Senin, 16 Juli 2012

Cerpen Action Fantasy - The Last Escape

THE SIGNS OF THE DREAMS #7 : THE LAST ESCAPE
Karya Avans Cross Lines

Perang telah dimulai. Manusia mulai mengangkat senjata mereka masing-masing, membunuh siapa saja orang yang menghalangi setiap keinginannya.
Java Island, pulau yang seharusnya indah, damai, kini menjadi sebuah medan pertempuran yang sangat mengerikan. Kejadian puluhan tahun lalu terulang lagi, Jepang dan Belanda menjajah pulau ini. Mereka membunuh ribuan warga yang tak bersalah, menahan kami, anak-anak untuk dijadikan budak mereka.
Semua berawal di tahun itu. Tahun dimana mesin-mesin berserakan di jalanan, mengotori tempat ini dengan besi-besi berkarat yang mereka gunakan untuk mengancurkan pulau ini.

Kejadiannya sangatlah cepat. Sebuah bola berukuran raksasa jatuh dari angkasa dan meluluhlantakkan bumi ini dengan ledakkannya. Ribuan nyawa melayang karenanya. Sementara yang selamat hanya bisa bertanya. Ada apa ini? Apa yang sedang terjadi? Kami hanya bisa bertanya tanpa tahu apa jawabannya. Namun, kami sadar ini bukanlah bencana. Perang... baru saja dimulai.

Beberapa jam setelah bom itu meledak, para tentara Jepang dan Belanda mendaratkan kapal mereka dan mulai membunuh satu persatu orang-orang yang menghalangi mereka.
Teman-teman kami, saudara-saudara kami, dan keluarga kami dibunuh oleh mereka. Kami yang selamat hanya bisa sembunyi di hutan, di gorong-gorong, di bawah tanah, ataupun di goa.

Saat itu terjadi kami sembunyi di gorong-gorong di bawah jalan raya. Aku, ibuku, teman-temanku, para orang tua dan puluhan anak-anak lain mencoba lari dari kejaran mereka. Mungkin saat ini hanya kami yang selamat. Mereka semua telah membunuh dan menahan orang-orang yang tak bersalah itu.
Di tempat ini, kami hanya bisa menunggu para penjajah itu pergi ataupun menunggu bantuan datang. Namun sudah lebih dari 3 hari dan tidak ada yang menyelamatkan kami. Kami terperangkap disini. Di tempat gelap ini. Dalam situasi seperti ini kami hanya punya dua pilihan. Yang pertama, tetap diam di tempat ini dan menunggu bantuan yang entah kapan datang. Mungkin saja mereka tidak akan pernah menolong ataupun menemukan kami dan kami akan mati kelaparan di tempat ini. Yang kedua, kami keluar dari tempat persembunyian ini dan menyerahkan diri kami pada musuh. Kalaupun tidak dibunuh, kami akan ditahan, dijadikan budak mereka.

Pilihan itu membuat kami sulit. Kami semua tidak berdaya, puluhan anak-anak menangis karena orang tua mereka telah mati sementara orang-orang tua sudah merasa putus asa. Hanya ibuku yang terus mencari cara agar kami semua selamat dari tempat ini.
Tiba-tiba seorang tentara menemukan kami, dari pakaian yang dikenakannya dia adalah tentara Indo dan berkata bahwa dia akan menyelamatkan kami. Dia mengangkut kami dengan sebuah truk dan membawa kami ke dermaga.

Awalnya kami semua besyukur, merasa lega karena tentara Indo ini akan menyelamatkan kami dan membawa kami ke tempat yang aman. Namun perkiraan kami salah. Setelah kami dinaikkan kekapal tempur angkatan laut, kami diberi senjata satu persatu. Mulai dari senjata tradisional sampai senjata mesin diberikan pada kami. Bahkan seorang gadis kecil berumur 5 tahun diberikan sebuah pistol oleh seorang tentara Indo tersebut.
“Kalian harus ikut perang melawan mereka, para penjajah!” kata mereka pada kami. Kami bukan hanya terkejut tapi juga tidak percaya apa yang telah dikatakan mereka pada kami.
“Dalam peperangan ini, tak ada lagi perbedaan usia! Semuanya sama dan kalian harus ikut berperang melawan mereka! Kita perjuangkan tanah ini. Tanah yang kita cintai ini.” kata seorang tentara.
“Ini tidak benar! Ada apa dengan kalian? Ada apa dengan pemerintahan negeri ini? Apa kau tidak lihat mereka masihlah anak-anak?!” bentak ibukku tapi wajahnya langsung dipukul oleh tentara tersebut. Aku hanya bisa diam tak bisa berbuat apa-apa untuk membenarkan sesuatu yang salah ini. Aku memeluk ibuku erat-erat.
“Baiklah, akan aku berikan pilihan pada kalian semua! Apa kalian ingin mati demi memperjuangkan negara kita, atau kalian ingin mati di tangan kami!” sahutnya.
Tak seorangpun menjawab. Semuanya bisu di senja itu. Kami semua, orang tua, anak-anak, laki-laki, dan perempuan semuanya berlatih menembak. Termasuk aku sendiri.
Kapal kami berangkat menuju sasaran pertempuran, setiap dermaga yang kami singgahi berdatangan orang-orang yang selamat seperti kami dan diperintah untuk berperang seperti kami. Saat ini, kami tidak punya pilihan yang terbaik untuk kami. Cepat atau lambat kami pasti akan mati di medan pertempuran yang tak seimbang ini.

Ketika aku sedang memandang matahari jingga itu seorang gadis mendekatiku. Namanya Aeris. Dia berbincang-bincang denganku, membicarakan ini dan itu seakan-akan hari kiamat akan segera tiba.
Sirine kapal tanda bahaya tiba-tiba berbunyi. Kapal angkatan laut milik Belanda mendekat dari arah jam 9. Kami terpaksa. Kami dipaksa mereka. Walaupun saat itu kami tak sanggup, takut namun kami tak bisa lari dari kenyataan ini. Sesungguhnya kamilah yang dijadikan budak oleh orang-orang yang seharusnya melindungi kami.

Meriam pertama membentur bagian depan kapal kami. Kami balas mereka dengan serangan beruntun senjata tercanggih yang kami punya. Tiba-tiba kapal kami dengan kapal mereka bertubrukan dan saat itulah perangpun dimulai. Kami berusaha menyelamatkan diri kami masing-masing yaitu dengan membunuh para musuh. Korban di kapal kami semakin banyak, mereka berjatuhan ke laut yang hitam.
Perang ini seperti pemberontakan antar bajak laut. Dengan masing-masing membawa sebilah senjata tajam kami berusaha memusnahkan mereka agar tidak menyerang kapal kami. Musuh yang terpedaya oleh kepolosan wajah anak-anak akhirnya mati.

Aku belum pernah membunuh manusia sebelumnya, bagaimana mungkin aku dapat melakukan ini? Anak-anak yang berusaha membunuh mereka semua ketakutan. Satu persatu orang tua maupun anak-anak menceburkan diri kelaut, berharap bisa lari dari pertempuran ini. Namun, apa yang terjadi? Mereka semua mati tenggelam di laut yang gelap itu.

Di titik ini aku hanya bisa diam. Melihat kekacauan yang semakin tak terkendali ini.
“Apa kita akan selamat?” tanya Aeris di sampingku.
“Kenapa jadi seperti ini?” tanya Erwin mengeluh. Dia adalah satu-satunya temanku yang selamat dari ledakkan itu.
“Dani!” teriak ibuku. Dia bersama seorang pria di sampingnya mendekati kami.
Tiba-tiba kapal kami dan kapal musuh berbenturan keras. Aeris yang berada di sampingku itu terjatuh kelaut. Aku tak sempat menggenggam erat lengannya. Dia pun tewas di laut itu.
Setelah beberapa jam berlalu, akhirnya pertempuran ini dimenangkan oleh kami. Kapal musuh akhirnya tenggelam dengan membawa penumpang yang tersisa.
Sementara itu, kapal kami kini seperti tempat jagal. Darah dimana-mana. Kami membuang mayat-mayat yang memadati kapal kami itu ke lautan.
Di kapal ini tak banyak yang tersisa. Jumlah anak-anak yang selamat bisa aku hitung dengan jari sementara itu hampir semua tentara sudah tewas.
Kami yang selamat dikumpulkan di satu tempat dan diberi tugas masing-masing oleh seseorang yang aku rasa mengenalnya di televisi. Navigator, koki, asisten kapten, dokter, semua tugas-tugas berat itu dilimpahkan pada kami sampai kami menuju tempat persembunyian kami di kepulauan seribu.

Aku tak punya pilihan, tugas dokter itu dilimpahkan padaku bersama seorang pria dewasa yang aku lihat tadi bersama ibuku.
“Dani, kau harus bisa! Kita tidak punya pilihan. Bila kita menentang mereka, kita akan mati.” kata ibuku padaku. Jika seperti ini keadaannya apa bedanya dijajah oleh tentara Jepang dan Belanda itu.
Beberapa jam kemudian kami tiba di persembunyian. Aku sangat terkejut. Tak pernah aku tahu tempat ini. Pulau yang seperti penjara. Pantai yang mengelilinginya diberi pagar besi. Mungkin untuk keamanan, tapi ini berlebihan seakan-akan ini adalah pulau penjara.

Seorang tentara memerintahku, ibu dan pria itu turun dari kapal. Dia membawa kami ke sebuah tempat seperti penjara jauh di pedalaman pulau. Dia membawa kami ke sebuah tempat berbenteng beton di atas perbukitan. Tempat itu seperti penjara. Dan ternyata memang benar itu adalah penjara. Puluhan warga asing ditahan disana. Baik tentara Jepang dan Belanda yang menjajah sampai warga berperawakan asing yang sesungguhnya adalah warga Indo.

Tentara yang membawa kami itu memberikanku sebuah golok dan menyuruhku untuk membunuh salah satu dari mereka. Aku sangat shock mendengar hal itu. Aku hanya bisa diam tak bergerak melihat orang-orang yang ditahan itu. Seorang gadis di dalam sel itu berteriak-teriak pada kami meminta kami melepaskannya. Dia mengaku bukanlah warga jepang ataupun belanda. Dia adalah warga Indo asli walaupun wajah dan warna rambutnya menunjukkan dia adalah warga belanda. Namun, dia lancar berbicara Indo. Dia merengek meminta kami melepaskannya namun tentara itu menyeretnya keluar dari sel dan membawanya ke hadapanku.
“Bunuh dia!” perintah tentara Indo itu. Aku tidak bisa seperti ini. Aku bertanya-tanya ada apa dengan ini semua?
“Apa kau mau berkhianat pada negaramu sendiri?” tanya tentara itu membentakku.
“Tapi... dia bukan sekutu mereka. Dia warga kita yang seharusnya kita tolong,” kataku kasihan melihat gadis berambut pirang pendek itu. Seluruh wajahnya penuh luka.
“Cepat bunuh dia! Kalau tidak kau yang akan aku bunuh!” bentak tentara itu menodongkan senjata ke kepalaku.
“Dani turuti saja apa katanya. Ibu takut dia akan melukaimu,” kata ibuku pelan sambil mengucurkan air mata. Aku tidak kuat dengan semua tekanan ini. Sambil mengucurkan air mata aku memeluk gadis yang menangis itu.
“Ini semua salah! Lebih baik aku mati! Lebih baik kami mati karena pada akhirnya kamipun pasti akan dibunuh oleh kalian kan?” kataku kemudian memejamkan mataku sambil tetap memeluk gadis itu. Suara tangisan kami tak bisa kami tahan lagi. Hanya tinggal beberapa detik lagi kami akan mati.

Tiba-tiba terdengar suara hantaman besar dari benda tumpul. Saat aku membuka mataku tentara itu sudah tersungkur di lantai. Aku menengok kearah ibu dan si pria itu. Dialah yang memukul tentara itu.
“Sebaiknya kita segera pergi dari sini! Kabur dari tempat ini sebelum tentara lain melihat kita!” kata pria itu.

Ibuku memegang erat lenganku sementara aku memegang erat lengan gadis itu. Kami segera keluar dari tempat itu.
“Kalian cepatlah pergi dari sini! Kabur dari tempat ini,” kata ibu.
“Bagaimana dengan ibu?” tanyaku.
“Kami tidak akan lari. Bila kita semua kabur dari sini kita semua akan ditangkap dan dibunuh,” kata pria itu.
“Cepatlah kalian pergi dari sini!” kata ibuku. Aku memeluk ibuku itu untuk yang terakhir kali. Aku bersama gadis yang tak kukenal itu pergi dari sana. Kabur ke pedalaman hutan. Kami berusaha bertahan hidup di tempat yang tak kami kenal ini. Akankah ini semua berakhir? Akankah aku kembali bersama ibuku? Akankah semua hal yang salah ini akan menjadi benar? Aku terus bertanya-tanya dalam pelarian terakhir kami ini...

Inspirated by mydream. Sabtu, 20 Maret 2010

PROFIL PENULIS
Avans Cross Lines lahir di Bandung, 31 Maret 1992. Bagiku mimpi adalah inspirasi terbesarku. Mimpi adalah jembatan yang menghubungkan antara khayalan dan kenyataan dimana aku dapat dengan leluasa menyebrangi garis antara kedua dunia tersebut. Untuk sejenak ikutlah bersamaku dan lihatlah seberapa indah, seram, romantis, lucu, bahagia, maupun menegangkannya jembatan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar