BUTTERFLY
Cerpen Princes
Cerpen Princes
“Ayo lari!” Cowok itu menepuk bahuku dan tersenyum.
Aku membalas senyumannya, dan aku mulai menyusul di belakangnya. Cowok itu terus berlari mendahului anak-anak yang lainnya. Dan ia pun menepuk semua bahu anak cewek yang dilewatinya. Kecuali satu orang. Laura. Cowok itu melewati Laura sambil tersenyum lebar. “Aku duluan.” Aku bisa membaca gerak bibir cowok itu.
Kenapa cowok itu hanya tersenyum saja, tidak menepuk bahu Laura?
“Bengong, lagi ngeliatin siapa?” tanya Miki, teman sekelasku dan sekaligus temanku di Karate, sabuk hijau.
“Siapa? Aku tidak….”
“Armand, ya? Wajar kok. Ia tampan dan ramah pada siapa saja. Semua orang suka padanya. Lihat, ia tertawa, lucu banget, ya, babyface!”
Aku hanya tersenyum mendengarnya.
Setelah berlari mengelilingi aula tertutup 5 putaran, semua anggota Karate berbaris dan mulai pemanasan dibimbing Sensei. Aku berbaris paling belakang di ujung kiri, jadi aku dapat melihat semua orang. Lagipula aku masih sabuk putih, jadi harus baris di belakang.
Aku baru masuk eks-kul ini, dan baru 3x latihan. Tapi entah kenapa, aku merasa cowok sabuk kuning itu selalu melihat kea rah Laura, cewek tomboy, penuh semangat dan ide-ide itu. laura mengenakan sabuk hijau.
Kurasa curi-curi pandang. Apa cowok itu naksir? Tapi….”
Saat latihan usai, aku buru-buru meminum aqua-ku, karena aku sangat haus. Tiba-tiba cowok itu, oke baiklah, ‘Armand’, mengacak-acak rambutku. “Rajin latihan, ya, agar teknikmu semakin bagus.”
Aku tersenyum dan mengacungkan jempol, “Baik, oke!” Baru kenal, tapi Armand langsung dapat menarik siapa saja. Dari dekat, matanya benar-benar bagus, cokelat muda. Armand seangkatan denganku, Miki, dan Laura. Tapi Armand seperti adik kelas saja, sebab wajahnya benar-benar imut!
Sebulan telah berlalu dan selama itu aku di Karate. Dan kini aku sedang berpikir. Armand selalu bercanda dengan orang-orang di sekelilingnya. Menyentuh, disentuh, dipukul, memukul. Kurang ajar, agak sombong. Ramah, penyemangat, setia kawan.
Banyak cewek-cewek mengelus rambutnya, merangkulnya. Armand pun terkadang tiduran di paha senior cewek. Atau bermanja-manja dengan cewek. Tapi….seperti kupertanyakan sebelumnya, kenapa Armand tidak pernah menepuk bahu Laura? Menyentuh pun tidak. Enatah enggan, entah segan, atau….”
“Jangan melamun, oi!” Miki mencubitku. Ia tertawa.
“Aku tidak melamun, aku sedang memerhatikan kupu-kupu itu!”
“Benarkah?” Miki tiduran di rerumputan di sebelahku. “Oh, langit biru sekali, indahnya!”
“Benar, aku suka istirahat di sini….Langit pun terlihat dan di sini teduh.”
“Kau suka pada Armand?”
“Suka, tentu saja, teman….:”
“Kau sering memerhatikannya.”
“Oh, itu….” Aku tergelak. “Aku memang memerhatikan, ah, tidak, lebih tepatnya meneliti.”
“Meneliti?”
“Ya….”
“Dia? Sudahlah, akui saja kalau kau suka padanya.”
“Tidak, sungguh. Oke, awalnya aku suka. Aku ge-er sendiri karena ia baik padaku.”
“Dia juga baik padaku. Dan kupikir…dia menyukaiku.” ujar Miki. “Aku lebih dulu mengenalnya, Fivi.
Aku hanya tersenyum mendengar ucapan ketus temanku itu.
“Kenapa tersenyum?”
“Tidak, hanya saja kurasa Armand suka pada Laura.”
“Laura? Tidak mungkin! Dengar Fivi, ia tidak akrab dengan Laura seperti ia akrab dengan kita. Ia tidak pernah bercanda konyol dengan Laura, menyentuh pun tidak!”
Ups, sepertinya Miki emosi! “Tenang, Miki. Dengarkan aku. Karena itulah aku meneliti. Memang tidak pernah ‘menyentuh’. Tetapi jika kaulihat lebih teliti, mereka suka pulang bersama.”
“Itu karena rumah mereka searah. Semua orang tahu itu.”
“…Armand sangat memerhatikan Laura, curi-curi pandang. Ia tidak menyentuh karena ia hormat. Karena ia suka Laura.”
“Omongan macam apa itu! kau benar-benar menyebalkan! Kita lihat saja nanti, aku yakin Armand suka padaku!”
Aku menggaruk pelipisku sambil memandangi kepergian Miki. Aku menghela napas, dan mulai mencari kupu-kupu yang tadi hilang dari pandangan.
Aku dan Miki melihat hal yang paling kunantikan sejak aku meneliti Armand. Setelah selesai kegiatan klub Karate ─ seminggu setelah aku bertengkar dengan Miki ─ Armand menggandeng tangan Laura. Semua anggota klub meributkannya, termasuk Sensei. Ada yang memberi selamat, ada juga yang diam-diam pergi, mungkin menangis di toilet.
Miki terdiam di tempat. Mata dan wajahnya merah.
“Miki, aku minta maaf….”
“Tidak, aku yang harus minta maaf, tapi kurasa aku ingin sendiri dulu. Bisa kau antar aku untuk mencari taxi?”
Aku merangkulnya, “Ayo, dengan senang hati.”
Aku sadar, maksudku tersadar….bahwa Armand hanya idola bagiku. Dan kuharap jika aku jatuh cinta lagi, bukan cowok super ramah seperti Armand….Aku tersenyum sambil memandangi langit biru di atasku. Sudah tidak ada kupu-kupu lagi yang harus kuteliti.
-Tamat-
PROFIL PENULIS
Banyak cewek-cewek mengelus rambutnya, merangkulnya. Armand pun terkadang tiduran di paha senior cewek. Atau bermanja-manja dengan cewek. Tapi….seperti kupertanyakan sebelumnya, kenapa Armand tidak pernah menepuk bahu Laura? Menyentuh pun tidak. Enatah enggan, entah segan, atau….”
“Jangan melamun, oi!” Miki mencubitku. Ia tertawa.
“Aku tidak melamun, aku sedang memerhatikan kupu-kupu itu!”
“Benarkah?” Miki tiduran di rerumputan di sebelahku. “Oh, langit biru sekali, indahnya!”
“Benar, aku suka istirahat di sini….Langit pun terlihat dan di sini teduh.”
“Kau suka pada Armand?”
“Suka, tentu saja, teman….:”
“Kau sering memerhatikannya.”
“Oh, itu….” Aku tergelak. “Aku memang memerhatikan, ah, tidak, lebih tepatnya meneliti.”
“Meneliti?”
“Ya….”
“Dia? Sudahlah, akui saja kalau kau suka padanya.”
“Tidak, sungguh. Oke, awalnya aku suka. Aku ge-er sendiri karena ia baik padaku.”
“Dia juga baik padaku. Dan kupikir…dia menyukaiku.” ujar Miki. “Aku lebih dulu mengenalnya, Fivi.
Aku hanya tersenyum mendengar ucapan ketus temanku itu.
“Kenapa tersenyum?”
“Tidak, hanya saja kurasa Armand suka pada Laura.”
“Laura? Tidak mungkin! Dengar Fivi, ia tidak akrab dengan Laura seperti ia akrab dengan kita. Ia tidak pernah bercanda konyol dengan Laura, menyentuh pun tidak!”
Ups, sepertinya Miki emosi! “Tenang, Miki. Dengarkan aku. Karena itulah aku meneliti. Memang tidak pernah ‘menyentuh’. Tetapi jika kaulihat lebih teliti, mereka suka pulang bersama.”
“Itu karena rumah mereka searah. Semua orang tahu itu.”
“…Armand sangat memerhatikan Laura, curi-curi pandang. Ia tidak menyentuh karena ia hormat. Karena ia suka Laura.”
“Omongan macam apa itu! kau benar-benar menyebalkan! Kita lihat saja nanti, aku yakin Armand suka padaku!”
Aku menggaruk pelipisku sambil memandangi kepergian Miki. Aku menghela napas, dan mulai mencari kupu-kupu yang tadi hilang dari pandangan.
Aku dan Miki melihat hal yang paling kunantikan sejak aku meneliti Armand. Setelah selesai kegiatan klub Karate ─ seminggu setelah aku bertengkar dengan Miki ─ Armand menggandeng tangan Laura. Semua anggota klub meributkannya, termasuk Sensei. Ada yang memberi selamat, ada juga yang diam-diam pergi, mungkin menangis di toilet.
Miki terdiam di tempat. Mata dan wajahnya merah.
“Miki, aku minta maaf….”
“Tidak, aku yang harus minta maaf, tapi kurasa aku ingin sendiri dulu. Bisa kau antar aku untuk mencari taxi?”
Aku merangkulnya, “Ayo, dengan senang hati.”
Aku sadar, maksudku tersadar….bahwa Armand hanya idola bagiku. Dan kuharap jika aku jatuh cinta lagi, bukan cowok super ramah seperti Armand….Aku tersenyum sambil memandangi langit biru di atasku. Sudah tidak ada kupu-kupu lagi yang harus kuteliti.
-Tamat-
PROFIL PENULIS
Nama: Putri Permatasari
e-mail: putri_comics86_ydwds@yahoo.com
e-mail: putri_comics86_ydwds@yahoo.com
Baca juga Cerpen Remaja yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar