HADIAH HARI IBU
Cerpen Jess d'Writer
Kupandangi kalender di meja belajarku dan menghela napas. Seminggu lagi adalah hari Ibu sedunia. Jujur aku sendiri, di usiaku yang telah menginjak 20 tahun, tidak begitu akrab lagi dengan Mama tercinta. Rasanya banyak hal yang berubah di antara kami berdua, apalagi sejak kelahiran Mimi, adik perempuan semata wayangku, yang adalah anak kesayangan keluarga. Lama kelamaan aku jadi jarang curhat dengan Mama, padahal, saat Mimi masih kecil dulu kami masih sering bercerita bersama tentang hari kami.
Kulirik lagi kalender itu, dan membolak-balikkannya. Aku teringat, sudah lama aku tidak langsung menyerahkan hadiah hari Ibu pada Mama. Aku lebih banyak menitipkannya pada adikku Mimi untuk diserahkan pada Mama, sudah lama pula aku tidak langsung mengatakan ‘Selamat Hari Ibu’ pada Mama…
Apakah tahun ini juga akan sama saja? Berlalu dengan ketidaknyamanan seperti ini? Jujur aku sendiri tidak menyukainya. Mungkin hari Ibu nanti adalah saat yang tepat untuk memperbaiki semuanya dengan Mama. Aku ingin kembali akrab dengan Mama, tapi kalau menunggu saat yang paling tepat akan jadi terlalu lama. Ulang tahun Mama masih bulan Desember mendatang.
Aku mulai mencari ide untuk hadiah Hari Ibu, kira-kira apa yang bisa menjadi sesuatu yang berkesan bagi Mama di tahun ini. Ah… bingung juga aku. Mungkin sebaiknya aku telepon Shevan saja, dia paling kreatif soal hadiah.
“Halo, Shevan ya? Ini aku, Nana. Kau sibuk?”
“Nana ya? Ada apa?”
“Aku mau minta saran nih… nanti apa yang kau berikan untuk ibumu, Shevan, untuk hari Ibu nanti?”
“Ibuku suka menanam bunga. Dia sudah lama ingin tulip, jadi aku sudah siapkan tunas umbi terbaik untuknya.”
“Begitu ya… ‘makasih ya, Shevan. Bye.”
“Sama-sama. Bye-bye.”
Kulirik lagi kalender itu, dan membolak-balikkannya. Aku teringat, sudah lama aku tidak langsung menyerahkan hadiah hari Ibu pada Mama. Aku lebih banyak menitipkannya pada adikku Mimi untuk diserahkan pada Mama, sudah lama pula aku tidak langsung mengatakan ‘Selamat Hari Ibu’ pada Mama…
Apakah tahun ini juga akan sama saja? Berlalu dengan ketidaknyamanan seperti ini? Jujur aku sendiri tidak menyukainya. Mungkin hari Ibu nanti adalah saat yang tepat untuk memperbaiki semuanya dengan Mama. Aku ingin kembali akrab dengan Mama, tapi kalau menunggu saat yang paling tepat akan jadi terlalu lama. Ulang tahun Mama masih bulan Desember mendatang.
Aku mulai mencari ide untuk hadiah Hari Ibu, kira-kira apa yang bisa menjadi sesuatu yang berkesan bagi Mama di tahun ini. Ah… bingung juga aku. Mungkin sebaiknya aku telepon Shevan saja, dia paling kreatif soal hadiah.
“Halo, Shevan ya? Ini aku, Nana. Kau sibuk?”
“Nana ya? Ada apa?”
“Aku mau minta saran nih… nanti apa yang kau berikan untuk ibumu, Shevan, untuk hari Ibu nanti?”
“Ibuku suka menanam bunga. Dia sudah lama ingin tulip, jadi aku sudah siapkan tunas umbi terbaik untuknya.”
“Begitu ya… ‘makasih ya, Shevan. Bye.”
“Sama-sama. Bye-bye.”
Sambungan terputus. Lalu aku mulai menghubungi teman-temanku yang lain, menanyakan hal yang sama. Ada yang memberikan taplak sulaman, ada yang membelikan rangkaian bunga carnation khas Hari Ibu, dompet, buku kesukaan, pajangan kristal, vas antik, sampai perhiasan dan parfum impor dari luar negeri! Mereka semua kebanyakan akan memberikan apa yang disukai atau sedang diinginkan oleh ibu mereka. Semua itu tidak memberikan inspirasi apapun di benakku.
Aku tidak bisa memikirkan sesuatu yang bisa berkesan untuk Mama. Kali ini harus spesial, tidak bisa biasa-biasa saja. Tapi apa ya… bunga? Itu sih semua orang juga bisa. Pajangan? Kamar Mama sudah penuh dengan pajangan pilihan Mimi untuknya. Masakan? Akh, sejak kapan masakanku enak di lidah orang lain. Pikiranku kembali dibingungkan. Aku menyesal mengapa selama ini aku tidak akrab dengan Mamaku sendiri…
Suara dentingan piano dan nyanyian gospel songs mengalun dari ruang tamu. Itu pasti Papa dan Mama yang sedang berlatih untuk misa hari Minggu besok. Nyanyian Mama selalu indah didengar, dan aku tidak pernah bosan mendengarkannya. Aku juga suka menyanyi, apalagi dengan bakat dari Mama yang menurun padaku.
Tunggu dulu! Aku sudah menemukan apa yang bisa kuhadiahkan pada Mama nanti! Mama pasti akan sangat menyukainya, aku yakin itu. Segera kutelepon Dave, tetangga sebelah rumahku yang juga guru piano.
“Dave! Aku ada sesuatu yang perlu bantuanmu. Aku ke tempatmu sekarang ya!” kataku antusias, “Kau punya CD recorder ‘kan?”
“Tenang, Na. Ada, tapi buat apa kau minta tiba-tiba?”
“Bantu aku mengiringi nyanyian gospel songs ya,” kataku.
“Oh… saat ini aku sedang mengajar. Besok jam 3 sore ya,” kata Dave.
“Oke. See you.”
Segera aku kembali ke kamarku, memilah-milih lagu-lagu dan gospel songs yang kira-kira Mama sukai. Sepanjang sore hari aku habiskan dengan melatih nada-nada dan menyortir lagu. Benar-benar menyenangkan. Aku tidak pernah merasakan antusiasme yang begitu besar selama ini.
Keesokan harinya, sesuai janji aku menemui Dave di rumahnya untuk menjalankan rencanaku. Setiap sore kami akan berlatih menyanyi diiringi oleh alunan musik pianonya. Alhasil, dalam lima hari aku sudah menguasai semua lagu yang kupilih saat itu dengan baik, totalnya ada 11 lagu. Hari keenam semua lagu itu sudah terekam dengan apik ke CD kosong yang kusiapkan. Kami benar-benar puas dengan hasil usaha kami berdua.
“Terima kasih banyak, Dave,” kataku penuh syukur, memeluk Dave sejenak.
“Happy to help , Na, sekarang kau tinggal menyerahkannya besok.”
“Iya…” jawabku. Ada rasa gugup yang langsung menyergap diriku. Benar juga, bagaimana ini… besok adalah waktunya menyerahkan karyaku ini pada Mama. Bagaimana kalau beliau tidak menyukainya?
“Kenapa, kau ragu, Na?” tanya Dave, menyadari perubahan ekspresi wajahku.
“Bagaimana kalau Mama tidak suka ya? Bagaimana kalau suaraku kurang bagus? Mungkin saja hadiah Mimi lebih bagus dariku.”
“Kau tidak boleh berpikir seperti itu dong, Na. Kau sudah berusaha, dan kau hebat. Percayalah, ibumu pasti akan sangat menyukainya.”
“Thank you Dave. Oh ya, omong-omong, bagaimana dengan hadiah Hari Ibu-mu? Kau sudah menyiapkannya? Belakangan ini kau sibuk melatihku saja.”
“Tenang saja. Aku sudah menyiapkannya. Daripada menguatirkan aku, kau lebih baik bersiap-siaplah. Bungkus hadiahnya, latihan supaya tidak gugup, dan sebagainya.”
“Oke,” senyumku, berpamitan dengan Dave untuk pulang ke rumah. Hari sudah gelap saat aku keluar dari rumah Dave, namun aku merasa waktu yang kuhabiskan bersama dengan Dave sangat menyenangkan.
Malam penuh persiapan itu terasa sangat cepat berlalu bagiku, membuatku lelah dan jatuh tertidur dengan cepat, dengan pagi yang datangnya cepat pula. Aku terbangun mendengar suara kicauan burung dan kehangatan sinar matahari yang menelusup ke dalam kamarku dari jendela. Aku membuka mataku dan menyadari bahwa ini adalah harinya. Hari yang telah kurencanakan sejak seminggu yang lalu. Kembali sedikit kegugupan menyergap, tapi tidak sebesar kemarin. Aku pun beranjak menuju ke dapur setelah bebersih diri. Pagi di hari libur kerja memang menyenangkan dan terasa menyegarkan.
“Pagi, Nana.”
“Eh?! P-pagi Ma…” Sapaan Mama mengejutkanku yang sedang melamun menyiapkan sarapanku di dapur.
“Wah… cantik sekali kado ini. Untuk Mama ya?” tanya Mama, menyadari hadiah mungil yang kutaruh di meja makan, sudah bertuliskan ‘to : Mama’ di atasnya.
“I-iya Ma, selamat hari Ibu ya…” kataku terbata.
“’Makasih ya Sayang,” kata Mama, merangkulku dan mengecup keningku sejenak, “boleh Mama buka sekarang?”
“Tentu aja, Ma,” senyumku gugup. Dengan hati-hati Mama membuka bungkus kadoku, dan menemukan CD laguku.
“CD musik? ‘Gospel and Love Songs By : Nana’. Ini kamu yang nyanyikan sendiri, Sayang?” tanya Mama, matanya tampak berbinar antusias, membuatku sedikit lega melihatnya.
“Iya, Ma. Tapi Dave yang bantu aku soal musiknya.”
“Mama pengen dengarkan sekarang aja, bisa pinjamkan Discman kamu, Na?” tanya Mama. Segera aku mengiyakan dan lari kembali ke atas, membawakan Discman untuk Mama. Mama adalah ibu rumah tangga yang melek teknologi, aku tidak perlu mengajarkannya cara menggunakan Discmanku, beliau langsung bisa menggunakannya dengan lancar.
Mama adalah wanita yang sangat menyenangkan bagiku, ia lebih mirip temanku daripada ibuku sendiri. Aku sangat menyayanginya. Aku menatapi wajahnya yang mulai menua, namun dengan kecantikan dan wibawa yang hampir tidak pernah bisa dimakan waktu, rambut coklat ikal, sebahunya yang berkilau diterpa cahaya matahari, wajah ovalnya yang cantik yang menurun padaku dan Mimi, dan matanya yang kini terpejam, menikmati alunan musik dari headphone. Entah aku membayangkannya atau tidak, aku bisa melihat semburat kemerahan di wajah beliau kala mendengarkan musik, dan firasatku mengatakan bahwa beliau memang menyukai nyanyianku yang kuhadiahkan pada beliau.
Beberapa saat kemudian, Mama melepaskan headphone-nya dan menatap ke dalam mataku, penuh kelembutan.
“Rasanya seperti dulu lagi… saat Mama pertama kali melihat kamu menyanyi di gereja. Mama sangat bangga padamu, Nana. Suaramu, masih seindah dan sejernih yang Mama kenal. Terima kasih banyak ya, Sayang. Mama suka sekali.”
“Hehehe… ini semua ‘kan karena Mama juga, karena Mama yang menurunkan bakat menyanyi dan suara ini buat Nana.”
“Suara setiap orang punya warna yang berbeda, Na, dan kamu juga spesial. Sejak lama Mama juga ingin sekali bisa lebih sering bernyanyi sama-sama kamu, Sayang. Kamu mau ikut koor untuk pertunjukan minggu depan di gereja, Na?” tanya Mama dengan antusiasnya, menyentuh bahuku. Aku tidak percaya ini, Mama yang juga anggota koor di gerejaku, memintaku untuk ikut pertunjukan tanpa audisi! Padahal sulit sekali bagi para peserta lain untuk ikut dalam pertunjukan karena ketatnya seleksi. Luar biasa!
“Yang benar, Ma? Boleh?!” tanyaku ikut antusias. Mama mengangguk mengiyakan.
“Mama ingin sekali mendengar nyanyianmu langsung, Sayang. Selama ini… kita agak renggang. Gimana kalau kita mulai lagi dari awal? Yang baru tentunya.”
“Iya, tentu aja, Ma, ‘makasih banyak ya Ma,” kataku dengan suara bergetar, air mata kebahagiaan mengalir tak terbendung. Puji Tuhan, niat dan usahaku tidak tersia-siakan. Ini adalah Hari Ibu terindah dan paling membahagiakan bagiku.
FINISH
Aku tidak bisa memikirkan sesuatu yang bisa berkesan untuk Mama. Kali ini harus spesial, tidak bisa biasa-biasa saja. Tapi apa ya… bunga? Itu sih semua orang juga bisa. Pajangan? Kamar Mama sudah penuh dengan pajangan pilihan Mimi untuknya. Masakan? Akh, sejak kapan masakanku enak di lidah orang lain. Pikiranku kembali dibingungkan. Aku menyesal mengapa selama ini aku tidak akrab dengan Mamaku sendiri…
Suara dentingan piano dan nyanyian gospel songs mengalun dari ruang tamu. Itu pasti Papa dan Mama yang sedang berlatih untuk misa hari Minggu besok. Nyanyian Mama selalu indah didengar, dan aku tidak pernah bosan mendengarkannya. Aku juga suka menyanyi, apalagi dengan bakat dari Mama yang menurun padaku.
Tunggu dulu! Aku sudah menemukan apa yang bisa kuhadiahkan pada Mama nanti! Mama pasti akan sangat menyukainya, aku yakin itu. Segera kutelepon Dave, tetangga sebelah rumahku yang juga guru piano.
“Dave! Aku ada sesuatu yang perlu bantuanmu. Aku ke tempatmu sekarang ya!” kataku antusias, “Kau punya CD recorder ‘kan?”
“Tenang, Na. Ada, tapi buat apa kau minta tiba-tiba?”
“Bantu aku mengiringi nyanyian gospel songs ya,” kataku.
“Oh… saat ini aku sedang mengajar. Besok jam 3 sore ya,” kata Dave.
“Oke. See you.”
Segera aku kembali ke kamarku, memilah-milih lagu-lagu dan gospel songs yang kira-kira Mama sukai. Sepanjang sore hari aku habiskan dengan melatih nada-nada dan menyortir lagu. Benar-benar menyenangkan. Aku tidak pernah merasakan antusiasme yang begitu besar selama ini.
Keesokan harinya, sesuai janji aku menemui Dave di rumahnya untuk menjalankan rencanaku. Setiap sore kami akan berlatih menyanyi diiringi oleh alunan musik pianonya. Alhasil, dalam lima hari aku sudah menguasai semua lagu yang kupilih saat itu dengan baik, totalnya ada 11 lagu. Hari keenam semua lagu itu sudah terekam dengan apik ke CD kosong yang kusiapkan. Kami benar-benar puas dengan hasil usaha kami berdua.
“Terima kasih banyak, Dave,” kataku penuh syukur, memeluk Dave sejenak.
“Happy to help , Na, sekarang kau tinggal menyerahkannya besok.”
“Iya…” jawabku. Ada rasa gugup yang langsung menyergap diriku. Benar juga, bagaimana ini… besok adalah waktunya menyerahkan karyaku ini pada Mama. Bagaimana kalau beliau tidak menyukainya?
“Kenapa, kau ragu, Na?” tanya Dave, menyadari perubahan ekspresi wajahku.
“Bagaimana kalau Mama tidak suka ya? Bagaimana kalau suaraku kurang bagus? Mungkin saja hadiah Mimi lebih bagus dariku.”
“Kau tidak boleh berpikir seperti itu dong, Na. Kau sudah berusaha, dan kau hebat. Percayalah, ibumu pasti akan sangat menyukainya.”
“Thank you Dave. Oh ya, omong-omong, bagaimana dengan hadiah Hari Ibu-mu? Kau sudah menyiapkannya? Belakangan ini kau sibuk melatihku saja.”
“Tenang saja. Aku sudah menyiapkannya. Daripada menguatirkan aku, kau lebih baik bersiap-siaplah. Bungkus hadiahnya, latihan supaya tidak gugup, dan sebagainya.”
“Oke,” senyumku, berpamitan dengan Dave untuk pulang ke rumah. Hari sudah gelap saat aku keluar dari rumah Dave, namun aku merasa waktu yang kuhabiskan bersama dengan Dave sangat menyenangkan.
Malam penuh persiapan itu terasa sangat cepat berlalu bagiku, membuatku lelah dan jatuh tertidur dengan cepat, dengan pagi yang datangnya cepat pula. Aku terbangun mendengar suara kicauan burung dan kehangatan sinar matahari yang menelusup ke dalam kamarku dari jendela. Aku membuka mataku dan menyadari bahwa ini adalah harinya. Hari yang telah kurencanakan sejak seminggu yang lalu. Kembali sedikit kegugupan menyergap, tapi tidak sebesar kemarin. Aku pun beranjak menuju ke dapur setelah bebersih diri. Pagi di hari libur kerja memang menyenangkan dan terasa menyegarkan.
“Pagi, Nana.”
“Eh?! P-pagi Ma…” Sapaan Mama mengejutkanku yang sedang melamun menyiapkan sarapanku di dapur.
“Wah… cantik sekali kado ini. Untuk Mama ya?” tanya Mama, menyadari hadiah mungil yang kutaruh di meja makan, sudah bertuliskan ‘to : Mama’ di atasnya.
“I-iya Ma, selamat hari Ibu ya…” kataku terbata.
“’Makasih ya Sayang,” kata Mama, merangkulku dan mengecup keningku sejenak, “boleh Mama buka sekarang?”
“Tentu aja, Ma,” senyumku gugup. Dengan hati-hati Mama membuka bungkus kadoku, dan menemukan CD laguku.
“CD musik? ‘Gospel and Love Songs By : Nana’. Ini kamu yang nyanyikan sendiri, Sayang?” tanya Mama, matanya tampak berbinar antusias, membuatku sedikit lega melihatnya.
“Iya, Ma. Tapi Dave yang bantu aku soal musiknya.”
“Mama pengen dengarkan sekarang aja, bisa pinjamkan Discman kamu, Na?” tanya Mama. Segera aku mengiyakan dan lari kembali ke atas, membawakan Discman untuk Mama. Mama adalah ibu rumah tangga yang melek teknologi, aku tidak perlu mengajarkannya cara menggunakan Discmanku, beliau langsung bisa menggunakannya dengan lancar.
Mama adalah wanita yang sangat menyenangkan bagiku, ia lebih mirip temanku daripada ibuku sendiri. Aku sangat menyayanginya. Aku menatapi wajahnya yang mulai menua, namun dengan kecantikan dan wibawa yang hampir tidak pernah bisa dimakan waktu, rambut coklat ikal, sebahunya yang berkilau diterpa cahaya matahari, wajah ovalnya yang cantik yang menurun padaku dan Mimi, dan matanya yang kini terpejam, menikmati alunan musik dari headphone. Entah aku membayangkannya atau tidak, aku bisa melihat semburat kemerahan di wajah beliau kala mendengarkan musik, dan firasatku mengatakan bahwa beliau memang menyukai nyanyianku yang kuhadiahkan pada beliau.
Beberapa saat kemudian, Mama melepaskan headphone-nya dan menatap ke dalam mataku, penuh kelembutan.
“Rasanya seperti dulu lagi… saat Mama pertama kali melihat kamu menyanyi di gereja. Mama sangat bangga padamu, Nana. Suaramu, masih seindah dan sejernih yang Mama kenal. Terima kasih banyak ya, Sayang. Mama suka sekali.”
“Hehehe… ini semua ‘kan karena Mama juga, karena Mama yang menurunkan bakat menyanyi dan suara ini buat Nana.”
“Suara setiap orang punya warna yang berbeda, Na, dan kamu juga spesial. Sejak lama Mama juga ingin sekali bisa lebih sering bernyanyi sama-sama kamu, Sayang. Kamu mau ikut koor untuk pertunjukan minggu depan di gereja, Na?” tanya Mama dengan antusiasnya, menyentuh bahuku. Aku tidak percaya ini, Mama yang juga anggota koor di gerejaku, memintaku untuk ikut pertunjukan tanpa audisi! Padahal sulit sekali bagi para peserta lain untuk ikut dalam pertunjukan karena ketatnya seleksi. Luar biasa!
“Yang benar, Ma? Boleh?!” tanyaku ikut antusias. Mama mengangguk mengiyakan.
“Mama ingin sekali mendengar nyanyianmu langsung, Sayang. Selama ini… kita agak renggang. Gimana kalau kita mulai lagi dari awal? Yang baru tentunya.”
“Iya, tentu aja, Ma, ‘makasih banyak ya Ma,” kataku dengan suara bergetar, air mata kebahagiaan mengalir tak terbendung. Puji Tuhan, niat dan usahaku tidak tersia-siakan. Ini adalah Hari Ibu terindah dan paling membahagiakan bagiku.
FINISH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar