DIAM
Cerpen Fika
Aku hanya terdiam ketika senyum tak lagi menyapaku, ketika ceria tak lagi menghampiriku, ketika kepedihan terus mengikutiku disetiap jejak langkahku. Berharap pun serasa aku tak mampu. Aku hanya menunggu takdir akan berpihak padaku serta memberikan jawaban dan kebenaran. Tapi, entah sampai kapan semua ini akan berlalu. Aku hanya sebuah debu kecil yang tergeletak tak berkutik. Sesekali angin membawaku bertebangan sesuka yang dia mau, aku pun hanya mengikuti kemana arus angin pergi membawaku.
Dalam keheningan, dalam kesepian, dalam kehampaan, aku mencoba dan terus mencoba menapaki hidup yang keras ini. Berharap Sang Ilahi mendengar dan menjawab doa yang Kupanjatkan disetiap hembusan Napasku. Air mataku selalu kutumpahkan setiap hari, dan dapat kurasa betapa semakin berat hidup ini. Semakin bergelora badai menerjangku, hingga terkadang aku tak tahu arah dan berbuat salah yang semakin menyiksaku sendiri. Aku bukan apa-apa tanpa cahaya Tuhanku. Sungguh jiwa ini kering tanpa kasih sayang dari Sang Maha Kasih.
“Ah…kamu melamun lagi!!” Suara Ardi membuyarkan lamunanku.
“He..he.., gak kok ” aku mengelak dan mencoba tersenyum di hadapannya, aku tak ingin membuatnya khawatir.
“Kamu jangan bohong sayang…aku dapat melihat dari tatapan matamu yang kosong, mikirin apalagi sih?”
Aku terdiam sejenak, tiba-tiba aku teringat hal yang selama ini mengusik pikiranku. Ardi, kekasih yang telah menemaniku selama lebih dari 3 tahun ini. Entah apa yang membuatnya bertahan denganku hingga sekarang. Dari sekian pilihan gadis yang mampu mengisi hari-harinya, dia tetap memilihku. Kasih sayangnya begitu nyata terhadapku, aku dapat merasakan disetiap pengorbanan dan waktu yang selalu dia usahakan untukku. Cinta ini mungkin terlarang, tapi aku tak sanggup meninggalkannya.
“Sayang……sayang..ngalamun terus sih, mau cerita gak ?”
Aku masih terdiam tak menjawab pertanyaan dan hanya menatapnya.
Dia tersenyum kepadaku, sungguh senyumannya membuatku hanyut dalam kasih sayangnya. Tetapi senyuman itu juga yang membuatku luka. Terluka karena tak yakin aku masih dapat melihat senyuman itu lagi. Selama kita bersama orang tua dan keluargaku tidak menyetujui hubungan kami. Mereka menginginkan aku mendapat yang lebih baik , aku tak boleh menjalin hubungan serius dengan lelaki sebelum waktu yang ditentukan orang tuaku, atau dengan berbagai alasan lain mereka melarang hubungan ini. Mereka tidak tahu betapa aku mencintai Ardi, dia selalu ada untuk menguatkanku, memberiku semangat dan menghapus air mataku disaat aku bersedih. Aku tahu dia tak sempurna bahkan tak akan mungkin aku menemukan kesempurnaan di dunia ini. Tetapi dia selalu berusaha menjadikan hidupku sempurna dan melakukan yang terbaik, dengan cara dan pilihannya sendiri.
“Lhoh…kok malah nangis sih.”
“Aku…akuuu…hiks…hiks…”
Aku tak dapat meneruskan kata-kataku, tangisku meledak begitu saja. Ardi membawaku dalam pelukannya dan mencoba menenangkanku.
“Menangislah sepuasmu, jangan malu dan jangan ditahan, gak apa-apa sayank…nanti kalau udah tenang, crita ya sama aku…”
Ardi masih memelukku erat, air mataku masih mengalir dan membasahi bajunya. Belum ada satu katapun yang keluar dari mulutku. Entah mengapa lidahku terasa kelu untuk sekedar bercerita tentang perasaanku kepada kekasih hatiku ini. Mungkin karena terlalu berat beban ini atau karena lagi-lagi aku tak ingin membuatnya khawatir. Mungkin juga aku lebih nyaman dengan keadaan ini, menangis dan bersandar dalam pelukannya sepuas yang aku mau. Kebersamaan ini sungguh indah tetapi juga sungguh membuatku gundah. Akankah aku harus melepasnya karena dia belum menjadi milikku dan kami belum diikat oleh tali pernikahan. Ataukah aku harus bertahan dan menunggu hingga aku temukan harapan, keluargaku akan merestui hubungan kami, dan kami akan mempunyai keluarga yang bahagia. Tetapi itu semua hanya sebuah mimpi dan hubungan kami tetap saja terlarang saat ini.
“Sayank…masih belum mau cerita ya…apa sih masalahnya, cerita sama aku siapa tahu aku dapat kasih solusi. Gimana..??? heeemmm…udah ah, jangan nangis terus gitu..bilang sama aku apa yang terjadi.”
Ardi terus membujukku dan menatap mataku dalam-dalam seraya menghapus air mataku. Aku hanya menggelengkan kepala dan kembali kedalam pelukannya. Tangisku semakin tak terkendali, terasa ada tusukan di dadaku yang mulai sesak karena tangisku. Aku mencoba menarik napas dan mengendalikan diriku.
“Ya udah kalau belum mau cerita aku gak akan maksa, besok atau kapanpun kamu mau cerita kamu cerita ya…dan ingat gak ada masalah yang gak ada solusinya jadi jangan panik dulu cobalah tenang menghadapi masalahmu. Satu lagi, jangan terlalu berat memikirkannya, nanti kamu jadi sakit bahkan stress, lihat badanmu sekarang udah kurusan lho. Bisa kan sayank..?”
“Lhoh…kok malah nangis sih.”
“Aku…akuuu…hiks…hiks…”
Aku tak dapat meneruskan kata-kataku, tangisku meledak begitu saja. Ardi membawaku dalam pelukannya dan mencoba menenangkanku.
“Menangislah sepuasmu, jangan malu dan jangan ditahan, gak apa-apa sayank…nanti kalau udah tenang, crita ya sama aku…”
Ardi masih memelukku erat, air mataku masih mengalir dan membasahi bajunya. Belum ada satu katapun yang keluar dari mulutku. Entah mengapa lidahku terasa kelu untuk sekedar bercerita tentang perasaanku kepada kekasih hatiku ini. Mungkin karena terlalu berat beban ini atau karena lagi-lagi aku tak ingin membuatnya khawatir. Mungkin juga aku lebih nyaman dengan keadaan ini, menangis dan bersandar dalam pelukannya sepuas yang aku mau. Kebersamaan ini sungguh indah tetapi juga sungguh membuatku gundah. Akankah aku harus melepasnya karena dia belum menjadi milikku dan kami belum diikat oleh tali pernikahan. Ataukah aku harus bertahan dan menunggu hingga aku temukan harapan, keluargaku akan merestui hubungan kami, dan kami akan mempunyai keluarga yang bahagia. Tetapi itu semua hanya sebuah mimpi dan hubungan kami tetap saja terlarang saat ini.
“Sayank…masih belum mau cerita ya…apa sih masalahnya, cerita sama aku siapa tahu aku dapat kasih solusi. Gimana..??? heeemmm…udah ah, jangan nangis terus gitu..bilang sama aku apa yang terjadi.”
Ardi terus membujukku dan menatap mataku dalam-dalam seraya menghapus air mataku. Aku hanya menggelengkan kepala dan kembali kedalam pelukannya. Tangisku semakin tak terkendali, terasa ada tusukan di dadaku yang mulai sesak karena tangisku. Aku mencoba menarik napas dan mengendalikan diriku.
“Ya udah kalau belum mau cerita aku gak akan maksa, besok atau kapanpun kamu mau cerita kamu cerita ya…dan ingat gak ada masalah yang gak ada solusinya jadi jangan panik dulu cobalah tenang menghadapi masalahmu. Satu lagi, jangan terlalu berat memikirkannya, nanti kamu jadi sakit bahkan stress, lihat badanmu sekarang udah kurusan lho. Bisa kan sayank..?”
Aku hanya mengangguk kecil dalam pelukannya.
Sungguh berat jika aku harus melepasnya dan mengikhlaskannya menjadi milik yang lain atau aku yang harus bersama lelaki lain pilihan kedua orang tuaku. Aku teringat kejadian-kejadian selama 3 tahun ini, bagaimana sikap keluargaku kepada Ardi. Ayahku sering sekali menghindarinya, bahkan ayah hanya berada di kamar saat Ardi datang. Tak ada sapa hangat, tak ada keramahan bahkan menemuinya saja tidak. Saat harus berhadapan dengannya ayah dengan wajah terpaksa membalas uluran tangan Ardi dan mencoba bersikap sewajar mungkin. Tetapi sungguh itu terlihat sangatlah aneh dan aku lihat ayah jarang sekali menatap Ardi. Sejak aku kecil ayah selalu mengajariku sopan santun kepada orang yang lebih tua ataupun orang lain yang aku temui dirumah dan dimana saja. Tetapi seperti inikah contoh dari bimbingan ayah selama ini.
Aku ingat juga sikap ibuku kepada Ardi, tak jauh dari ayah. Walaupun sesekali ibu menanyakan tentang Ardi kepadaku, terkadang ibu begitu ramah dan perhatian kepadanya. Tetapi itu tak pernah berlangsung lama. Akhirnya ibu tetap tidak suka dan terkadang memintaku meninggalkannya. Ketika aku menjelaskan bahwa Ardi tak seburuk yang ibu pikirkan dan bukan salahnya sekarang dia bersamaku karena aku juga menyayanginya, ibu tak peduli dengan jawaban itu. Ibu dan ayah tetap pada prinsip dan keinginan mereka agar aku berpisah dengannya.
Jika saat ini aku dapat mengucap beberapa kata untuk kedua orang tuaku aku akan berkata :
Ibu, ayah…Maafkanlah aku
Kumohon mengertilah aku, aku mencintainya karena dia segalanya untukku
Aku memohon restu kalian untuk hubungan kami yang sudah sejauh ini kami jalani
Aku tak pernah bermaksud menjadi anak durhaka karena menentang keinginan kalian
Aku tak pernah memilihnya tapi hatiku menujukan cintaku kepadanya dan
Mungkin ini adalah takdir Tuhan
Ibu, ayah…aku bersamanya bukan berarti kalian akan kehilanganku
Aku akan tetap berusaha merawat ,menjaga dan menyayangi kalian sampai akhir hidupku
Saat ini aku masih milik kalian dan aku akan penuhi kapan waktu dia boleh menjemputku dan menjadikan aku menjadi miliknya
Yakinlah dia akan menjaga dan mencintaiku dengan baik seperti yang kalian lakukan selama ini terhadapku
Ibu dan ayah adalah orang tua terbaik yang pernah aku miliki
Selamanya kalian akan ada dalam hati dan jiwaku
Kumohon Ibu dan Ayah berikan restu karena keridho’an kalian adalah keridho’anNya
Doakan aku bahagia dengan yang terbaik untukku
***
Hingga senja datang belum juga aku mengatakan kegundahan hatiku kepada Ardi. Aku hanya menangis merasakan sakit yang terus menusuk hatiku di rumah Ardi. Rumah yang memberikan kehangatan untukku, bahkan terkadang lebih hangat daripada rumahku sendiri. Keluarganya begitu ramah dan baik kepadaku, berbeda dengan sikap keluargaku kepada Ardi. Dapat kurasakan mereka telah menganggapku bagian dari hidup mereka. Aku selalu merasa nyaman berada di rumah itu bahkan aku sering merindukan kebersamaan di sana. Terkadang aku tak sabar menanti datangnya saat aku benar-benar menjadi bagian dari hidup Ardi dan keluarganya. Hidup dan membangun keluarga bersama kekasih hatiku, kebahagiaan ini tak akan terasa semu karena belum adanya ikatan suci di antara kami.
Senja itu kami lanjutkan dengan shalat Ashar berjama’ah. Dalam diam aku berdoa agar yang Kuasa mempersatukan kami suatu saat nanti. Agar Sang Ilahi membuka pintu hati kedua orang tuaku dan keluargaku untuk menerima Ardi menjadi imam dalam hidupku. Aku juga berdoa Ardi akan tetap berlapang dada dan tak pernah lelah mencintaiku dengan perjuangan panjang ini dan bahwa benar dia adalah yang tertulis dalam suratan takdir untuk menjadi pendampingku. Aku berdoa semua orang terkasih dalam hidupku mendapatkan yang terbaik. Semoga doaku cepat didengar dan dikabulkan oleh Sang Maha Kasih.Amin.
***
Baca juga Cerpen Cinta yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar