PEREMPUAN YANG BERTUTUR PADAKU
Cerpen Desto Prastowo
Cerpen Desto Prastowo
Jari-jari lentikmu menggamit sebatang rokok lagi. Mungkin batang yang ketujuh malam ini. Asap mengepul pekat, lekat dalam lamunanmu. Kau jeda sejenak sebelum meneruskan cerita itu lagi. Aku mulai mual karena asap-asap itu menerobos masuk ke paru-paru. Aku bukan perokok tapi aku bertahan, demi kamu. Bahkan, saat derai gerimis mulai menghajar seru.
“Bagaimana itu berawal?” Tanyaku. “Ha.. ha..” kau mulai dengan tawamu yang berderai seperti derai gerimis dan kita tak pernah peduli dengan gerimis ini. Walau basah menjamah baju-baju ini tapi kita tetap nikmati percakapan ini. Dingin seperti meghilang karena kehangatan yang hadir berhasil mengusirnya. Pohon mangga yang melingkupi tempat duduk yang basah ini, mengayunkan rantingnya yang penuh dedaunan untuk memercikan air ke tubuh kita. Sedang kita tenggelam dalam ceritamu. Dengan duduk di atas kursi kayu panjang tanpa meja, tak ada teman selain kita kecuali dua cangkir sisa Capuccino yang tertutup, kau taruh sembarangan di bawah kursi yang kita duduki. “Aku sudah merokok sejak SMP”, kau mulai memungut kembali kepingan kaleidoskop hidupmu. “Sejak SMP kelas dua tepatnya. Senior-seniorku di kampung yang mengajariku bagaimana menikmati rokok. So, jangan selalu berfikir kampung itu alim, pergaulannya tak seperti di kota. Aku bisa pastikan, tak jauh beda!” Kau mendesah lalu menghisap, membiarkan asap rokokmu membentuk lingkaran-lingkaran di tengah dingin dan derai gerimis. “Itu gunanya teve!” Kau seperti menarik kesimpulan.
Lalu kau melanjutkan. “Aku tumbuh di lingkungan yang memungkinkanku menjadi gadis yang periang, gampang percaya dan mudah bergaul. Itu mungkin yang jadi masalah utama bagiku”, kau jentikkan jari telunjukmu ke rokokmu, debu rokok berguguran di sampingmu. “Masih lekat dalam ingatanku, tiap ada kumpulan muda-mudi di kampung, disitulah dimulainya transfer pengalaman dari senior ke yunior. Biasanya, selalu ada pertemuan rutin muda-mudi. Selepas arisan atau rapat, kami ngumpul. Awalnya, yang perempuan dengan perempuan dan yang laki-laki dengan laki-laki. Lalu kami bentuk semacam genk, hanya sedikit yang tidak ikut. Kami selalu mengolok-olok yang tidak ikut sebagai orang kolot! Kuper! Kampungan! Ha…ha.. Padahal kami semua orang kampung, ya?!” Tawamu kembali berderai seperti menyambut derai gerimis yang memayungi wajahmu. Bunting-bunting air meleleh pelan di pipimu menuju ke dagu. Sejuk. Kupikir saat itu tak ada yang lebih menyejukkan daripada pipimu.
“Tiap malam minggu genk kami ngumpul. Awalnya, kami yang yunior, yang masih SMP hanya coba-coba merokok. Sebatang-dua batang. Makin lama kami nyoba ikut menegak minuman, satu-dua rolling. Tapi jangan salah, kami tak pernah nyoba nge-drugs! Hanya rokok dan minum. Soal minuman, kami lebih suka ciu atau topi miring. Pertama nyoba mau muntah. Baunya menyengat, hidungku serasa ditusuk-tusuk jarum. Tapi keinginan untuk jadi anggota genk, biar gak diolok-olok, membuatku bertahan. Saat minuman mulai menerobos tenggorokan, tenggorokan ini serasa terbakar. Rasanya pening, saat itu dunia seolah gelap dan berputar-putar seperti komedi putar yang di tarik kencang”, kau berjeda sejenak seraya menata rambutmu yang terkulai basah yang melekat pada jaket coklat matang-mu. Kau terlihat alami dengan rambut yang basah. Ah.. mirip Dian Sastro? Bukan! E.. Luna Maya? Tidak juga, karena matamu tak sebiru miliknya. Nah.. seperti bidadari selepas mandi!
Lau, kau menatap mataku dalam, seperti ingin mencari sesuatu. Dan sepertinya kau tak menemukan apa-apa. Hanya biji matamu yang besar sedikit mengerling. Entah apa maksudnya. Membaca matamu memang pekerjaan paling susah. Seperti waktu aku sekolah dulu yang selalu ketakutan bila bertemu soal matematika, begitu pula saat aku berusaha membaca matamu. Takut. Entah karena apa. Ataukah takut jangan-jangan aku bisa mengetahui yang sebenarnya di balik semua tatapanmu?
Kau lanjutkan lagi ceritamu sedang aku tetap diam. “Senior-senior itu kupikir, memang kurang ajar! Selepas kami sering ikut, mereka mulai minta uang pada kami. Kadang, mereka malah tak ikutan patungan sama sekali untuk membeli minuman. Cuiihhh! Dasar perempuan-perempuan murahan!” Kau lempar muka ke samping. “Mereka juga mengajari kami bagaimana harus cari pacar yang bisa diporoti! Hi..hi..hi… Sekarang aku sadar. Aku juga murahan!” Kau seperti mengutuk lalu menertawakan diri sendiri. Kamu tergelak, mengadah, mempertontonkan lehermu yang berjenjang dan sesuatu mendorong-dorong dari dalam dadaku. Tapi aku tetap diam.
“Tak sampai setahun, kami para yunior, telah sama mahirnya dengan para senior. Kami juga mulai sembarangan, kadang kami ngajak genk laki-laki untuk bergabung bersama kami. Bayangkan apa yang terjadi. Kacau! Dan kamu tahu? Orang tua kami seperti mendiamkan. Keterlaluan!” Kau geleng-gelengkan kepalamu seraya tersenyum, seperti tak percaya. Lalu kau buang putung rokok yang tersisa, menarik satu tanganku lalu menggosok-gosoknya dengan kedua tanganmu. Aku biarkan saja. “Aku mulai merasa dingin. Biar gak dingin, ya?!” Katamu. Aku cuma mengangguk, buyar senyum tak tertahan dari wajahku.
Kau masih memainkan jari-jariku, kadang menempelkannya di pipimu, di bibirmu dan aku masih pegang kendali alam bawah sadarku… “Dan, entah kapan kejadiannya. Mungkin saat itu aku telah SMA. Aku kehilangan keperawananku...”, suaramu kali ini terdengar letih, berat. “Sesungguhnya, swear!” Kau acungkan dua telunjukmu untuk meyakinkanku. “Aku termasuk orang yang conservative bila bicara soal seks.” (Menurutku, pilihan katamu kurang tepat!) “Dan aku bangga mengakui hal itu. Aku orang yang menjunjung tinggi keperawanan, tapi mungkin memang nasib. Karena mabuk berat bersama teman, aku tak tahu kapan dan siapa yang merenggut mahkotaku, bahkan di mana?!” Kau gelengkan kepalamu lagi sambil tersenyum kecut. Gigi-gigi kokohmu menggigit bibirmu yang merah. “Dan.. Aku memang menyesal. Menyesaaal sekali! Dunia serasa berakhir saat itu juga”, katamu lirih. “Namun, berawal dari itu juga, aku mulai gila!” Kali ini kau seperti berteriak. “Aku jadi lebih berani bergaul dengan teman laki-laki. Terlanjur basah! Pikirku”, kau menoleh dan menatap kosong ke samping, seperti menebar lamunan di hadapanku. Menyesali perjalanan hidupmu yang melelahkan yang telah lalu.
Kau lepaskan tanganku dari kedua tanganmu lalu menyalakan rokok kembali. Karena basah, rokokmu jadi sering mati dan kau pun kesulitan menyalakannya kembali. Aku mencoba membantu menyulutnya. “Terima kasih. Mulai saat itu, aku pintar cari lelaki. Dengan modal tampang yang cantik ini!” Kau terlihat begitu percaya diri saat berucap seperti itu. Memang benar, kamu cantik. Amat cantik bahkan, batinku. “Kadang, bahkan aku bisa punya tiga pacar sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Dan, tak ada satu pun dari mereka yang tak mau berkorban demi aku. Mereka semua orang yang kaya atau paling tidak bisa mendapatkan uang yang aku butuhkan. Maklum, biaya hidup makin mahal jadi aku tak bisa terus gantungkan hidupku hanya dari orang tua. Apalagi aku anak kost karena jarak rumah dan sekolahku cukup jauh”, kau berjeda sejenak seperti berfikir. “Huh… Jauh dari orang tua membikin hobi keluar malamku makin lama menjadi-jadi. Selalu ada saja alasan untuk itu. Dan aku jadi sering bolos sekolah. Namun, dengan keadaan seperti itu, malah memudahkanku untuk mendapatkan apa yang kuinginkan. Aku bisa beli HP yang lagi nge-trend, bisa ngisi pulsa tanpa keluar uang sepeser pun. Pakaian. Bisa beli make-up untuk jaga penampilan. Semua dari pacar-pacarku. Tapi, memang butuh keahlian tersendiri untuk bisa berbagi waktu untuk mereka. Aku mencoba untuk tak pernah serius dengan mereka dan ketika salah satu dari mereka mengetahui siapa aku, berapa pacarku, aku langsung putus hubungan dengan mereka semua. Ganti nomor baru, cari korban baru. Dengan potensiku dan kebodohan mereka, hal itu semudah membalikkan telapak tanganku”, kau balikkan satu telapak tanganmu, seolah menunjukkan betapa mudahnya kau melakukan itu.
“Ha..ha.. Kadang aku berfikir kalian itu mirip kerbau. Jinak! Kalian terlalu lemah berhadapan dengan kecantikan. Kami hanya perlu bersikap lemah lembut, sok alim dan kalian pasti langsung percaya pada kami”, kau seperti sedang mengolok-olokku. “Ehm.. Tapi anehnya sejak pertama kita ketemu, aku percaya kamu tidak seperti itu”, kau kembali menatapku lebih dalam, mencoba mencari jawaban. Aku coba alihkan tatapanku. Kau matikan rokokmu seraya berkata, “Ini rokok terakhirku. Aku berhenti demi kamu.” Lalu kau angkat kedua tanganmu dan menaruhnya di kedua pipiku. Hangat serta-merta menjalari sebujur tubuhku, dada ini kembali bergelora tapi aku tetap diam. Kami kembali bertatapan. Kali ini aku berjuang keras mengatasi ketakutanku. Cukup lama. Aku jadi memahami kenapa para lelaki itu begitu mudah kau jinakkan! Kamu benar-benar memahami keinginan laki-laki, bahkan saat masih mereka simpan jauh dalam hati. Mungkin beberapa menit telah lewat dan kita diam dengan posisi seperti itu, tapi kau tak menatapku lagi melainkan tertekuk. Bulir air gerimis meleleh melalui hidungmu yang menunduk. Huiihhh...!!! Aku lagi-lagi jadi memaklumi kenapa para lelaki jadi begitu lemah menghadapi kecantikan. Dan menurutku, kau adalah kecantikan itu sendiri.
Kau lepaskan kedua tanganmu dari wajahku selepas mengusap air yang masih membasahi wajahku. “Sekarang sudah hangat kan?” Kau bertanya sembari sunggingkan senyum di pojok bibirmu. Aku seolah ingin, saat itu juga, waktu berhenti untuk memberiku momen lebih untuk menikmatinya. Dan, aku hanya mampu mengangguk. “Aku lanjutkan ceritaku lagi, ya?” Kau seperti minta ijin padaku. “Namun dibalik petualanganku itu, satu kali, aku pernah benar-benar jatuh cinta. Benar-benar jatuh cinta! Cinta yang akhirnya membawaku sampai di sini. Dia adalah guru baru di sekolahku. Tak ganteng amat tapi dia berbeda dengan laki-laki yang pernah aku kenal. Mungkin karena dia terlihat lebih dewasa daripada para lelaki bodoh itu. Tiap mengajar, dia seperti tengah menghipnotis kami. Cara bicaranya, cara jalannya, caranya menatap. Semuanya. Seolah membuatku merasa orang yang paling berdosa. Sepertinya dia lelaki alim. Seperti kamu, ya.. hi..hi..”, tawamu berderai lagi.
“Dan ternyata, cintaku tak bertepuk sebelah tangan. Dia mencintaiku juga. Namun, tak lama selekasnya, dia pindah kerja ke kota ini. Harapanku terhadapnya tetap menggunung karena dia berjanji menikahiku, menerimaku apa adanya. Ha..ha.. Aku malu kalau mengingat-ingat peristiwa itu. Seperti cerita-cerita cinta di teenlit ya?!” Kau berjeda sejenak, menghela nafas. “Dia bahkan berjanji takkan menyentuhku, sebelum aku menikah dengannya. Tak butuh waktu lama buatku untuk membuat keputusan ikut dengannya ke kota ini. Bahkan tanpa ijin dari orang tuaku karena cinta telah membutakanku. Akhirnya, sampailah aku ke kota ini. Kota yang memenjarakanku dalam kegelapan, sebelum aku bertemu denganmu, tentunya…”, kau menatapku lagi, tersenyum manja. Lalu, kau lanjutkan ceritamu. “Tak lama selepas aku ikut dengannya, kebusukan perlahan kutemukan pada lelaki itu. Dia memang tak menyentuhku tapi dia sedikit mulai kasar terhadapku. Lalu lama-kelamaan, dia bilang aku adalah beban baginya. Dan, mimpi buruk itu akhirnya datang juga. Dia rampas hartaku yang tersisa lalu menjualku ke teman tidurnya, seorang mucikari. Ha..ha.. Dia seorang gay ternyata! Cuihh… Disitulah hidupku yang gelap dimulai. Aku bahkan tak tahu segelap apa hidupku itu. Masih adakah nyala yang bisa menerangi jalanku?” Kau nyaris menangis lalu terdiam, menatapku dengan rasa sayang yang paling mungkin terlukiskan. “Dan.. Aku harap nyala itu adalah kamu..”, kau hentikan ceritamu bersamaan dengan berhentinya gerimis yang sejak tadi membasahi kami. Air bunting menetes pelan dari kedua pipimu. Aku berusaha menenangkanmu. Kali ini aku memelukmu, menyentuh lembut keningmu dengan bibirku. Erat dan hangat. Kau mulai tenang dan senyum membuyar dari wajahmu.
Lalu, kami berjalan bersama menuju rumah, menerobos gelap menuju terang rumah. Mungkinkah kau adalah pilihan tepat buatku? Ataukah Tuhan memilihku untuk menerangi jalan perempuan malang ini. Tapi … aku jadi teringat pesan ibu dan prinsip-prinsip dalam hidupku. Ibu, satu-satunya orang yang selalu kudengarkan tiap nasehatnya. “Hati-hati di kota. Kerja yang baik! Kalau cari istri hati-hati! Jangan sekedar cari teman tidur tapi carilah ibu bagi anak-anak kamu…”, kata ibu sebelum melepasku ke kota ini. Ya Tuhan! Maafkan aku. Bukankah Engkau Maha Pengampun dan aku juga harus punya tempat untuk orang-orang yang telah menyesali perilakunya dulu, seperti perempuan ini? Dan kupikir, tak ada salahnya kalau aku berharap dia akan jadi bagian dari hidupku. Ibu atau siapa pun tak perlu tahu rekam jejak hidupmu.
***
Kau memang luar biasa. Kau seperti guru yang mengajari muridnya tentang pelajaran pertama. Malam ini, aku benar-benar bisa menikmati tiap lekuk keindahanmu. Pengalaman pertama dalam hidupku dan kulalui itu dengan penuh gairah. Dan, kau akhirnya tertidur pulas tapi tidak dengan aku. Gelap makin pekat selimuti malam ini. Bintang-bintang tetap enggan mendandani langit walau derai gerimis menghilang dari langit hitam. Bulan pun seperti malu, dia bersembunyi sejak sore tadi. Kamar ini sepi, hanya ada aku dan kamu. Tapi mataku tetap terjaga. Aku masih berfikir keras tentang hidupku dan hidupmu. Haruskah aku melanjutkan kisah ini? Menjadikan kau ibu dari anak-anakku? Aku memang terlanjur mengasihimu. Tapi kata-kata ibu, prinsip-prinsip hidupku, terus berputar-putar kembali di otakku. Cukup lama, akhirnya, aku putuskan untuk menulis surat ini. Dan, aku pun tak tahu apakah aku akan menyesali keputusanku ini.
Maaf, bukan berarti aku menghianatimu bukan pula berarti aku tak mencintaimu. Tidak! Jangan salah! Aku sangat mencintaimu, dengan sepenuh hatiku bahkan. Tapi hidup kita memang berbeda. Sama sekali berbeda. Kau bukan seseorang yang kucari selama ini. Aku menyesal telah menikmati malam ini bersamamu, aku berdosa!! Tapi itu akan jadi kenangan terindah dalam hidupku. Sekali lagi maafkan aku. Aku tahu kau akan marah dan mengutukku. Tapi tak ada pilihan yang lebih baik buatku. Dan, soal uang yang tak banyak ini, bukan berarti aku tak menghargaimu. Aku ingin kau gunakan uang ini untuk pulang kembali kepada orang tuamu. Mereka pasti akan menerimamu dengan baik. Hiduplah tenang disana, suatu saat nanti, pasti seseorang yang tepat akan membawa kebahagiaan ke dalam hidupmu. Percayalah! Tuhan takkan pernah menyia-nyiakan penyesalanmu. Sekian… Cintamu, Basiludin.
Wonogiri, Desember 2005
“Tiap malam minggu genk kami ngumpul. Awalnya, kami yang yunior, yang masih SMP hanya coba-coba merokok. Sebatang-dua batang. Makin lama kami nyoba ikut menegak minuman, satu-dua rolling. Tapi jangan salah, kami tak pernah nyoba nge-drugs! Hanya rokok dan minum. Soal minuman, kami lebih suka ciu atau topi miring. Pertama nyoba mau muntah. Baunya menyengat, hidungku serasa ditusuk-tusuk jarum. Tapi keinginan untuk jadi anggota genk, biar gak diolok-olok, membuatku bertahan. Saat minuman mulai menerobos tenggorokan, tenggorokan ini serasa terbakar. Rasanya pening, saat itu dunia seolah gelap dan berputar-putar seperti komedi putar yang di tarik kencang”, kau berjeda sejenak seraya menata rambutmu yang terkulai basah yang melekat pada jaket coklat matang-mu. Kau terlihat alami dengan rambut yang basah. Ah.. mirip Dian Sastro? Bukan! E.. Luna Maya? Tidak juga, karena matamu tak sebiru miliknya. Nah.. seperti bidadari selepas mandi!
Lau, kau menatap mataku dalam, seperti ingin mencari sesuatu. Dan sepertinya kau tak menemukan apa-apa. Hanya biji matamu yang besar sedikit mengerling. Entah apa maksudnya. Membaca matamu memang pekerjaan paling susah. Seperti waktu aku sekolah dulu yang selalu ketakutan bila bertemu soal matematika, begitu pula saat aku berusaha membaca matamu. Takut. Entah karena apa. Ataukah takut jangan-jangan aku bisa mengetahui yang sebenarnya di balik semua tatapanmu?
Kau lanjutkan lagi ceritamu sedang aku tetap diam. “Senior-senior itu kupikir, memang kurang ajar! Selepas kami sering ikut, mereka mulai minta uang pada kami. Kadang, mereka malah tak ikutan patungan sama sekali untuk membeli minuman. Cuiihhh! Dasar perempuan-perempuan murahan!” Kau lempar muka ke samping. “Mereka juga mengajari kami bagaimana harus cari pacar yang bisa diporoti! Hi..hi..hi… Sekarang aku sadar. Aku juga murahan!” Kau seperti mengutuk lalu menertawakan diri sendiri. Kamu tergelak, mengadah, mempertontonkan lehermu yang berjenjang dan sesuatu mendorong-dorong dari dalam dadaku. Tapi aku tetap diam.
“Tak sampai setahun, kami para yunior, telah sama mahirnya dengan para senior. Kami juga mulai sembarangan, kadang kami ngajak genk laki-laki untuk bergabung bersama kami. Bayangkan apa yang terjadi. Kacau! Dan kamu tahu? Orang tua kami seperti mendiamkan. Keterlaluan!” Kau geleng-gelengkan kepalamu seraya tersenyum, seperti tak percaya. Lalu kau buang putung rokok yang tersisa, menarik satu tanganku lalu menggosok-gosoknya dengan kedua tanganmu. Aku biarkan saja. “Aku mulai merasa dingin. Biar gak dingin, ya?!” Katamu. Aku cuma mengangguk, buyar senyum tak tertahan dari wajahku.
Kau masih memainkan jari-jariku, kadang menempelkannya di pipimu, di bibirmu dan aku masih pegang kendali alam bawah sadarku… “Dan, entah kapan kejadiannya. Mungkin saat itu aku telah SMA. Aku kehilangan keperawananku...”, suaramu kali ini terdengar letih, berat. “Sesungguhnya, swear!” Kau acungkan dua telunjukmu untuk meyakinkanku. “Aku termasuk orang yang conservative bila bicara soal seks.” (Menurutku, pilihan katamu kurang tepat!) “Dan aku bangga mengakui hal itu. Aku orang yang menjunjung tinggi keperawanan, tapi mungkin memang nasib. Karena mabuk berat bersama teman, aku tak tahu kapan dan siapa yang merenggut mahkotaku, bahkan di mana?!” Kau gelengkan kepalamu lagi sambil tersenyum kecut. Gigi-gigi kokohmu menggigit bibirmu yang merah. “Dan.. Aku memang menyesal. Menyesaaal sekali! Dunia serasa berakhir saat itu juga”, katamu lirih. “Namun, berawal dari itu juga, aku mulai gila!” Kali ini kau seperti berteriak. “Aku jadi lebih berani bergaul dengan teman laki-laki. Terlanjur basah! Pikirku”, kau menoleh dan menatap kosong ke samping, seperti menebar lamunan di hadapanku. Menyesali perjalanan hidupmu yang melelahkan yang telah lalu.
Kau lepaskan tanganku dari kedua tanganmu lalu menyalakan rokok kembali. Karena basah, rokokmu jadi sering mati dan kau pun kesulitan menyalakannya kembali. Aku mencoba membantu menyulutnya. “Terima kasih. Mulai saat itu, aku pintar cari lelaki. Dengan modal tampang yang cantik ini!” Kau terlihat begitu percaya diri saat berucap seperti itu. Memang benar, kamu cantik. Amat cantik bahkan, batinku. “Kadang, bahkan aku bisa punya tiga pacar sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Dan, tak ada satu pun dari mereka yang tak mau berkorban demi aku. Mereka semua orang yang kaya atau paling tidak bisa mendapatkan uang yang aku butuhkan. Maklum, biaya hidup makin mahal jadi aku tak bisa terus gantungkan hidupku hanya dari orang tua. Apalagi aku anak kost karena jarak rumah dan sekolahku cukup jauh”, kau berjeda sejenak seperti berfikir. “Huh… Jauh dari orang tua membikin hobi keluar malamku makin lama menjadi-jadi. Selalu ada saja alasan untuk itu. Dan aku jadi sering bolos sekolah. Namun, dengan keadaan seperti itu, malah memudahkanku untuk mendapatkan apa yang kuinginkan. Aku bisa beli HP yang lagi nge-trend, bisa ngisi pulsa tanpa keluar uang sepeser pun. Pakaian. Bisa beli make-up untuk jaga penampilan. Semua dari pacar-pacarku. Tapi, memang butuh keahlian tersendiri untuk bisa berbagi waktu untuk mereka. Aku mencoba untuk tak pernah serius dengan mereka dan ketika salah satu dari mereka mengetahui siapa aku, berapa pacarku, aku langsung putus hubungan dengan mereka semua. Ganti nomor baru, cari korban baru. Dengan potensiku dan kebodohan mereka, hal itu semudah membalikkan telapak tanganku”, kau balikkan satu telapak tanganmu, seolah menunjukkan betapa mudahnya kau melakukan itu.
“Ha..ha.. Kadang aku berfikir kalian itu mirip kerbau. Jinak! Kalian terlalu lemah berhadapan dengan kecantikan. Kami hanya perlu bersikap lemah lembut, sok alim dan kalian pasti langsung percaya pada kami”, kau seperti sedang mengolok-olokku. “Ehm.. Tapi anehnya sejak pertama kita ketemu, aku percaya kamu tidak seperti itu”, kau kembali menatapku lebih dalam, mencoba mencari jawaban. Aku coba alihkan tatapanku. Kau matikan rokokmu seraya berkata, “Ini rokok terakhirku. Aku berhenti demi kamu.” Lalu kau angkat kedua tanganmu dan menaruhnya di kedua pipiku. Hangat serta-merta menjalari sebujur tubuhku, dada ini kembali bergelora tapi aku tetap diam. Kami kembali bertatapan. Kali ini aku berjuang keras mengatasi ketakutanku. Cukup lama. Aku jadi memahami kenapa para lelaki itu begitu mudah kau jinakkan! Kamu benar-benar memahami keinginan laki-laki, bahkan saat masih mereka simpan jauh dalam hati. Mungkin beberapa menit telah lewat dan kita diam dengan posisi seperti itu, tapi kau tak menatapku lagi melainkan tertekuk. Bulir air gerimis meleleh melalui hidungmu yang menunduk. Huiihhh...!!! Aku lagi-lagi jadi memaklumi kenapa para lelaki jadi begitu lemah menghadapi kecantikan. Dan menurutku, kau adalah kecantikan itu sendiri.
Kau lepaskan kedua tanganmu dari wajahku selepas mengusap air yang masih membasahi wajahku. “Sekarang sudah hangat kan?” Kau bertanya sembari sunggingkan senyum di pojok bibirmu. Aku seolah ingin, saat itu juga, waktu berhenti untuk memberiku momen lebih untuk menikmatinya. Dan, aku hanya mampu mengangguk. “Aku lanjutkan ceritaku lagi, ya?” Kau seperti minta ijin padaku. “Namun dibalik petualanganku itu, satu kali, aku pernah benar-benar jatuh cinta. Benar-benar jatuh cinta! Cinta yang akhirnya membawaku sampai di sini. Dia adalah guru baru di sekolahku. Tak ganteng amat tapi dia berbeda dengan laki-laki yang pernah aku kenal. Mungkin karena dia terlihat lebih dewasa daripada para lelaki bodoh itu. Tiap mengajar, dia seperti tengah menghipnotis kami. Cara bicaranya, cara jalannya, caranya menatap. Semuanya. Seolah membuatku merasa orang yang paling berdosa. Sepertinya dia lelaki alim. Seperti kamu, ya.. hi..hi..”, tawamu berderai lagi.
“Dan ternyata, cintaku tak bertepuk sebelah tangan. Dia mencintaiku juga. Namun, tak lama selekasnya, dia pindah kerja ke kota ini. Harapanku terhadapnya tetap menggunung karena dia berjanji menikahiku, menerimaku apa adanya. Ha..ha.. Aku malu kalau mengingat-ingat peristiwa itu. Seperti cerita-cerita cinta di teenlit ya?!” Kau berjeda sejenak, menghela nafas. “Dia bahkan berjanji takkan menyentuhku, sebelum aku menikah dengannya. Tak butuh waktu lama buatku untuk membuat keputusan ikut dengannya ke kota ini. Bahkan tanpa ijin dari orang tuaku karena cinta telah membutakanku. Akhirnya, sampailah aku ke kota ini. Kota yang memenjarakanku dalam kegelapan, sebelum aku bertemu denganmu, tentunya…”, kau menatapku lagi, tersenyum manja. Lalu, kau lanjutkan ceritamu. “Tak lama selepas aku ikut dengannya, kebusukan perlahan kutemukan pada lelaki itu. Dia memang tak menyentuhku tapi dia sedikit mulai kasar terhadapku. Lalu lama-kelamaan, dia bilang aku adalah beban baginya. Dan, mimpi buruk itu akhirnya datang juga. Dia rampas hartaku yang tersisa lalu menjualku ke teman tidurnya, seorang mucikari. Ha..ha.. Dia seorang gay ternyata! Cuihh… Disitulah hidupku yang gelap dimulai. Aku bahkan tak tahu segelap apa hidupku itu. Masih adakah nyala yang bisa menerangi jalanku?” Kau nyaris menangis lalu terdiam, menatapku dengan rasa sayang yang paling mungkin terlukiskan. “Dan.. Aku harap nyala itu adalah kamu..”, kau hentikan ceritamu bersamaan dengan berhentinya gerimis yang sejak tadi membasahi kami. Air bunting menetes pelan dari kedua pipimu. Aku berusaha menenangkanmu. Kali ini aku memelukmu, menyentuh lembut keningmu dengan bibirku. Erat dan hangat. Kau mulai tenang dan senyum membuyar dari wajahmu.
Lalu, kami berjalan bersama menuju rumah, menerobos gelap menuju terang rumah. Mungkinkah kau adalah pilihan tepat buatku? Ataukah Tuhan memilihku untuk menerangi jalan perempuan malang ini. Tapi … aku jadi teringat pesan ibu dan prinsip-prinsip dalam hidupku. Ibu, satu-satunya orang yang selalu kudengarkan tiap nasehatnya. “Hati-hati di kota. Kerja yang baik! Kalau cari istri hati-hati! Jangan sekedar cari teman tidur tapi carilah ibu bagi anak-anak kamu…”, kata ibu sebelum melepasku ke kota ini. Ya Tuhan! Maafkan aku. Bukankah Engkau Maha Pengampun dan aku juga harus punya tempat untuk orang-orang yang telah menyesali perilakunya dulu, seperti perempuan ini? Dan kupikir, tak ada salahnya kalau aku berharap dia akan jadi bagian dari hidupku. Ibu atau siapa pun tak perlu tahu rekam jejak hidupmu.
***
Kau memang luar biasa. Kau seperti guru yang mengajari muridnya tentang pelajaran pertama. Malam ini, aku benar-benar bisa menikmati tiap lekuk keindahanmu. Pengalaman pertama dalam hidupku dan kulalui itu dengan penuh gairah. Dan, kau akhirnya tertidur pulas tapi tidak dengan aku. Gelap makin pekat selimuti malam ini. Bintang-bintang tetap enggan mendandani langit walau derai gerimis menghilang dari langit hitam. Bulan pun seperti malu, dia bersembunyi sejak sore tadi. Kamar ini sepi, hanya ada aku dan kamu. Tapi mataku tetap terjaga. Aku masih berfikir keras tentang hidupku dan hidupmu. Haruskah aku melanjutkan kisah ini? Menjadikan kau ibu dari anak-anakku? Aku memang terlanjur mengasihimu. Tapi kata-kata ibu, prinsip-prinsip hidupku, terus berputar-putar kembali di otakku. Cukup lama, akhirnya, aku putuskan untuk menulis surat ini. Dan, aku pun tak tahu apakah aku akan menyesali keputusanku ini.
Maaf, bukan berarti aku menghianatimu bukan pula berarti aku tak mencintaimu. Tidak! Jangan salah! Aku sangat mencintaimu, dengan sepenuh hatiku bahkan. Tapi hidup kita memang berbeda. Sama sekali berbeda. Kau bukan seseorang yang kucari selama ini. Aku menyesal telah menikmati malam ini bersamamu, aku berdosa!! Tapi itu akan jadi kenangan terindah dalam hidupku. Sekali lagi maafkan aku. Aku tahu kau akan marah dan mengutukku. Tapi tak ada pilihan yang lebih baik buatku. Dan, soal uang yang tak banyak ini, bukan berarti aku tak menghargaimu. Aku ingin kau gunakan uang ini untuk pulang kembali kepada orang tuamu. Mereka pasti akan menerimamu dengan baik. Hiduplah tenang disana, suatu saat nanti, pasti seseorang yang tepat akan membawa kebahagiaan ke dalam hidupmu. Percayalah! Tuhan takkan pernah menyia-nyiakan penyesalanmu. Sekian… Cintamu, Basiludin.
Wonogiri, Desember 2005
Baca juga Cerpen Cinta yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar