Senin, 30 April 2012

Cerpen Sedih "Surat Cinta Untuk Rendra"

SURAT CINTA UNTUK RENDRA
Cerpen Retno Bintary

Hari mulai senja ketika aku mulai menulis surat untuk Rendra. Minggu lalu aku sudah mengirimkan surat kepadanya dengan pos kilat. Minggu sebelumnya juga sama, bahkan berminggu-minggu yang lalu. Setiap minggu selama 3 tahun aku selalu menulis surat untuknya. Tapi sampai saat ini tak pernah ada satu pun surat yang sampai ke rumahku. Dimanakah kau Rendra, apakah kamu melupakan aku ?.
Kuingat tiga tahun yang lalu. Di terminal saat senja, Rendra menggenggam tangaku di dekat pintu bus. Dia bilang akan kembali secepatnya untuk membawaku pada keluarganya di Jakarta.
“Nidya, aku janji aku akan kembali. Kamu tunggu aku ya. Aku akan mengirimkan surat setiap minggu”, kata Rendra sebelum ia pergi.
“Kau janji?”, tanyaku tak percaya. Rendra tersenyum dan mengangguk.
“Kau tak akan melupakan aku?”, tanyaku lagi.
“Dengar, kau harus percaya padaku. Bukankah aku orang yang selalu menepati janji?”. Rendra semakin erat menggenggam tanganku.
“Baik, aku akan menunggumu di taman seberang sana. Biar, aku akan jadi orang pertama yang akan melihatmu saat kamu turun dari bus”, kataku sambil menunjuk taman yang ada di seberang pintu masuk terminal. Rumahku tak jauh dari taman itu. Dan rumah kos Rendra juga tak jauh dari rumahku.
“Dan kamu harus janji akan mengirimi aku surat setiap minggu”.
“Iya. Aku akan selalu menulis surat di taman itu. Kita akan bertemu di sini saat kamu pulang”, jawabku.
Petugas segera meminta semua penumpang masuk ke dalam bus. Segera setelah pintu tertutup aku berlari ke taman itu. Di sana ada sebuah bangku yang terbuat dari semen. Aku berdiri di sana agar aku bisa melihat Rendra ketika pergi.
Tak lama bus melaju perlahan. Kulihat samar-samar Rendra melambaikan tangan dari dalam bus.
“Aku akan menunggumu Rendra. Di sini, di taman ini aku akan selalu menunggumu”.
Tiga tahun sudah sejak percakapan aku dengan Rendra di terminal. Percakapan yang tak pernah berlanjut, bahkan dengan selembar surat pun tak pernah. Mungkin Rendra melupakan aku.
Di langit kulihat barisan kuntul sawah terbang ke barat. Mungkin mereka akan pulang ke sarangnya. Tapi kapan Rendra akan kembali lagi untuk memenuhi janjinya tiga tahun yang lalu. Entahlah, mungkin hanya tinggal harapan.
♥♥♥

Aku merapikan buku-buku dan permainan murid-muridku yang berantakan. Anak TK memang belum bisa diandalkan untuk merapikan ruangan. Tapi, dengan anak-anak itulah aku akan bisa sejenak melupakan kesedihanku pada Rendra.
“Bu Nindya, Salsa pengen beli siomay. Ibu temenin Salsa ya?”, seorang muridku tiba-tiba mendekatiku. Aku mengangguk dan menggandeng tangannya.
Aku menunggu penjual siomay membungkuskan pesanan Salsa.
“Pake acar, Bu?”, Tanya penjual siomay. Aku tersentak karena setengan melamun.
“Acar? Tidak Pak, Rendra tidak suka acar?”, jawabku spontan.
“Salsa suka acar, Pak”, Salsa menjawab sendiri pertanyaan penjual siomay. Aku tersadar apa yang aku ucapkan. Aku baru menyadari bahwa yang membeli siomay adalah Salsa, muridku, bukan Rendra.
Mataku mulai berkaca-kaca mengingat Rendra. Rendra tak pernah mau membeli siomay dengan acarnya. Salsa lari kembali ke sekolah untuk memakan siomaynya sambil menunggu jemputan. Aku mengikutinya dengan langkah gontai. Kenapa setiap sudut di tempat ini selalu mengingatkan aku pada Rendra. Benarkah apa yang kulakukan. Menunggu Rendra yang tak pernah memberiku kepastian.
♥♥♥

Senja ini aku masih duduk di taman. Menulis surat dan puisi-puisi untuk Rendra. Tak henti-hentinya aku menatap terminal, tapi tak satu pu bus dari Jakarta yang membawa Rendra. Aku kembali menulis. Menggoreskan setiap kata yang selalu ingin kusampaikan pada Rendra. Hanya menurunkan beberapa orang yang tak ku kenal.
“Nidya!”. Suara Rendra terngiang di kepalaku.
“benarkah kamu Nidya?”. Suara itu lagi. Dan suara itu ada di belakangku.
“Rendra”, seruku dalam hati. Aku berbalik dan apa yang kulihat sungguh aku tak percaya. Sosok Rendra yang kurindukan dengan tas yang ia gantungkan di bahu berdiri di hadapanku.
“Benarkah kamu kembali, Rendra?”. Mataku mulai berkaca-kaca. Aku tak bisa menyembunyikan perasaan haru yang membuncah di hatiku. Setelah tiga tahun menunggu. Akhirnya Rendra kembali.
“Kenalkan, saya Arya”. Seketika perasaan bahagia yang sempat menyusup dalam hatiku hilang. Rendra memperkenalkan diri. Apa maksudnya? Aku hanya diam dan kubiarkan tangannya yang terulur tak kusentuh.
“Rendra, kenapa? Kenapa kamu…?”.
“Maaf, kalau saya mengagetkan. Tapi saya bukan Rendra”, katanya lemah.
“Lalu…apa artinya ini?”.
“Saya Arya, saudara kembar Rendra”.
“Saudara kembar? Tapi rendra tak pernah mengatakan punya saudara kembar”.
Aku justru semakin bingung. Kakiku serasa lemas. Kalau yang menemuiku di sini bukan Rendra, lalu Rendra kemana. Kalau orang lain saja datang mengapa Rendra menghilang.

Arya duduk di sampingku yang sejak tadi menangis. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan ketika semenit yang lalu Arya bilang kalau Rendra sudah meninggal. Arya juga hanya diam, mungkin dia bingung apa yang harus dilakukannya padaku.
“Rendra pernah bilang kalau dia akan kembali menemui seseorang di sini”, katanya pelan.
“Kenapa tak ada yang memberitahuku kalau Rendra sudah meninggal?”.
“Seminggu setelah Rendra meninggal, aku dan ibu ikut ayahku tugas di luar kota. Rumah kami hanya dijaga oleh pembantu kami”.
“Lalu, kenapa kamu datang kesini sekarang?”, tanyaku heran, mataku masih menitikkan air mata.
Arya mengeluarkan tumpukan amplop dari dalam tasnya. Aku mengenali amplop-amplop itu.
“Kamu pasti mengenali semua ini ? Semua ini adalah suratmu yang kamu kirimkan selama ini. Kalau tidak salah jumlahnya ada 156 surat”, Arya memberikan semua amplop-amplop itu padaku.
Kubuka beberapa memang benar bahwa itu semua adalah surat dariku. Tangisku semakin pecah. Kubenamkan wajahku ke dalam tumpukan amplop di hadapanku. Arya hanya memandangiku dengan sedih.
“Rendra, kenapa harus begini”.
“Dan ini surat yang ingin Rendra kirimkan padamu”, Arya memberikan satu amplop lagi. Perlahan aku membukanya dan kubaca.
Dear my lovely Nidya
Nidya, maaf baru sempat membalas suratmu………….

Aku hanya bisa membaca satu kalimat itu karena tiba-tiba tulisannya samar karena tertutup oleh air mataku.
Lima menit selanjutnya kami hanya diam. Aku masih merasakan sesak yang amat menyiksa di dadaku. Sementara Arya, aku tak tahu apa yang ada dalam pikirannya.
“Maaf, aku baru memberitahu semuanya dan membiarkanmu menunggu selama ini. Dua hari yang lalu aku pulang ke rumah. Pembantu kami bilang, setiap minggu ia menerima surat untuk Rendra. Ia menyimpannya di kamar Rendra”.
“Kau bilang Rendra meninggal karena kecelakaan?”.
“Rendra meninggal di hari yang sama dimana ia akan mengirimkan surat itu padamu. Hari itu sebenarnya kami semua akan pindah. Aku dan orang tuaku sudah menunggu Rendra di bandara. Ia bilang akan mampir ke kantor pos sebelum ke bandara”. Arya diam sejenak. Aku masih menunggu kalimat selanjutnya yang akan ia katakan padaku.
“Setengah jam kemudian Rendra menelponku, tapi ternyata itu bukan suara Rendra. Itu suara seorang perawat rumah sakit tempat dimana Rendra dirawat. Kami segera menyusulnya. Kami diberi tahu orang yang membawa Rendra bahwa ia tertabrak bus di depan kantor pos saat ia menyeberang. Aku sangat menyesal ia pergi tanpa mengucapkan apapun pada kami. Polisi memberikan tas yang dibawa Rendra padaku, dan aku menemukan surat itu di dalamnya”.
“Aku piker kamu berhak tahu yang sebenarnya. Rendra selalu bilang kalau ada seseorang yang terus menunggunya di taman seberang terminal di kota ini. Dan ternyata benar, kau masih setia menunggunya. Saudaraku ini sangat beruntung pernah memiliki orang sepertimu di hidupnya”.
Aku tak berkata apa-apa. Sesak di dadaku semakin menyiksa. Rendra yang kutunggu selama 3 tahun ternyata tak akan pernah kutemui lagi.
………sekian dulu suratku Nidya. Aku harus pergi. Kamu akan menungguku kan ?

Salam sayang,
Rendra

Kubaca kalimat terakhir surat Rendra. Kalimat itu, ternyata adalah salam perpisahan darinya. Dan selama tiga tahun aku tak henti-hentinya menunggu.

Arya masih menungguiku menangis di taman senja itu. Kuntul-kuntul yang terbang rapi tak lagi kuhiraukan, karena aku tak tahu dimana tempat mereka pulang. Tapi sekarang aku tahu dimana Rendra, ia tak akan pernah kembali.
♥♥♥

Aku beraktivitas seperti biasanya di sekolah tempatku mengajar. Keceriaan anak-anak didikku membantuku untuk perlahan melupakan kejadian sebulan yang lalu dimana Arya datang menemuiku. Kini akau mulai bisa menerima apa yang terjadi. Saat ini Rendra mengawasiku di atas sana, karena itu aku tidak boleh menangis. Saat istirahat, pak pos datang ke sekolah dan memberikan sebuah surat untukku.
Kepada Nidya Maharani
Di TK Bhakti Utama

Benar surat ini ditujukan padaku. Tapi dari siapa. Kubalik amplop itu untuk melihat siapa yang mengirimnya.

Dari Arya Wijaya
Di Jakarta
♥♥♥

Sejak saat itu Arya selalu mengirimiku surat setiap bulan. Yah, kini dia menjadi sahabatku dan terkadang aku merasa bahwa ia ingin lebih dari itu. Meski ia mirip dengan Rendra, tapi aku belum bisa membuka hatiku untuknya. Hanya Allah yang tahu apa yang akan terjadi nanti. Aku hanya bisa menunggu, menjalani hari-hariku tanpa Rendra dan menjadikan Arya sebagai sahabtatku.

***SELESAI***

PROFIL PENULIS
Retno Bintary
Lahir di Purworejo, Agustus 1991
Kuliah S1 PGSD UNY angkatan 2009
Hobinya iseng2 bikin cerita, kalo lg stress sukanya bikin puisi

Baca juga Cerpen Sedih yang lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar