Kamis, 12 Juli 2012

Cerpen Cinta - Maafkan Aku Dinda

MAAFKAN AKU DINDA
Karya Mardiono

“ FUUUU……HH “ kesalku menghela nafas. Akhirnya harapanku bisa tercapai juga. Mengajar privat dibeberapa rumah warga. Lumayan, honornya buat tambahan biaya kuliahku.
Sejenak kurebahkan diri di atas lantai memandang kipas angin mini yang berputar. Belum lagi sempat aku memejamkan mata. Tiba2 hapeku memekik keras. Ada sms masuk “ mabruk alaik ya akhi , antum mndpt predikat jayyid jiddan di semestr ini. Antum b’ksmptn utk ikut safari ramadhan thn ini. gmn? Antum siap?. Ust. Hadi “
AlhamduliLlah…….., aku termasuk orang yang terpilih ikut berjuang di jalan Allah. Rasa lelah baru pulang mengajar tadi, kini berganti semangat mujahidin . Aku ingin menjadi syahid seperti mereka. Allahu Akbar…

Hari ketiga ramadhan. Kami diberangkatkan. Kebetulan aku ditempatkan dekat dengan Medan, yaitu Berastagi – Tanah Karo. Aku dikenalkan dengan Pak Ilham. Ustadz kampung setempat. Hari berikutnya aku diajak pergi ke kebunnya.
“ jangan kam paksakan kerjanya...!” ujar Bu Ilham – istri ustadz itu - yang sedang istirahat di pondok kecil yang teduh. Matahari sudah berada tegak diatas kepala. Sebentar kami istirahat melepas lelah….
“ Ibu beruntung ya, punya suami yang insya Allah terus bertugas di jalanNya “ tanyaku membuka obrolan.
“ haaa….h, begitulah. Yang berharap juga nya aku agar ketiga anakku itu bisa kayak ayahnya. Dua anak ibu yang sekolah agama. Satu di tsanawiyah , satu lagi kelas tiga aliyah . Yang paling besar, inilah gak tahu. Semenjak kecil dia nggak mau disekolahkan agama. Sekarang barulah…. “ putus Bu Ilham datar namun terdengar menyenggak. Memang begitulah logat khas karo. Ia melanjutkan….
“ Sekarang dia gak pulang. Ada acara PKR- Pesantren Kilat Ramadhan – disekolah. Baru tadi pagi pas subuh menelphon, katanya malu dia sama kawan - kawannya, karena bacaan alqur’annya banyak yang salah. Taulah, Laila ini dari kecil sampai sekarang memang agak keras kepala. Sekaranglah baru dirasakannya. “ sesal Bu Ilham. Ia melanjutkan..
“ Bah, sekarangpun kalau mau belajar dengan ayahnya, malu dia. Makanya ibu bilang tadi, disini sudah datang mahasiswa dari Medan selama bulan puasa. Kalau mau dia, bisa nanti belajar sama kam. “ papar Bu Ilham mengharap.

Dadaku berdesir mendengarnya. Mungkinkah aku mengajarinya, sedangkan ia sudah dewasa.
“astaghfirullahal adzim….” Ucapku membathin, menepis godaan syeithan.
“ Farel….!! “ sapa bu Ilham membuyarkan lamunanku.
“ ha, oh ya bu. Mmm….. kapan dia balik ?” tanyaku gelagapan
“ besok acara penutupannya. Mungkin sorenya Laila sudah di rumah “
***

Malam ini giliranku makan dirumah Pak Ilham. Setelah kemarin malam makan dirumah pak Edi. Kesepakatan warga untuk menetapkan aku makan bergilir di rumah warga muslim agar mudah terjalin keakraban di minoritas muslim. Sambil menunggu makanan disajikan, kami bercerita kalau di hari yang ke tujuh nanti aku akan membuat acara buka bersama. Pak Ilham menyambut baik rencana acara itu. Makanan telah siap. Kami pun makan dengan nikmatnya.
“ kok ibu gak ikut makan bersama pak ? “ tanyaku memecah khidmat
“ oh, sudah pergi tadi menjemput uang kol. Orangnya nonmuslim, dikunci nanti pintunya kalau sudah jam delapan. Semua capek seharian di ladang “ jawab Pak Ilham di sela makannya.
“ jadi yang tadi menyiapkan makan, siapa pak ? “ tanyaku sambil asyik mengunyah
“ oh, laila nya itu. Baru pulang dia tadi sore dari sekolahnya, ikut PKR “ jawab Pak Ilham santai
“ uhuk….uhuk….” spontan aku tersedak saat mendengar nama putrinya. Entah kenapa tiba2 aku gerogi saat memasukkan nasi kemulutku.
“ heee…., kenapa kam batuk? “
“ oh. Gak Pak, agak dingin aja disini, biasa di Medan panas. Mungkin lagi adaptasi… he..he..he..” Jawabku sekenanya mencari alasan.
***

Ba’da ashar. Laila datang beserta adiknya Ricky dan Rio, untuk belajar mengaji. Biasanya ramai anak - anak yang datang. Ya… namanya juga anak2. sebentar saja semangat belajarnya. Kami belajar mengaji bersama. Aku dan Laila tetap menjaga jarak. Dalam hatiku bertanya. “ inikah yang dikatakan Bu Ilham anak yang keras kepala? Gak mungkin, jilbabnya saja besar hingga menutup setengah tubuhnya. Bacaan Qur’annya juga mulai lancar walaupun ia masih nampak berfikir saat akan membaca.” Kamipun larut mempelajarinya.
***

Kulihat jadwal di dinding kamarku. Tepatnya besok, aku harus membuat acara buka bersama. Esok paginya kuserahkan sejumlah uang kepada Pak Ilham. Pukul tiga siang. Beberapa warga kumpul di rumah Pak Ilham, sama - sama memasak untuk acara buka bersama. Laila nampak wara wiri membantu mereka. Aku balik ke mesjid karena waktu ashar sudah dekat. Sambil menunggu waktu ashar, kubaca buku. Jari - jari kakiku bagai es. Kubalut dengan selimut tebal yang dipinjamkan warga.

Aku membaca kisah Bilal bin Robbah yang mencintai Allah dan rasulnya melebihi cintanya pada apapun. Hingga ruhku pun terseret ke alam tak sadar…
Tiba2 aku merasa seperti ada orang yang memanggilku dan menggoyang – goyang tubuhku sedari tadi. Perlahan mataku terbuka. “ kam sudah sembayang ashar ? “ Tanya pak Ilham membangunkanku. “ astaghfiruLlah……, maaf pak !, saya ketiduran “. Ucapku cepat langsung bangkit dari tidurku.
Masih ada waktu. Selesai sholat, seperti ada fikiran yang mengganjal. Teringatku, aku hanya menyelimuti kakiku, tapi kenapa jadi seluruh tubuhku yang terselimuti? hingga aku merasakan hangat yang melewatkan waktu adzan ashar. Ah, mungkin aku tak sadar….
Acara buka bersama dengan jama’ah sholat maghrib di mulai. Ada satu kegembiraan saat kami makan bersama setelah seharian penuh bertarung dengan hawa nafsu. Mereka menyelinginya dengan canda ringan. Mengatakan kalau yang meracik bumbu semur ayamnya itu adalah Laila. Mereka menggoda, membuat mukaku dan muka Laila merona merah merasa malu.
***

Tak terasa. Dua puluh hari yang kulalui serasa bagai seminggu. Sikap warga yang peduli, membuatku tak ingin cepat meninggalkan mereka. Aku dibawakan ole - ole sekarung sayur - sayuran. Sempat juga aku ikut memanen kentang dan menanam cabai selama disana. Aku pamitan. Tangis haru menyelimuti perpisahan kami. Ada yang bilang kalau aku sudah dianggap sebagai anaknya sendiri. “ sering – seringlah kam main kesini ya….” Seru salah satu warga
***

Mobil L 300 Mitsubishi putih telah berada di depan rumah Pak Ilham. Hanya ada satu tempat duduk yang tersisa di belakang. Itu adalah bagianku. Mobilpun melaju perlahan. Kusempatkan menoleh ke belakang. Mereka semua melambaikan tangan haru dan sedih. Aku melihat Laila yang berdiri dibelakang mereka menutup sebagian mukanya dengan tepi jilbab bagian kiri. Matanya berlinang, langsung berlari ke belakang. Entah apa yang ia lakukan…..

Di perjalanan pulang. Selaksa kerinduan menyusup ke dalam dadaku. Begitu cepatnya aku merindukan mereka. Teman - teman yang lain nampak asyik bercerita pengalaman mereka selama disana. Malahan ada yang diberi amplop berisi sejumlah uang yang diberikan masyarakat desa setempatnya sebelum pulang. Aku jadi teringat ketika aku menyalami pak Ilham. Beliau juga menyelipkan secarik kertas dalam amplop wangi ke tanganku. Aku kira isinya sama dengan sebagian teman yang lain. Tapi ternyata sebuah surat. Kubuka dan kubaca dengan penuh perasaan.
Untuk kak Farel..
Yang disayangi Allah Swt.

Ba’da salam dan basmalah
Teriring do’a dan salamku semoga kak Farel selalu dalam lindunganNya menjadi Da’i yang terus menebar ilmu memberantas kejahilan dan kemungkaran di bumi ini. Insya Allah…
Sebelumnya mohon maaf kalau saya telah lancang menulis surat ini. Ini adalah tumpahan hasratku yang selama ini ku bendung.
Kak farel…..
Sejak pertemuan kita yang pertama kali. Belajar mengaji bersama. Saya banyak mencuri pandang kepada kakak. Saya malu kak..
Semenjak saya mengikuti acara PKR disekolah, saya banyak tahu tentang agama, khususnya etika seorang muslimah dalam bergaul. Oleh sebab itu, kutahan diriku untuk berbicara dengan kakak. Sebelumnya terima kasih kuucapkan sedalam – dalamnya atas semua pengajaran yang kakak berikan. Aku ingin tak peduli pada perasaan ini. Tapi semakin kutahan perasaan ini, semakin menyiksa bathinku. Ahad lalu. Saat akan diadakan acara buka bersama selepas maghrib, aku datang ba’da ashar untuk mengaji seperti biasanya. Namun kulihat, kakak tengah tertidur dengan pulasnya. Kakak merangkulkan diri karena kedinginan. Niat hati ingin memanggil pak Edi untuk membangunkan kakak agar sholat ashar. Tapi beliau pergi ke pasar membeli daging karena kurang untuk acara berbuka. Aku tak tega membangunkan kakak yang sangat pulas tidurnya. Akhirnya aku masuk dan menarik selimut tebal itu untuk menutupi tubuh kakak. Sekali lagi, maaf kak kalau aku telah lancang berbuat begitu.
Pandangan sekejab yang pernah kakak panahkan padaku, masih membekas di ingatanku sampai sekarang. Aku tak bisa menyembunyikan perasaan ini terlalu lama kak… Sungguh menyiksa bathinku. Hingga aku curhat dengan salah satu ustadzah yang pernah mengisi materi di PKR. Baru ku tahu, kalau sebenarnya boleh seorang wanita meminta di khitbah oleh seorang pemuda yang dicintainya dengan tujuan mengharap barokah dari Allah agar garis keturunannya dapat mewarisi akhlak dan ilmu dari orang tuanya.
Yang terakhir, aku hanya ingin bilang kalau aku mencintaimu karena Allah kak…., sudikah kakak menerima kelancanganku ini? Tanggal 26 dan 27 bulan depan, ada pesta tahunan di kampung kami. Aku berharap kakak dapat menghadirinya sekaligus menjawab permintaan ini.

Salam hormatku,
Laila jamilah.

Surat yang masih melekat ditanganku, bergerak gemetar tak menentu. Jantungku kembali mendesir. Bagaimana mungkin aku yang hanya orang biasa ini bisa membuat orang menjadi tersiksa. Aku merasa bersalah. Entahlah…
***

Waktu mengalir deras. Detik jam terus berputar tanpa lelah, mengantarkan hari yang fitri. Sang surya tampak cerah menyapa hangat jamaah sholat ied dilapangan. Merapatkan barisan shaf, memuji dan bersyukur padaNya atas kemenangan melawan hawa nafsu.
Akhirnya, waktu itupun tiba. Teman safari ramadhan yang dekat dengan desaku mengajak untuk pergi kesana. Aku baru teringat akan surat Laila. Selama sebulan penuh sibuk dengan aktivitasku. Kubalas surat itu dengan penuh rasa bersalah membuatnya tersiksa…
Untuk adindaku laila
Yang selalu terselimut cahaya keislaman
Ba’da salam wa basmalah
Kakak selalu berdo’a agar dik laila selalu sehat dalam lindunganNya menempuh jati diri seorang muslimah yang kaffah. Terima kasih banyak kakak ucapkan sebelumnya atas perhatian lebih yang selama ini Laila berikan. Memang benar dalam Islam dibolehkan calon istri meminta di khitbah. Tapi yang memohon itu harus orang tuanya atau walinya. Sejuta maaf bertabur penyesalan yang bisa kakak berikan. Kakak tidak mau membuat diri dik Laila semakin tersiksa. Sebelum kakak ikut jaulah Ramadhan – pun, kakak telah komitmen dengan diri sendiri bahwa sebelum selesai studi ini, kakak belum mau menikah. Kakak masih ingin konsentrasi penuh menyelesaikan kuliah ini. Sekali lagi maaf. Cinta yang hakiki adalah cinta yang ditujukan untuk Allah dan Rasulnya, seperti Bilal bin Rabbah yang walaupun dijemur dibawah terik matahari, ditimpa batu yang besar. Namun tak menggoyahkan imannya. Ia tetap mengucap “ ahad…ahad…ahad.” Ia cinta pada Allah dan Rasulnya. Insya Allah dikemudian hari dik Laila menemukan pendamping hidup yang lebih baik dari kakak. Percayalah, Allah selalu memberikan yang terbaik bagi hambanya yang dicintaiNya. Sekali lagi, kakak mohon maaf yang sebesar - besarnya atas khilaf kakak sebagai seorang manusia selama disana. Dik Laila sudah kakak anggap sebagai adik kandung kakak sendiri. Ajaklah keluarga silaturahmi kerumah untuk mempererat tali silaturrahmi kita.
Wassalam,
Farel Hernowo

Kulipat rapi surat itu. Kuserahkan pada temanku yang akan berangkat kesana. Sekalian menyampaikan maafku karena tidak bisa hadir berhubung saya telah aktif mengajar lagi.

Beberapa bulan kemudian, Laila sudah tamat sekolah. Ia mengirim surat balasan padaku beserta surat undangan pernikahannya. Dalam surat itu, ia menjelaskan bahwa ketika ia mengikuti PKR di sekolahnya, ada seorang pemateri lulusan mesir yang jatuh hati padanya. Mereka akan melangsungkan pernikahan ahad depan.
“ barakallahu lak, wa baraka alaik wa jama’a bainakuma fi khoir… ”

PROFIL PENULIS
Mardiono, Lulus SMK Negeri 7 Medan, jurusan akuntansi tahun 2004.
Melanjutkan pendidikan pada September 2006 di Ma’had Abu Ubaidah Bin Al Jarrah angkatan ke IV. Ma’had yang terletak di UMSU III Medan inilah yang mengawali karir dalam dunia kepenulisan. Sempat juga bergabung di Unit Kegiatan Mahasiswa Lembaga Pers Mahasiswa Teropong UMSU sebagai Reporter.

Lulus dengan predikat jayyid jiddan di program Bahasa Arab, kemudian melanjut ke program Tahfidz Qur’an. Kurang lebih satu semester dilalui, panggilan dakwah tiba. Hingga Februari 2011, menjadi Da’i AMCF yang berlokasi di Tapanuli Tengah hingga Februari 2011. Dan telah menyelesaikan pendidikan S1-nya di STAI BU PANDAN Maret 2012.

Cerpen yang telah di terbitkan, “ Tatapan Matanya” pada 04 Oktober 2010 di annida online, dapat di baca di (http://annida-online.com/media.php?module=detailartikel&id=2251&page=1)

Baca juga Cerpen Cinta yang lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar