setelah Sembilan tahun, kenapa justru saya? Saya tidak pernah mencintai seseorang sebelumnya. Banyak orang ingin mengajak saya pacaran tetapi saya tidak merasakan apa-apa.” Jantung Zee tiba-tiba berdebar dengan kencang. “Tapi entah kenapa, sekarang saya merasa sesak dan berdebar….”
“Bolehkah saya melabuhkan hati saya pada Anda, Azya? Saya ‘kan belum menikah.”
Azya tersenyum cerah. “Boleh saya memikirkannya dulu?”
“Tentu saja, pikirkanlah secara perlahan.” August mengulurkan tangannya. “Ayo kita makan malam.”
Zee menyambut uluran tangan August. Hangat. Tanpa terasa air mata Zee menetes. Aku telah jatuh cinta….
12 Februari 2005
End
Baca juga Cerpen Cinta yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar