AMPLOP
Cerpen Sandi S
Ribuan pasang mata menatap ke arah yang sama, ke papan pengumuman balai kepegawaian. Padahal terik mentari seperti ingin membuat semut-semut memekik kegerahaan. Sementara kerumunan manusia semakin tumpah. Saling sama melumuri keringat, orang tua harus pegang anaknya erat-erat karena jika tidak manusia lain akan siap menginjak. Pengumuman itu memang baru selesai kami tempel tiga jam yang lalu. Tapi tak lama kemudian jumlah manusia mengalir bagai bulir, berhimpitan penuh sesak ada pula pedagang yang memanfaatkan peluang berjualan es tebu, tisu, dan buku-buku panduan ujian. Itu baru pengumuman kelulusan administrasi. Jari-jari mereka menunjuk kepada tulisan yang tertera di papan mencari namanya masing-masing. Sementara barisan di belakang menumpuk siap ambil bagian. Aku hanya bisa saksikan mereka dari jendela kantor. Surya makin terang, jelas saja sebab waktu baru merangsek ke pukul dua siang. Panasnya siap memanggang kerumunan masa yang berebut status pegawai negeri sipil.
Dari sana mereka terlihat beringas seperti beruang ganas yang sedang kelaparan. Burung-burung gereja tak terlihat berseliweran, padahal biasanya mereka berbisik ria keluar masuk lubang fentilasi tanpa ada yang intervensi. Gumpalan awan dari kejauhan siap memberi keteduhan. Halaman kantor yang biasanya lengang kini tak bisa menyisakan ruang. Motor-motor mereka diparkir sembarang, Pak satpam kelihatan berang. Tak tertinggal nyamuk pers juga hadir memberikan laporan, berebut berita tentang orang di dalam sesak kerumunan.
Dari sana mereka terlihat beringas seperti beruang ganas yang sedang kelaparan. Burung-burung gereja tak terlihat berseliweran, padahal biasanya mereka berbisik ria keluar masuk lubang fentilasi tanpa ada yang intervensi. Gumpalan awan dari kejauhan siap memberi keteduhan. Halaman kantor yang biasanya lengang kini tak bisa menyisakan ruang. Motor-motor mereka diparkir sembarang, Pak satpam kelihatan berang. Tak tertinggal nyamuk pers juga hadir memberikan laporan, berebut berita tentang orang di dalam sesak kerumunan.
Lelaki paruh baya dengan seragam dinas membawa selembar kertas di tangan kirinya, bersama seorang gadis kecil yang sedari tadi memegang erat tangan kanannya. Anak perempuan itu merengek minta pulang, pria itu membelikannya es krim. Tangis manjanya sudah jeda. Tiga hari lagi tes PNS baru digelar, semua kandidat kurasa sudah siap tempur. Tapi kuharap kejadian beberapa tahun belakang tak pernah terulang. Polemik yang amat pelik yang menyuguhkan keonaran anak-anak orang terkemuka yang tanpa tes lantas lulus PNS. Aku tak mau lagi mendengar suara mahasiswa teriak dan bersorak lalu kaca-kaca kantor menjadi dekil dan penuh bercak karena dilempar telur dan kotoran ternak. Tapi barangkali aksi mereka ada benarnya, praktek haram itu tak patut dipelihara.
Sesak kerumunan kini telah lengang, mencair ke muara-muara sungai tempat asal mereka harus pulang. Sekarang sudah bisa mengambil nafas dengan lepas. Aku melangkah keluar karena memang sudah waktunya pulang kerja. Baru beberapa meter melangkah, aku lihat tinggal lelaki itu yang tersisa. Penjual es, tisu, koran, dan penjual buku semua sudah dilalap senja. Ia baru mencari-cari data, jemarinya menunjuk ke arah tulisan yang tertera barangkali ia mencari namanya. Anak perempuannya kembali merengek minta pulang karena semburat senja tak lagi membayang. Aku tak menghiraukan memacu motor sebelum diterkam malam.
**
“ Pa ! ada tamu, sebentar ya Pak saya panggil suami “
“ ya Bu, nggak apa-apa “
Panggilan istri segera mempercepat aku mandi. Selesai berbusana aku temui tamu yang sepertinya membawa kepentingan untukku. Ah, barangkali cuma teman sepekerjaan. Istriku datang memberi jamuan, aku datang lantas bersalaman. Lelaki itu, aku masih ingat persis wajahnya apalagi ia juga membawa putrinya. Ada apa ? dalam benak aku bertanya. Kenapa pria ini kemari ? ada urusan apa denganku. Kutahan dulu pertanyaan sementara kupersilakan ia untuk meneguk minuman.
“ maaf ya Mas mengganggu, saya cuma mau minta tolong “
“ tolong apa ya Pak ?, aku masih belum paham dengan itikadnya.
“ begini “ sambil mengeluarkan amplop coklat besar dan tebal. Ia lanjutkan pembicaraan. “ saya punya rezeki buat Mas kalau bersedia membantu saya “
“ tapi bantu apa ya Pak ? “
“ Mas lihat saya kemarin kan ? sudah lama saya menginginkan jadi PNS, jadi guru honorer tak pernah mengangkat derajat hidup saya”.
“ jadi Bapak mau menyogok saya ? maaf Pak saya tidak akan bertindak sekeji ini “
“ saya tak mengatakan ini keji, tapi saling menghargai. Saya memberi, Mas punya empati “
“ nggak semudah itu kali Pak, saya punya reputasi dan tak bisa dibeli “
Belum selesai pembicaraan kami, terdengar suara istriku memanggil menenangkan pikiranku yang semula menggigil. Aku segera kabur menuju dapur.
“ Pa ! , aku menyambut suaranya yang lembut.
“ Pa, Bu Anita kemarin baru beli tv sama kulkas baru lo “
“ ya memangnya kenapa, gajian bulan depan papa baru bisa belikan kalau mama mau “
“ kenapa mesti bulan depan kalau sekarang uangnya udah ada “
“ uang apa Ma ? “
“ Mama mendengarnya, apa salahnya sih membantu Bapak itu Pa ! “
“ nggak bisa, mama mau papa dipenjara ? “
“ kan nggak ada yang tahu Pa, lagian ini akan adil. Bapak itu sudah puluhan tahun menjadi honorer, sudah layak dinegrikan ! “
Aku tak menghiraukan bicara istri, memilih kembali temui orang tadi. Tapi ruangan tamu sudah lengang orang itu sudah menghilang. Amplop gemuk itu ditinggalnya bersama beberapa tulisan di atas kertas.
Ini alamat saya Mas, seandainya uangnya kurang datang saja kemari !.
Cepat-cepat kuamankan amlop dan suratnya. Kalau Rini tahu ia pasti menganggapnya rezeki. Aku dihadapkan situasi yang amat menguji intuisi. Aku harus benar-benar memikirkan sebelum terperosok lebih dalam pada praktek birokrasi yang gila-gilaan. Halal haram hantam!. Menyelinap di balik gelap takut kalau istri tahu lantas ia akan kalap melihat amplop gemuk yang berisi jutaaan harap.
Esok harinya aku berencana mengembalikan amplop kepada sang empunya. Beberapa rumah aku mencoba singgah hingga akhirnya kutemukan juga alamat yang sesuai dengan isi surat. Rumahnya besar dan berpagar, di luar ada satpam penjaga. Aku bergegas masuk dan menggedor pintu. Satpam mencoba mengalangi tapi aku punya nyali ia hanya mengikuti.
“ jangan mentang-mentang kau kaya bisa membayar orang seenaknya ! keluar kau ! aku tak sudi makan uangmu ini “
Satpam menerkam dari belakang, aku makin naik pitam. Yang kurasakan hanya gelap dan bikin kalap. Aku dan satpam berguling diteras sementara cengkramannya tak pernah lepas.
“ ada apa ini ? “ seorang pria berbadan kekar keluar. Aku berdiri lantas ditampar. Dari hidung mengalir darah segar. Aku dilempar keluar pagar bagai kucing yang habis bikin onar.
Aku pulang membawa memar. Orang tua itu mempermainkanku dengan memanipulasi domisili. Amplopnya masih aku jaga agar Rini tak pernah mengetahuinya. Sampai di rumah tak kujumpai ia. Aku segera berbenah supaya wajah tak tampak seperti bekas luka. Aku hanya berbaring memeras kening, menjambak lara, memaki diri sendiri, menggenggam dendam yang amat dalam. Tak lama berselang aku histeris dalam kegalauan terdengar suara renyah dari luar rumah. Istriku baru pulang tak tahu habis dari mana.
“ Pa, Papa !! sini dong bantuin angkatin “
Aku beranjak walau sebenarnya ada sesuatu yang menyesak di dalam benak. Kulihat dua orang kuli angkut membawa kulkas dan tivi.
“ punya siapa ya ? “
“ punya kita dong Pa “
Aku tertegun penuh tanya, dan kembali ke kamar membawa amplop itu dan membongkarnya. Setelah kusobek bagian depannya yang ada hanya guntingan koran bekas saja. Seperti ada gemuruh di dalam dadaku hingga peluh dingin meleleh ke seleuruh tubuh. Di mata ada segumpal awan mendung yang siap menumpahkan isinya. Nafasku mendengus tak beraturan. Aku rasakan pasang-surut darah yang ingin naik ke kepala. Aku banting kulkas dan tivi di depan istri. Ia histeris dan menangis. Tetangga datang tanpa mesti diundang. Mereka menganggap aku gila. Rambutku dijambak, kaki dan tangan diikat dan dibiarkan tergeletak. Istriku tak henti menangis, hatinya teriris.
“ kembalikan uangnya !!! itu bukan uang kita Ma !.
“ Ini uang tabungan Mama, Pa ! “
Sesak kerumunan kini telah lengang, mencair ke muara-muara sungai tempat asal mereka harus pulang. Sekarang sudah bisa mengambil nafas dengan lepas. Aku melangkah keluar karena memang sudah waktunya pulang kerja. Baru beberapa meter melangkah, aku lihat tinggal lelaki itu yang tersisa. Penjual es, tisu, koran, dan penjual buku semua sudah dilalap senja. Ia baru mencari-cari data, jemarinya menunjuk ke arah tulisan yang tertera barangkali ia mencari namanya. Anak perempuannya kembali merengek minta pulang karena semburat senja tak lagi membayang. Aku tak menghiraukan memacu motor sebelum diterkam malam.
**
“ Pa ! ada tamu, sebentar ya Pak saya panggil suami “
“ ya Bu, nggak apa-apa “
Panggilan istri segera mempercepat aku mandi. Selesai berbusana aku temui tamu yang sepertinya membawa kepentingan untukku. Ah, barangkali cuma teman sepekerjaan. Istriku datang memberi jamuan, aku datang lantas bersalaman. Lelaki itu, aku masih ingat persis wajahnya apalagi ia juga membawa putrinya. Ada apa ? dalam benak aku bertanya. Kenapa pria ini kemari ? ada urusan apa denganku. Kutahan dulu pertanyaan sementara kupersilakan ia untuk meneguk minuman.
“ maaf ya Mas mengganggu, saya cuma mau minta tolong “
“ tolong apa ya Pak ?, aku masih belum paham dengan itikadnya.
“ begini “ sambil mengeluarkan amplop coklat besar dan tebal. Ia lanjutkan pembicaraan. “ saya punya rezeki buat Mas kalau bersedia membantu saya “
“ tapi bantu apa ya Pak ? “
“ Mas lihat saya kemarin kan ? sudah lama saya menginginkan jadi PNS, jadi guru honorer tak pernah mengangkat derajat hidup saya”.
“ jadi Bapak mau menyogok saya ? maaf Pak saya tidak akan bertindak sekeji ini “
“ saya tak mengatakan ini keji, tapi saling menghargai. Saya memberi, Mas punya empati “
“ nggak semudah itu kali Pak, saya punya reputasi dan tak bisa dibeli “
Belum selesai pembicaraan kami, terdengar suara istriku memanggil menenangkan pikiranku yang semula menggigil. Aku segera kabur menuju dapur.
“ Pa ! , aku menyambut suaranya yang lembut.
“ Pa, Bu Anita kemarin baru beli tv sama kulkas baru lo “
“ ya memangnya kenapa, gajian bulan depan papa baru bisa belikan kalau mama mau “
“ kenapa mesti bulan depan kalau sekarang uangnya udah ada “
“ uang apa Ma ? “
“ Mama mendengarnya, apa salahnya sih membantu Bapak itu Pa ! “
“ nggak bisa, mama mau papa dipenjara ? “
“ kan nggak ada yang tahu Pa, lagian ini akan adil. Bapak itu sudah puluhan tahun menjadi honorer, sudah layak dinegrikan ! “
Aku tak menghiraukan bicara istri, memilih kembali temui orang tadi. Tapi ruangan tamu sudah lengang orang itu sudah menghilang. Amplop gemuk itu ditinggalnya bersama beberapa tulisan di atas kertas.
Ini alamat saya Mas, seandainya uangnya kurang datang saja kemari !.
Cepat-cepat kuamankan amlop dan suratnya. Kalau Rini tahu ia pasti menganggapnya rezeki. Aku dihadapkan situasi yang amat menguji intuisi. Aku harus benar-benar memikirkan sebelum terperosok lebih dalam pada praktek birokrasi yang gila-gilaan. Halal haram hantam!. Menyelinap di balik gelap takut kalau istri tahu lantas ia akan kalap melihat amplop gemuk yang berisi jutaaan harap.
Esok harinya aku berencana mengembalikan amplop kepada sang empunya. Beberapa rumah aku mencoba singgah hingga akhirnya kutemukan juga alamat yang sesuai dengan isi surat. Rumahnya besar dan berpagar, di luar ada satpam penjaga. Aku bergegas masuk dan menggedor pintu. Satpam mencoba mengalangi tapi aku punya nyali ia hanya mengikuti.
“ jangan mentang-mentang kau kaya bisa membayar orang seenaknya ! keluar kau ! aku tak sudi makan uangmu ini “
Satpam menerkam dari belakang, aku makin naik pitam. Yang kurasakan hanya gelap dan bikin kalap. Aku dan satpam berguling diteras sementara cengkramannya tak pernah lepas.
“ ada apa ini ? “ seorang pria berbadan kekar keluar. Aku berdiri lantas ditampar. Dari hidung mengalir darah segar. Aku dilempar keluar pagar bagai kucing yang habis bikin onar.
Aku pulang membawa memar. Orang tua itu mempermainkanku dengan memanipulasi domisili. Amplopnya masih aku jaga agar Rini tak pernah mengetahuinya. Sampai di rumah tak kujumpai ia. Aku segera berbenah supaya wajah tak tampak seperti bekas luka. Aku hanya berbaring memeras kening, menjambak lara, memaki diri sendiri, menggenggam dendam yang amat dalam. Tak lama berselang aku histeris dalam kegalauan terdengar suara renyah dari luar rumah. Istriku baru pulang tak tahu habis dari mana.
“ Pa, Papa !! sini dong bantuin angkatin “
Aku beranjak walau sebenarnya ada sesuatu yang menyesak di dalam benak. Kulihat dua orang kuli angkut membawa kulkas dan tivi.
“ punya siapa ya ? “
“ punya kita dong Pa “
Aku tertegun penuh tanya, dan kembali ke kamar membawa amplop itu dan membongkarnya. Setelah kusobek bagian depannya yang ada hanya guntingan koran bekas saja. Seperti ada gemuruh di dalam dadaku hingga peluh dingin meleleh ke seleuruh tubuh. Di mata ada segumpal awan mendung yang siap menumpahkan isinya. Nafasku mendengus tak beraturan. Aku rasakan pasang-surut darah yang ingin naik ke kepala. Aku banting kulkas dan tivi di depan istri. Ia histeris dan menangis. Tetangga datang tanpa mesti diundang. Mereka menganggap aku gila. Rambutku dijambak, kaki dan tangan diikat dan dibiarkan tergeletak. Istriku tak henti menangis, hatinya teriris.
“ kembalikan uangnya !!! itu bukan uang kita Ma !.
“ Ini uang tabungan Mama, Pa ! “
Tidak ada komentar:
Posting Komentar