Senin, 23 Juli 2012

Cerpen Sosial - Main di Langit

MAIN DI LANGIT
Karya Roysemut

Matahari bersinar Terik. Panasnya menyengat. Angin bawa debu terbang ke penghujung langit dan darat. Titik-titik debu menerpa wajah-wajah sendu. Wajah-wajah bocah kurus serius. Wajah lima bocah cari jawaban.
“Kalau udah begini, mau main dimana?” Gerutu Andi sambil menendang-nedang batu.

Tak ada yang bisa menjawab pertanyaan Andi. Baik Anto, Dullah, Iman atau Rizal tetap diam. Pertanyan Andi hilang ditelan angin. Anto bukan tak ingin menjawab pertanyaan Andi, tapi pertanyaan seperti itu sebetulnya juga ingin ia lontarkan pada satpam penjaga rumah yang mengusir mereka. Tapi Anto tidak berani. Terlebih ketika satpam penjaga rumah itu mengacung-acungkan pentungan ke arah mereka.
“Coba negara kita luas ya! Pasti kita bisa main bola di lapangan.” Gumam Dullah sambil memainkan bola plastik di tangannya.
“Heh..Dul ! Negara kita ini luas!” Jawab Iman sambil mencoba merebut bola yang dipegang oleh Dullah.
“Kalo luas, kenapa gak ada lapangan yang bisa dipakai main bola” Tanya Dullah
“Kata siapa nggak ada? Ada kok… cuman kalau main kita mesti bayar.. !” Debat Iman.
“Yeee… kalo itu juga tahu, yang gratis ada nggak? Tanya Rizal yang sedari tadi lebih suka memainkan debu di hadapannya.

Iman diam. Dullah, Anto, Rizal dan Andi ikut hening.
“Mungkin…” Andi bergumam
“Mungkin apa?”. Tanya Iman
“Mungkin udah keburu abis dijadiin Mol” Jawab Andi.

Rizal gharuk-garuk kepala. Dullah menyedot ingus, sedang Anto dan Iman bengong. “Ah…masa’ udah pada abis dijadiin Mol? Perasaan… Mol-nya sedikit!” Ucap Dullah sambil ngupil.
“Iya…Mol-nya dikit. Tapi parkirannya luas, blon lagi gedung betingkatnya…banyak!!!” Gerutu Andi.
“Ah udah deh…dari pada mikirin Mol, mendingan mikir dimana bisa main bola!” Sergah Anto yang dari tadi hanya diam mendengar perbincangan kawan-kawannya.
Andi. Dullah, Iman dan Rizal kaget dengar ucapan Anto. Mereka akhirnya duduk bersama dan mulai berpikir. “Di mana ya bisa main bola?”.
***

Matahari makin menyengat. Panas bukan main. Kelima bocah yang kepanasan masih saja duduk di pinggir trotoar.
“Nha….Gimana kalau di belakang proyek apartemen?” Ujar Dullah sambil teriak. Keempat teman Dullah kaget bukan kepalang.
“Ah di situ mah bakalan diusir lagi!” Jawab Andi dengan spontan.
“Kok bisa?” Tanya Dullah
“Iya! Satpam yang ngusir kita tadi pasti jaga di sana juga! Wilayahnya kan sama!” Jawab Andi.
“Gimana kalau kita main di belakang pasar?” Tanya Iman.
“Nanti diomelin ama babe lu lagi!” Ucap Rizal. “Babe lu kan penjaga pasar!”

Kelima bocah itu lagi-lagi membisu. Seperinya memang tak ada lahan lagi bagi mereka untuk bermain. Matahari menyengat sangat panas. Begitu panasnya sampai-sampai Dullah mengelus-elus kepalanya yang botak.
“Wah Panas nih, gue nggak bisa mikir kalau panas kayak begini!” Ucap Dullah.
Anto, Andi serta Rizal segera mendongak ke atas. Dilihatnya awan-awan putih menggantung di angkasa. Tiba-tiba terbesit ide di dalam pikiran Anto. Tak berapa lama bocah berumur enam tahun itu berkata sambil menunjuk langit.
“Hei…Gimana kalau kita main di sana!”
“Akh gila apa lu? Stress lu yak ?” Sergah Iman.

Empat anak lainnya ketawa. Semua menertawakan Anto.
Dullah meraba jidat Anto. Memastikan teman sepermainannya itu waras.
“Adem! Lebih panas jidat gue kayaknya” Ucap Dullah sambil bolak-balik meraba jidat Anto dan jidatnya sendiri.

Anto diam saja saat diraba jidatnya. Sementara temannya yang lain menertawakan tingkah polah Dullah dan Anto.
“Gimana? Kita coba main di Langit?” Tanya Anto. Tak memperdulikan tawa teman-temannya
“Wah makin stress nih bocah” Ucap Iman.
“Intinya cuman yakin! Dicoba aja dulu, kalau bisa main di sana kan seru.” Jawab Anto sambil menunjuk ke langit.

Suasana hening sesaat, keempat bocah teman-teman Anto segera memikirkan apa yang diucapkan oleh Anto. Tak berapa lama semuanya kembali tertawa terbahak-bahak.
“Udahlah! Ayo kita pulang! Besok kita cari lapangan lagi” Teriak Rizal.
“Kenapa? Mending kita coba panggil awan, supaya kita bisa main di langit” Tanya Anto.
“Wah makin stress nih bocah” Ucap Iman berulang kali. “Inget emak lu To... Masak gara-gara lapangan aja lu stress”
“Iya To, kayak Mang Dasir aja lu! Mang Dasir sih mending. Stress karena emang rumahnya digusur” Jawab Rizal.

Anto tersenyum. Keempat kawannya mulai beranjak pergi. Pulang. Tiba-tiba Anto merebut bola dari tangan Iman, kemudian berlari menjauh.
“Anto mau kemana lu ?” Tanya Dullah kaget
“Mau panggil awan. Main bola di langit” Teriak Anto

Semuanya bengong melihat Anto berlari menjauh
“Ntar kalau bisa main di langit, samperin kita-kita ya Tooooo” Teriak Rizal melengking
“Wah ikut stres nih bocah !” Ucap Iman sambil nengok ke Rizal.
Keempat bocah teman Anto mulai pulang ke rumah masing-masing. Anto masih terus berlari sambil bersiul. Larinya makin cepat. Siulannya pun makin melengking tinggi.
Ajaib ! Anto berlari melayang, makin lama makin tinggi. Anto tersenyum, makin semangat ia berlari dan bersiul. Anto terbang!
***

Matahari makin menyengat. Panas. Makin panas dengan kemacetan yang terjadi. Semua kendaaraan berhenti. Motor, mobil, bis, sepeda, truk, semuanya berenti. Semua orang mendongak ke atas langit. Semua melihat anak-anak usia enam sampai sepuluh tahun beterbangan ke langit sambil bersiul. Ada yang membawa bola, pukulan kasti, raket, karet dan aneka alat main lainnya.

Di bawah, orang-orang dewasa hanya terbengong-bengong. Sebagian ada yang mencoba untuk berlari dan bersiul juga. Berharap bisa terbang ke langit juga. Penjual minuman sampai monyong-monyong dan terengah-engah. Bersiul dan berlari, berharap bisa ikutan terbang dan jual minuman di langit. Tapi apa daya, penjual minuman hanyak bisa terengah-engah. Suasana makin hiruk-pikuk. Penerbangan terhenti. Takut menabrak anak-anak yang sedang main di langit.
Makin lama makin banyak anak yang main.... di langit.***

Roysemut, Pamulang, 15 Maret 2011

PROFIL PENULIS
Roy Semut, Laki-laki kelahiran Malang, 16 Mei yang berprofesi sebagai penyiar radio ini gemar membaca dan menulis cerpen dan puisi. Mulai gemar menulis sejak kuliah. Salah satu cerpennya yang pernah dimuat di Jawa Pos adalah “Mimpi Munah”. Ia menggunakan nama Cak Mardi saat menulis cerpen tersebut. Tinggal di wilayah Tangerang Selatan, ia mencoba kembali berkarya.

Selain menulis cerpen dan puisi, ia juga menulis berbagai motivasi hidup dipandang dari sudut pandang sepakbola. Sebagian besar tulisannya tentang motivasi ia tulis di blog pribadi www.bolahidup.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar