SEPUPU
Cerpen Codet
Cerpen Codet
Aima menarik napas dalam-dalam. Perlahan ia menghembuskannya. Saat ini ia tengah mengumpulkan keberaniannya untuk menyatakan cinta pada sahabatnya, Abie. Mereka masuk eks-kul yang sama di SMU. “Abie….”
“Ada apa, Ma? Kau serius sekali.” Abie membolak-balik buku pelajarannya. Ia tidak memperhatikan Aima yang tegang.
“Aku…sudah lama suka padamu, Abie. Kira-kira 5 bulan yang lalu, sejak OSPEK.”
Abie terlihat terkejut. Ia mendongak dari buku pelajaran yang sedang dibacanya. Ia memandang Aima lama, lalu menggeleng. Abie menolaknya. Ia hanya menganggap Aima sahabat, tidak lebih.
“Ternyata selama ini aku ge-er…” Aima berusaha menahan air matanya yang hendak jatuh. “Gosip yang selama ini kudengar benar, ya, bahwa kau mengincar Chanty dari kelas E?” Saat ia melihat wajah Abie memerah, dadanya terasa sangat sakit. Abie meminta maaf, membuat dadanya semakin sakit. Lalu Aima pergi ke kantin dengan langkah gontai.
***
“Kenapa sih cowok jelek begitu kautangisi?”
Aima menghapus air matanya yang masih terus berjatuhan. Dengan galak ia menatap Mario, sepupu jauhnya. “Enak saja mengejek Abie! Kau tuh yang jelek!”
Mario menggaruk kepalanya. Ia benar-benar tak menyangka bahwa Abie menolak Aima, sebab Abie selalu baik pada Aima dan selalu membela Aima. Ternyata Abie malah naksir teman sekelasku….”Abie kejam, ia selalu melindungimu dan seperti memberi harapan padamu. Tapi ternyata ia tidak naksir padamu.”
Aima berhenti menangis. “Abie selalu melindungiku karena aku selalu dihina anak haram….Ia hanya kasihan padaku, aku salah mengartikannya. ”
Mario ragu-ragu memeluk sepupunya. “Begitukah? Aku tidak tahu teman-teman menghinamu, Ma! Hei, jangan buang ingus di kaosku!” Mendengar itu, Aima tertawa.
Malamnya Mario menginap di rumahnya. Ia tidur di lantai berkarpet di kamar Aima. Aima tidak bisa tidur karena masih sedih, dan juga karena dengkuran Mario.
Keesokannya Aima mendengar kabar dari Abie bahwa ia telah menembak Chanty, dan Aima hanya dapat memberinya selamat dengan hati hancur.
“Terima kasih, Ma, keberanianmu membuatku berani untuk menembak Chanty. Aku tak menyangka Chanty membalas perasaanku. Padahal ia pendiam dan jika kusapa ia hanya mengangguk. Terus kalau kuajak mengobrol, ia hanya menjawab seperlunya.” Abie bersikap biasa pada Aima, seolah Aima tidak pernah menyatakan cinta padanya. Dengan hati sedih Aima permisi ke koperasi.
Mario mendongak dari monitor komputer di ruang eks-kul dan menatap Abie. “Kurasa kau memang kejam, Bie.”
Abie memandang lantai. “Aku tidak tahu harus bagaimana menghadapi Ima….Aku hanya menganggap Ima sahabat. Aku sungguh-sungguh melindunginya. Aku benci jika teman-teman menghinanya. Tapi….” Abie memejamkan matanya, ”aku tidak mencintainya.”
Mario menghela napas. “Yah….” Ia kembali mengetik. “Aku tahu. Cinta memang tidak dapat dipaksakan. Tapi lain kali jangan memberi Ima, ataupun perempuan lain harapan kosong.”
Pada hari-hari, minggu-minggu, dan bulan-bulan selanjutnya Aima berusaha untuk bersikap biasa pada Abie. Dan ia juga berusaha untuk menghilangkan perasaan cintanya. Perlahan Aima mulai melupakan Abie, berkat penghiburan Mario. Sabtu siang itu Aima sedang piket seperti biasanya. Ketika sedang membuang sampah ke tempat sampah, Chawi, temannya dari kelas sebelah mengundangnya ke pesta ulang tahunnya. Chawi memintanya untuk datang bersama pasangan.
Aima mengatakan bahwa ia akan berusaha datang ke pesta ulang tahun Chawi. Karena itu ia bergegas mencari Mario. Biasanya hari Sabtu sepulang sekolah Mario pergi untuk curhat ke ruang Bimbingan Konseling. “Permisi.”
Mario dan Guru BK, Bu Marinna yang masih muda dan cantik, menoleh berbarengan. “Ima? Kau juga mau curhat?”
“Ada yang ingin kubicarakan denganmu, Rio.”
“Aku sedang sibuk.”
“Rio, sebaiknya kau menemui Ima dulu. Sepertinya penting.” Suara Bu Marinna yang lembut dan dewasa, entah kenapa, membuat Aima kurang menyukainya. Seharusnya guru BK tidak secantik itu! Aima terkejut dengan pikiran bodohnya.
Mario pamitan dan mengikuti Aima. “Ada apa? Kau mengganggu saja.”
Aima memajukan bibirnya. Ia mengajak Mario untuk pergi bersama ke pesta ulang tahun Chawi nanti malam. Mario langsung menerima ajakan sepupu jauhnya itu. “Yah, sebenarnya tadi Bu Marinna baru saja menolak ajakan kencanku malam Minggu ini. Daripada aku bĂȘte di rumah, lebih baik ikut ke pesta denganmu. Makan gratis pula.”
Aima melongo. “Apa? Kau mengajak Bu Marinna ken ─” Aima meronta-ronta karena Mario membekapnya. “Maaf, habis kau mengejutkanku…kenapa kau mengincar guru? Seperti kekurangan cewek saja! Kan masih banyak anak kelas 1 lainnya!” Aima memelankan suaranya.
“Sori ya, nggak level.”
“Ih, dasar, sukanya tante-tante! Sejak kapan kau suka dia? Kenapa kau suka padanya? Apakah dia juga suka padamu?”
Mario terlihat berpikir. “Bukan urusanmu.” Mario merangkulnya. “Kenapa? Kau cemburu, ya?”
“Cemburu? Enak saja. Pokoknya nanti malam kau jemput aku jam 7.30. Sampai nanti!”
Malamnya Aima mengenakan gaun berwarna kuning gading. Mario yang mengenakan kemeja hitam dan celana bahan putih lama memadangnya. “Aku tak percaya ini.”
“Bahwa aku cantik dan anggun?”
“Bahwa kau cewek.” Mario tergelak karena Aima memukulnya. “Bercanda. Malam ini kau cantik sekali, lebih cantik dari Mamamu.” Mendengar itu Aima tersipu. Ibu Aima, mengantar mereka sampai gerbang.
Beberapa menit kemudian Blazer hitam Mario meluncur ke jalan raya. “Tante Yuni benar-benar cantik walau tidak berdandan. Aku tidak mengerti kenapa Ayahmu tidak mau bertanggung jawab saat Tante mengandungmu dulu….”
“Tolong Rio, jangan sebut-sebut pria itu di hadapanku….”
“Maaf….” Mario berdehem. “Padahal kau benar-benar cantik, manis, dan lucu. Makanya aku tidak mengerti kenapa Abie tidak naksir padamu.”
“Apakah aku cantik?” Wajah Aima memerah.
“Sudah kubilang ‘kan? Lebih cantik dari Tante Yuni, Bu Marinna, dan Chanty.”
Aima menggembungkan pipinya. “Dasar gombal, pembohong besar! Mana mungkin aku lebih cantik dari Bu Marinnamu itu.”
“Sungguh.” Setelah memarkir Blazer di halaman rumah Chawi yang sangat luas itu, Mario menatap Aima lama. Aima menjadi gugup dibuatnya. Ia ingin segera turun dari mobil. “Aima….”
Aima buru-buru membuka pintu. Ia tersangkut gaunnya dan pasti terjatuh jika Mario tidak segera menarik tubuhnya. Jantungnya berdebar kaget dan napasnya tersengal. Mario membentaknya agar berhati-hati. “Maafkan aku….” Aima dapat merasakan debar jantung dan napas Mario di punggungnya yang agak terbuka.
Mario menyuruhnya tetap diam di kursi mobil sementara Mario turun dan mengitari mobil. Ia membantu Aima turun. “Maaf, aku tidak bermaksud membentakmu. Kau bisa saja jatuh tadi….”
Entah kenapa, tiba-tiba saja jantung Aima berdebar-debar tidak karuan. Wajahnya terasa panas. Untung gelap, jadi Mario tidak dapat melihat wajahku yang memerah! Oh, tidak….apakah aku mulai jatuh cinta pada Mario? Masa, sih? Tidak mungkin….Mario sudah kuanggap seperti sahabat. Tidak, lebih dari itu. Teman, sahabat, adik, kakak….
“…Ima?”
“Eh, apa?”
“Kau masih melamunkan si jelek itu? Apakah Chawi mengundangnya?”
“Aku sudah tidak begitu memikirkan Abie. Tentu saja Chawi mengundanya, Abie ‘kan teman Chawi juga.”
Pesta ulang tahun Chawi berjalan dengan lancar. Saat acara dansa, Aima berdansa dengan Mario. Saat Juan, teman sekelas Aima mengajak berdansa, Mario tidak mengizinkannya. “Dasar serakah. Kau ‘kan sedang berdansa dengan pasanganmu. Lagipula, matamu buta, ya? Ima sedang berdansa denganku!” Mario menatap Juan dingin. Aima dan Juan sama-sama terkejut karena ucapan Mario.
Aima tersipu. “Kau tidak berdansa dengan yang lain?”
“Aku sedang berdansa dengan cewek tercantik di sini, kenapa harus berdansa dengan yang lain?” Mario tersenyum penuh arti. Bibirnya yang merah dan memikat sangat menggoda ─ menggoda? Sejak kapan aku berpikir begini?? Aima menggelengkan kepalanya, berusaha menghilangkan pikiran anehnya.
Aima terkejut ketika Mario tiba-tiba memeluknya semakin erat dan meletakkan kepala Aima ke dadanya. Aima berusaha melepaskan diri, namun Mario tetap memeluknya. “Aduh, Mario, apaan, sih?”
“Percayalah padaku, kau takkan mau melihatnya.”
“Aku tidak apa-apa. Aku melihat dari kaca jendela. Abie sedang berdansa dengan Chanty di balkon. Dan mereka berciuman.”
Mario melepaskan pelukannya. “Kau baik-baik saja? Atau kau mau pulang sekarang? Ayo, kalau kau ingin menangis, kita pulang saja. Kau bisa menangis di mobil sepuasnya.”
Aima menangis. Bukan karena Abie dan Chanty, tapi karena terharu akan perhatian Mario. Mario segera merangkulnya dan membawanya ke mobil.
“Tuh ‘kan, kau masih mencintainya.” Mario menghela napas. Ia memberikan tisu pada Aima.
Aima menggeleng. “Rio, apakah…apakah kau sangat mencintai Bu Marinna?”
“Kenapa tiba-tiba membahas Bu Marinna?”
“Jawab saja.” Aima menutupi wajahnya.
Mario menghela napas. Ia menyandar pada bahu kursi mobil. “Aku…sebenarnya tidak punya perasaan apa-apa padanya. Aku ke BK untuk konsultasi soal penjurusan kelas 2 nanti. Aku hanya ingin mengerjaimu saja.”
Aima mendongak menatap Mario. Mario tengah memandanginya. Matanya yang memandang lurus membuat jantung Aima serasa berhenti berdetak. “Apakah arti aku bagimu? Apakah hanya seperti adik?”
Mario terdiam. Ia seperti ingin mengucapkan sesuatu tapi tidak jadi. Suaranya berubah gugup. “Ke-kenapa tiba-tiba kau bertanya begitu? Eh, aku….” Mario membuka kaca jendela dan memandang keluar, ke parkiran. “Malam ini panas sekali, ya.”
“Rio….jangan mengalihkan.”
“Selama ini aku selalu merindukanmu.”
“Apa?”
“Ya, selama ini aku selalu merindukanmu dalam setiap mimpiku. Menginginkanmu, menyayangimu, mencintaimu….”
“Rio, pandang aku, hei….” Aima menarik Mario. Ia menyalakan lampu mobil, dan melihat bahwa wajah dan telinga Mario memerah. Melihat itu, wajah Aima pun menjadi merah padam dan terasa panas. Ia melepaskan pegangannya pada Mario dan memegangi pipinya sendiri. “Syukurlah kau tidak menganggapku sebagai adik, karena…karena aku juga mencintaimu….”
“Tapi tadi kau menangis….”
“Itu bukan karena Abie dan Chanty. Aku menangis karena kau begitu memperhatikanku. Dan aku takut perhatianmu itu hanya karena aku sepupumu. Makanya aku menangis.” Aima malu.
Mario mengusap wajahnya yang masih memerah. Ia mematikan lampu mobil. “Ayo kita ke restoran dekat sini. Aku ingin merayakan hari jadi kita.”
“Memangnya kita sudah jadian?”
“Kau mau apa tidak?” Mario merajuk.
Aima tertawa senang. “Aku mau!!”
-Tamat-
15 Februari 2005
“Terima kasih, Ma, keberanianmu membuatku berani untuk menembak Chanty. Aku tak menyangka Chanty membalas perasaanku. Padahal ia pendiam dan jika kusapa ia hanya mengangguk. Terus kalau kuajak mengobrol, ia hanya menjawab seperlunya.” Abie bersikap biasa pada Aima, seolah Aima tidak pernah menyatakan cinta padanya. Dengan hati sedih Aima permisi ke koperasi.
Mario mendongak dari monitor komputer di ruang eks-kul dan menatap Abie. “Kurasa kau memang kejam, Bie.”
Abie memandang lantai. “Aku tidak tahu harus bagaimana menghadapi Ima….Aku hanya menganggap Ima sahabat. Aku sungguh-sungguh melindunginya. Aku benci jika teman-teman menghinanya. Tapi….” Abie memejamkan matanya, ”aku tidak mencintainya.”
Mario menghela napas. “Yah….” Ia kembali mengetik. “Aku tahu. Cinta memang tidak dapat dipaksakan. Tapi lain kali jangan memberi Ima, ataupun perempuan lain harapan kosong.”
Pada hari-hari, minggu-minggu, dan bulan-bulan selanjutnya Aima berusaha untuk bersikap biasa pada Abie. Dan ia juga berusaha untuk menghilangkan perasaan cintanya. Perlahan Aima mulai melupakan Abie, berkat penghiburan Mario. Sabtu siang itu Aima sedang piket seperti biasanya. Ketika sedang membuang sampah ke tempat sampah, Chawi, temannya dari kelas sebelah mengundangnya ke pesta ulang tahunnya. Chawi memintanya untuk datang bersama pasangan.
Aima mengatakan bahwa ia akan berusaha datang ke pesta ulang tahun Chawi. Karena itu ia bergegas mencari Mario. Biasanya hari Sabtu sepulang sekolah Mario pergi untuk curhat ke ruang Bimbingan Konseling. “Permisi.”
Mario dan Guru BK, Bu Marinna yang masih muda dan cantik, menoleh berbarengan. “Ima? Kau juga mau curhat?”
“Ada yang ingin kubicarakan denganmu, Rio.”
“Aku sedang sibuk.”
“Rio, sebaiknya kau menemui Ima dulu. Sepertinya penting.” Suara Bu Marinna yang lembut dan dewasa, entah kenapa, membuat Aima kurang menyukainya. Seharusnya guru BK tidak secantik itu! Aima terkejut dengan pikiran bodohnya.
Mario pamitan dan mengikuti Aima. “Ada apa? Kau mengganggu saja.”
Aima memajukan bibirnya. Ia mengajak Mario untuk pergi bersama ke pesta ulang tahun Chawi nanti malam. Mario langsung menerima ajakan sepupu jauhnya itu. “Yah, sebenarnya tadi Bu Marinna baru saja menolak ajakan kencanku malam Minggu ini. Daripada aku bĂȘte di rumah, lebih baik ikut ke pesta denganmu. Makan gratis pula.”
Aima melongo. “Apa? Kau mengajak Bu Marinna ken ─” Aima meronta-ronta karena Mario membekapnya. “Maaf, habis kau mengejutkanku…kenapa kau mengincar guru? Seperti kekurangan cewek saja! Kan masih banyak anak kelas 1 lainnya!” Aima memelankan suaranya.
“Sori ya, nggak level.”
“Ih, dasar, sukanya tante-tante! Sejak kapan kau suka dia? Kenapa kau suka padanya? Apakah dia juga suka padamu?”
Mario terlihat berpikir. “Bukan urusanmu.” Mario merangkulnya. “Kenapa? Kau cemburu, ya?”
“Cemburu? Enak saja. Pokoknya nanti malam kau jemput aku jam 7.30. Sampai nanti!”
Malamnya Aima mengenakan gaun berwarna kuning gading. Mario yang mengenakan kemeja hitam dan celana bahan putih lama memadangnya. “Aku tak percaya ini.”
“Bahwa aku cantik dan anggun?”
“Bahwa kau cewek.” Mario tergelak karena Aima memukulnya. “Bercanda. Malam ini kau cantik sekali, lebih cantik dari Mamamu.” Mendengar itu Aima tersipu. Ibu Aima, mengantar mereka sampai gerbang.
Beberapa menit kemudian Blazer hitam Mario meluncur ke jalan raya. “Tante Yuni benar-benar cantik walau tidak berdandan. Aku tidak mengerti kenapa Ayahmu tidak mau bertanggung jawab saat Tante mengandungmu dulu….”
“Tolong Rio, jangan sebut-sebut pria itu di hadapanku….”
“Maaf….” Mario berdehem. “Padahal kau benar-benar cantik, manis, dan lucu. Makanya aku tidak mengerti kenapa Abie tidak naksir padamu.”
“Apakah aku cantik?” Wajah Aima memerah.
“Sudah kubilang ‘kan? Lebih cantik dari Tante Yuni, Bu Marinna, dan Chanty.”
Aima menggembungkan pipinya. “Dasar gombal, pembohong besar! Mana mungkin aku lebih cantik dari Bu Marinnamu itu.”
“Sungguh.” Setelah memarkir Blazer di halaman rumah Chawi yang sangat luas itu, Mario menatap Aima lama. Aima menjadi gugup dibuatnya. Ia ingin segera turun dari mobil. “Aima….”
Aima buru-buru membuka pintu. Ia tersangkut gaunnya dan pasti terjatuh jika Mario tidak segera menarik tubuhnya. Jantungnya berdebar kaget dan napasnya tersengal. Mario membentaknya agar berhati-hati. “Maafkan aku….” Aima dapat merasakan debar jantung dan napas Mario di punggungnya yang agak terbuka.
Mario menyuruhnya tetap diam di kursi mobil sementara Mario turun dan mengitari mobil. Ia membantu Aima turun. “Maaf, aku tidak bermaksud membentakmu. Kau bisa saja jatuh tadi….”
Entah kenapa, tiba-tiba saja jantung Aima berdebar-debar tidak karuan. Wajahnya terasa panas. Untung gelap, jadi Mario tidak dapat melihat wajahku yang memerah! Oh, tidak….apakah aku mulai jatuh cinta pada Mario? Masa, sih? Tidak mungkin….Mario sudah kuanggap seperti sahabat. Tidak, lebih dari itu. Teman, sahabat, adik, kakak….
“…Ima?”
“Eh, apa?”
“Kau masih melamunkan si jelek itu? Apakah Chawi mengundangnya?”
“Aku sudah tidak begitu memikirkan Abie. Tentu saja Chawi mengundanya, Abie ‘kan teman Chawi juga.”
Pesta ulang tahun Chawi berjalan dengan lancar. Saat acara dansa, Aima berdansa dengan Mario. Saat Juan, teman sekelas Aima mengajak berdansa, Mario tidak mengizinkannya. “Dasar serakah. Kau ‘kan sedang berdansa dengan pasanganmu. Lagipula, matamu buta, ya? Ima sedang berdansa denganku!” Mario menatap Juan dingin. Aima dan Juan sama-sama terkejut karena ucapan Mario.
Aima tersipu. “Kau tidak berdansa dengan yang lain?”
“Aku sedang berdansa dengan cewek tercantik di sini, kenapa harus berdansa dengan yang lain?” Mario tersenyum penuh arti. Bibirnya yang merah dan memikat sangat menggoda ─ menggoda? Sejak kapan aku berpikir begini?? Aima menggelengkan kepalanya, berusaha menghilangkan pikiran anehnya.
Aima terkejut ketika Mario tiba-tiba memeluknya semakin erat dan meletakkan kepala Aima ke dadanya. Aima berusaha melepaskan diri, namun Mario tetap memeluknya. “Aduh, Mario, apaan, sih?”
“Percayalah padaku, kau takkan mau melihatnya.”
“Aku tidak apa-apa. Aku melihat dari kaca jendela. Abie sedang berdansa dengan Chanty di balkon. Dan mereka berciuman.”
Mario melepaskan pelukannya. “Kau baik-baik saja? Atau kau mau pulang sekarang? Ayo, kalau kau ingin menangis, kita pulang saja. Kau bisa menangis di mobil sepuasnya.”
Aima menangis. Bukan karena Abie dan Chanty, tapi karena terharu akan perhatian Mario. Mario segera merangkulnya dan membawanya ke mobil.
“Tuh ‘kan, kau masih mencintainya.” Mario menghela napas. Ia memberikan tisu pada Aima.
Aima menggeleng. “Rio, apakah…apakah kau sangat mencintai Bu Marinna?”
“Kenapa tiba-tiba membahas Bu Marinna?”
“Jawab saja.” Aima menutupi wajahnya.
Mario menghela napas. Ia menyandar pada bahu kursi mobil. “Aku…sebenarnya tidak punya perasaan apa-apa padanya. Aku ke BK untuk konsultasi soal penjurusan kelas 2 nanti. Aku hanya ingin mengerjaimu saja.”
Aima mendongak menatap Mario. Mario tengah memandanginya. Matanya yang memandang lurus membuat jantung Aima serasa berhenti berdetak. “Apakah arti aku bagimu? Apakah hanya seperti adik?”
Mario terdiam. Ia seperti ingin mengucapkan sesuatu tapi tidak jadi. Suaranya berubah gugup. “Ke-kenapa tiba-tiba kau bertanya begitu? Eh, aku….” Mario membuka kaca jendela dan memandang keluar, ke parkiran. “Malam ini panas sekali, ya.”
“Rio….jangan mengalihkan.”
“Selama ini aku selalu merindukanmu.”
“Apa?”
“Ya, selama ini aku selalu merindukanmu dalam setiap mimpiku. Menginginkanmu, menyayangimu, mencintaimu….”
“Rio, pandang aku, hei….” Aima menarik Mario. Ia menyalakan lampu mobil, dan melihat bahwa wajah dan telinga Mario memerah. Melihat itu, wajah Aima pun menjadi merah padam dan terasa panas. Ia melepaskan pegangannya pada Mario dan memegangi pipinya sendiri. “Syukurlah kau tidak menganggapku sebagai adik, karena…karena aku juga mencintaimu….”
“Tapi tadi kau menangis….”
“Itu bukan karena Abie dan Chanty. Aku menangis karena kau begitu memperhatikanku. Dan aku takut perhatianmu itu hanya karena aku sepupumu. Makanya aku menangis.” Aima malu.
Mario mengusap wajahnya yang masih memerah. Ia mematikan lampu mobil. “Ayo kita ke restoran dekat sini. Aku ingin merayakan hari jadi kita.”
“Memangnya kita sudah jadian?”
“Kau mau apa tidak?” Mario merajuk.
Aima tertawa senang. “Aku mau!!”
-Tamat-
15 Februari 2005
Baca juga Cerpen Cinta yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar