KELUARGA SAKINAH
Karya Mardiono
KARIR, pamor dan obsesi. Itulah label yang diberikan rekan – rekan kerjanya kepada seorang yang cantik dan penuh semangat. Sudah banyak para pengusaha kaya dan tampan yang ingin melamarnya. Tapi tetap ia tolak. Ia trauma dengan kehidupan rumah tangganya tujuh tahun yang silam.
Entah kenapa. Kenangan hitam yang telah ia kubur jauh dan lama, kini harus terbongkar lagi. Nota produksi yang ia pegang, memaktubkan namanya sebagai pembawa acara paket untuk program “ Keluarga Sakinah”. Ini acara baru. Ia dipilih sebagai pembawa acaranya, karena memang ia memiliki kredibilitas yang tinggi, kedisiplinan dan keprofesionalan yang tak diragukan lagi. Telah lebih dari sepuluh tahun, ia bekerja di stasiun radio itu. Beberapa kali ia diminta untuk menjadi kepala stasiun, namun ia tidak mau. Padahal dulu, obsesinya sangat menggebu mengincar kursi kepala stasiun di perusahaan radio itu. Tapi semua obsesi itu berbalik seratus delapan puluh derajat, saat ia mulai menyandang status janda.
Karya Mardiono
KARIR, pamor dan obsesi. Itulah label yang diberikan rekan – rekan kerjanya kepada seorang yang cantik dan penuh semangat. Sudah banyak para pengusaha kaya dan tampan yang ingin melamarnya. Tapi tetap ia tolak. Ia trauma dengan kehidupan rumah tangganya tujuh tahun yang silam.
Entah kenapa. Kenangan hitam yang telah ia kubur jauh dan lama, kini harus terbongkar lagi. Nota produksi yang ia pegang, memaktubkan namanya sebagai pembawa acara paket untuk program “ Keluarga Sakinah”. Ini acara baru. Ia dipilih sebagai pembawa acaranya, karena memang ia memiliki kredibilitas yang tinggi, kedisiplinan dan keprofesionalan yang tak diragukan lagi. Telah lebih dari sepuluh tahun, ia bekerja di stasiun radio itu. Beberapa kali ia diminta untuk menjadi kepala stasiun, namun ia tidak mau. Padahal dulu, obsesinya sangat menggebu mengincar kursi kepala stasiun di perusahaan radio itu. Tapi semua obsesi itu berbalik seratus delapan puluh derajat, saat ia mulai menyandang status janda.
Secarik kertas berstempel radio dan bertanda tangan kepala stasiun itu. Mau tak mau, ia harus menerimanya. Ia begitu menjaga keprofesionalan kerjanya.
***
Disudut meja kerjanya. Ia diam terpaku. Pandangan matanya terus tertuju pada nota produksi itu. Bagaimana ia akan membawakan acara “keluarga sakinah”, sedangkan ia telah gagal membina rumah tangga. Ia takut kenangan tujuh tahun yang silam, akan terulang lagi.
***
Di hari itu..
“ Fauziah, ini profil keluarga sakinah yang akan hadir nanti” seru Pak Khairil selaku produser acara.
“ oh ya pak. Terima kasih”. Ia terima tanpa dilihatnya. Ia masih sibuk mengoreksi naskah berita yang akan ia baca, sebelum acara paket itu dimulai.
Waktu tinggal sepuluh menit lagi. Seharusnya ia sudah berada di kursi siaran. Tetapi terdapat kalimat yang diragukan dari naskah berita itu. Iapun setengah berlari menuruni anak tangga menuju ke ruang pemberitaan. Sejurus kemudian, ia kembali naik dengan masih membawa beberapa lembar naskah berita yang siap di baca. Ketika itu,
0upssss…….
Naskah berita itu berserakan. Kecepatannya berjalan dan kekhawatirannya akan terlambat, membuatnya tak melihat kedepan saat berjalan. Ia bertabrakan dengan seorang bertubuh tinggi berbidang lebar.
Dengan ligat, ia terus mengumpuli lembaran naskah yang bertaburan. Tanpa sempat melihat siapa yang ia tabrak. Semua terkumpul. Lelaki itupun memberikan lembaran naskah itu padanya dan,
“ terima ka……” kerongkongannya tercekat tiba – tiba untuk menyambung kalimat itu. Saat ia mulai mendongakkan kepalanya melihat lelaki itu. Mereka beradu pandang beberapa saat lamanya. Dan saat itu juga,
“ Fauziah !!!, sudah jam berapa ini?? Tune buka berita harusnya sudah diputar !!” sergah Pak Khairil mendadak dari atas. Mengacaukan suasana penasaran itu. Ia langsung menghambur ke studio. Fikirannya tak tenang. ‘Mengapa dia ada disini?’ bisiknya dalam hati.
***
Sebuah keluarga telah menanti di ruang wawancara. Profil keluarga sakinah, baru sempat ia baca saat acara itu dimulai.
“ Baik pendengar, setelah disampaikannya warta berita daerah, lanjutlah kita kerangkaian acara selanjutnya, dalam “Keluarga Sakinah”. Dan telah hadir juga……” ucapannya terhenti saat melihat ke ruang wawancara yang dibatasi oleh kaca tembus pandang. Ia tak menyangka melihat lelaki itu lagi. Siaran diudara fakum beberapa detik. Hingga Pak Khairil memberi kode dari samping untuk memutarkan sebuah lagu dulu.
“ Fauziah, ada apa denganmu ??, tidak biasanya kamu begini !!, ini bukan main – main. Semua orang dengar hingga luar kota. Kalau kamu begini, acara kita bisa gagal !!!!” bentak Pak Khairil yang kesal dengan ketidakwajaran Fauziah saat itu.
Ia masih terdiam. Hatinya beraduk – aduk. Ada perasaan tak senang, tak rela, benci, cinta dan sedih. Tapi mau bagaimana lagi. Citra perusahaan ini ada ditangannya. Ia sadari itu.
Lagu sudah hampir habis. Pak Khairil kembali memberikan semangat, agar ia dapat menyiar dengan baik di edisi perdana acara itu.
***
“ Baik pendengar, sebuah keluarga yang akan menjadi narasumber kita kali ini adalah keluarga dari Bapak hen…hen….hen….” ia kembali terbata dan gerogi membaca profil keluarga sakinah itu. Dari balik kaca samping, Pak Khairil berulang kali memberi isyarat menyambung nama itu.
“ Hendar Sudrajat beserta istrinya Ningrum Kusuma, M.Pd, dan kedua buah hatinya, Fatan dan Nasya”
Keluarga itupun menjawab sapaannya. Mereka terlihat harmonis. Suami dan istri nampak kompak dalam menjawab pertanyaan – pertanyaan yang ada dalam naskah acara. Mereka memakai baju batik yang senada.
Hati Fauziah semakin membara. Melihat mereka bergandengan tangan mesra, memeluk kedua buah hati mereka. Namun ia harus tetap tegar.
“ Baik, ibu Ningrum selaku ibu rumah tangga, apa sih rahasia sukses dalam rumah tangga?”
“ Bagi saya, keluarga adalah nomor satu. Saya selalu beniat dan terus berusaha menerapkan prinsip ‘rumahku adalah surgaku’. Sebagaimana kita tahu bahwa surga adalah tempat kesenangan yang kekal. Jadi saya terus berupaya agar penghuni rumah itu merasakan hal yang sama”
“ Baik. Anda sebagai wanita karir yang mempunyai jam terbang cukup tinggi. Dengan beberapa buku karya anda. Juga sering mengisi seminar bedah buku dimana – mana. Dan anda juga seorang Dosen di salah satu Universitas Negeri di kota ini. Nah, apakah keluarga tidak menjadi penghalang dalam karier anda?”
“ Justru sebaliknya. Saya lebih mengutamakan keluarga daripada itu semua. Awalnya saya cukup egois, karena masih saja tetap mengejar karir. Tapi lama – kelamaan saya sadar. Popularitas dan karier seorang ibu rumah tangga, bukanlah terletak pada berhasilnya ia berkarya. Namun menurut saya, kesuksesan seorang ibu rumah tangga itu ada pada suksesnya ia membuat keluarganya menjadi berkarya. Apalah artinya ia mempunyai pamor dan popularitas yang tinggi bila anak tak terkontrol dan suami tak terurus. Bukankah itu malah dapat menjatuhkan pamornya? Tapi bila seorang anak sukses, tentu orang tua ikut merasakannya. Semenjak itulah saya memutuskan untuk menjadi Dosen bagi keluarga saya saja dan menjadi pemateri dalam seminar di keluarga saya saja. Paling kalau ada waktu senggang, saya masih tetap menulis.” Jawaban yang keluar begitu dalam. Dengan ringan dan penuh senyum, Ibu Ningrum menjelaskannya.
Tapi tidak untuk Fauziah. Ia makin tersayat. Ia tak sanggup menahan haru dalam asanya. Bahkan ia tak kuat untuk melanjutkan acara itu. Ia langsung menaikkan fader winamp untuk memutarkan lagu. Tanpa ada basa – basi lagi kepada pendengar. Ia pergi menghambur ke belakang. Menemui Pak Khairil dan memberikan naskah acara itu dengan terburu.
“ Maaf Pak, saya tidak sanggup membawakan acara ini”. Tanpa menunggu jawaban. Ia terus menangis menahan perih dihatinya. Menjemput sepeda motornya. Tancap gas pulang ke rumah.
Acara berdurasi satu jam itu tetap berlanjut. Pembawa acara digantikan oleh penyiar dinas, selama tiga puluh menit kedepan.
***
Di dalam rumah yang megah. Ia buka pintu perlahan. Deraian air matanya masih belum bisa ditahan. Ia masih bersandar di balik pintu itu. Terlintas kembali kata – kata dari istri seorang mantan suaminya.
Ia pandangi seisi rumah itu. Mulai dari lampu lampion hiasan langit – langit rumah, kursi jepara milik para pejabat, sofa santai yang unik. Ruang nonton televisi bagai suasana bioskop dengan layar lebarnya. Tapi semua itu hampa. Ia tidak pernah lagi merasakan kehangatan seorang suami. Ia tak pernah lagi bermanja ria dipelukan seorang suami. Ia tak pernah lagi mendapatkan kejutan terindah di hari jadinya.
AC termahal yang ia beli, ternyata hanya benda mati yang tak dapat memberi rasa sejuk di hati. Selimut tebal kualitas luar negeri, juga hanya benda mati yang tak dapat memberi rasa hangat pada dirinya.
Ia masih membeku. Bulir kesedihan terus mengalir di pipinya. Seolah melintas kembali bayangan mereka saat bertengkar tujuh silam diruang tamu itu. Hendar berkata,
‘yang meng-edit berita lah, yang jumpa fans-lah, yang mengisi suara drama-lah. Selalu saja kau sibuk dengan pekerjaanmu. Sudah !!!, kepala stasiun itu saja kau kawini !!!’
Tamat
PROFIL PENULIS
Mardiono, Lulus SMK Negeri 7 Medan, jurusan akuntansi tahun 2004.
Melanjutkan pendidikan pada September 2006 di Ma’had Abu Ubaidah Bin Al Jarrah angkatan ke IV. Ma’had yang terletak di UMSU III Medan inilah yang mengawali karir dalam dunia kepenulisan. Sempat juga bergabung di Unit Kegiatan Mahasiswa Lembaga Pers Mahasiswa Teropong UMSU sebagai Reporter.
Lulus dengan predikat jayyid jiddan di program Bahasa Arab, kemudian melanjut ke program Tahfidz Qur’an. Kurang lebih satu semester dilalui, panggilan dakwah tiba. Hingga Februari 2011, menjadi Da’i AMCF yang berlokasi di Tapanuli Tengah hingga Februari 2011. Dan telah menyelesaikan pendidikan S1-nya di STAI BU PANDAN Maret 2012.
Cerpen yang telah di terbitkan, “ Tatapan Matanya” pada 04 Oktober 2010 di annida online, dapat di baca di (http://annida-online.com/media.php?module=detailartikel&id=2251&page=1)
Baca juga Cerpen Islam yang lainnya.
***
Disudut meja kerjanya. Ia diam terpaku. Pandangan matanya terus tertuju pada nota produksi itu. Bagaimana ia akan membawakan acara “keluarga sakinah”, sedangkan ia telah gagal membina rumah tangga. Ia takut kenangan tujuh tahun yang silam, akan terulang lagi.
***
Di hari itu..
“ Fauziah, ini profil keluarga sakinah yang akan hadir nanti” seru Pak Khairil selaku produser acara.
“ oh ya pak. Terima kasih”. Ia terima tanpa dilihatnya. Ia masih sibuk mengoreksi naskah berita yang akan ia baca, sebelum acara paket itu dimulai.
Waktu tinggal sepuluh menit lagi. Seharusnya ia sudah berada di kursi siaran. Tetapi terdapat kalimat yang diragukan dari naskah berita itu. Iapun setengah berlari menuruni anak tangga menuju ke ruang pemberitaan. Sejurus kemudian, ia kembali naik dengan masih membawa beberapa lembar naskah berita yang siap di baca. Ketika itu,
0upssss…….
Naskah berita itu berserakan. Kecepatannya berjalan dan kekhawatirannya akan terlambat, membuatnya tak melihat kedepan saat berjalan. Ia bertabrakan dengan seorang bertubuh tinggi berbidang lebar.
Dengan ligat, ia terus mengumpuli lembaran naskah yang bertaburan. Tanpa sempat melihat siapa yang ia tabrak. Semua terkumpul. Lelaki itupun memberikan lembaran naskah itu padanya dan,
“ terima ka……” kerongkongannya tercekat tiba – tiba untuk menyambung kalimat itu. Saat ia mulai mendongakkan kepalanya melihat lelaki itu. Mereka beradu pandang beberapa saat lamanya. Dan saat itu juga,
“ Fauziah !!!, sudah jam berapa ini?? Tune buka berita harusnya sudah diputar !!” sergah Pak Khairil mendadak dari atas. Mengacaukan suasana penasaran itu. Ia langsung menghambur ke studio. Fikirannya tak tenang. ‘Mengapa dia ada disini?’ bisiknya dalam hati.
***
Sebuah keluarga telah menanti di ruang wawancara. Profil keluarga sakinah, baru sempat ia baca saat acara itu dimulai.
“ Baik pendengar, setelah disampaikannya warta berita daerah, lanjutlah kita kerangkaian acara selanjutnya, dalam “Keluarga Sakinah”. Dan telah hadir juga……” ucapannya terhenti saat melihat ke ruang wawancara yang dibatasi oleh kaca tembus pandang. Ia tak menyangka melihat lelaki itu lagi. Siaran diudara fakum beberapa detik. Hingga Pak Khairil memberi kode dari samping untuk memutarkan sebuah lagu dulu.
“ Fauziah, ada apa denganmu ??, tidak biasanya kamu begini !!, ini bukan main – main. Semua orang dengar hingga luar kota. Kalau kamu begini, acara kita bisa gagal !!!!” bentak Pak Khairil yang kesal dengan ketidakwajaran Fauziah saat itu.
Ia masih terdiam. Hatinya beraduk – aduk. Ada perasaan tak senang, tak rela, benci, cinta dan sedih. Tapi mau bagaimana lagi. Citra perusahaan ini ada ditangannya. Ia sadari itu.
Lagu sudah hampir habis. Pak Khairil kembali memberikan semangat, agar ia dapat menyiar dengan baik di edisi perdana acara itu.
***
“ Baik pendengar, sebuah keluarga yang akan menjadi narasumber kita kali ini adalah keluarga dari Bapak hen…hen….hen….” ia kembali terbata dan gerogi membaca profil keluarga sakinah itu. Dari balik kaca samping, Pak Khairil berulang kali memberi isyarat menyambung nama itu.
“ Hendar Sudrajat beserta istrinya Ningrum Kusuma, M.Pd, dan kedua buah hatinya, Fatan dan Nasya”
Keluarga itupun menjawab sapaannya. Mereka terlihat harmonis. Suami dan istri nampak kompak dalam menjawab pertanyaan – pertanyaan yang ada dalam naskah acara. Mereka memakai baju batik yang senada.
Hati Fauziah semakin membara. Melihat mereka bergandengan tangan mesra, memeluk kedua buah hati mereka. Namun ia harus tetap tegar.
“ Baik, ibu Ningrum selaku ibu rumah tangga, apa sih rahasia sukses dalam rumah tangga?”
“ Bagi saya, keluarga adalah nomor satu. Saya selalu beniat dan terus berusaha menerapkan prinsip ‘rumahku adalah surgaku’. Sebagaimana kita tahu bahwa surga adalah tempat kesenangan yang kekal. Jadi saya terus berupaya agar penghuni rumah itu merasakan hal yang sama”
“ Baik. Anda sebagai wanita karir yang mempunyai jam terbang cukup tinggi. Dengan beberapa buku karya anda. Juga sering mengisi seminar bedah buku dimana – mana. Dan anda juga seorang Dosen di salah satu Universitas Negeri di kota ini. Nah, apakah keluarga tidak menjadi penghalang dalam karier anda?”
“ Justru sebaliknya. Saya lebih mengutamakan keluarga daripada itu semua. Awalnya saya cukup egois, karena masih saja tetap mengejar karir. Tapi lama – kelamaan saya sadar. Popularitas dan karier seorang ibu rumah tangga, bukanlah terletak pada berhasilnya ia berkarya. Namun menurut saya, kesuksesan seorang ibu rumah tangga itu ada pada suksesnya ia membuat keluarganya menjadi berkarya. Apalah artinya ia mempunyai pamor dan popularitas yang tinggi bila anak tak terkontrol dan suami tak terurus. Bukankah itu malah dapat menjatuhkan pamornya? Tapi bila seorang anak sukses, tentu orang tua ikut merasakannya. Semenjak itulah saya memutuskan untuk menjadi Dosen bagi keluarga saya saja dan menjadi pemateri dalam seminar di keluarga saya saja. Paling kalau ada waktu senggang, saya masih tetap menulis.” Jawaban yang keluar begitu dalam. Dengan ringan dan penuh senyum, Ibu Ningrum menjelaskannya.
Tapi tidak untuk Fauziah. Ia makin tersayat. Ia tak sanggup menahan haru dalam asanya. Bahkan ia tak kuat untuk melanjutkan acara itu. Ia langsung menaikkan fader winamp untuk memutarkan lagu. Tanpa ada basa – basi lagi kepada pendengar. Ia pergi menghambur ke belakang. Menemui Pak Khairil dan memberikan naskah acara itu dengan terburu.
“ Maaf Pak, saya tidak sanggup membawakan acara ini”. Tanpa menunggu jawaban. Ia terus menangis menahan perih dihatinya. Menjemput sepeda motornya. Tancap gas pulang ke rumah.
Acara berdurasi satu jam itu tetap berlanjut. Pembawa acara digantikan oleh penyiar dinas, selama tiga puluh menit kedepan.
***
Di dalam rumah yang megah. Ia buka pintu perlahan. Deraian air matanya masih belum bisa ditahan. Ia masih bersandar di balik pintu itu. Terlintas kembali kata – kata dari istri seorang mantan suaminya.
Ia pandangi seisi rumah itu. Mulai dari lampu lampion hiasan langit – langit rumah, kursi jepara milik para pejabat, sofa santai yang unik. Ruang nonton televisi bagai suasana bioskop dengan layar lebarnya. Tapi semua itu hampa. Ia tidak pernah lagi merasakan kehangatan seorang suami. Ia tak pernah lagi bermanja ria dipelukan seorang suami. Ia tak pernah lagi mendapatkan kejutan terindah di hari jadinya.
AC termahal yang ia beli, ternyata hanya benda mati yang tak dapat memberi rasa sejuk di hati. Selimut tebal kualitas luar negeri, juga hanya benda mati yang tak dapat memberi rasa hangat pada dirinya.
Ia masih membeku. Bulir kesedihan terus mengalir di pipinya. Seolah melintas kembali bayangan mereka saat bertengkar tujuh silam diruang tamu itu. Hendar berkata,
‘yang meng-edit berita lah, yang jumpa fans-lah, yang mengisi suara drama-lah. Selalu saja kau sibuk dengan pekerjaanmu. Sudah !!!, kepala stasiun itu saja kau kawini !!!’
Tamat
PROFIL PENULIS
Mardiono, Lulus SMK Negeri 7 Medan, jurusan akuntansi tahun 2004.
Melanjutkan pendidikan pada September 2006 di Ma’had Abu Ubaidah Bin Al Jarrah angkatan ke IV. Ma’had yang terletak di UMSU III Medan inilah yang mengawali karir dalam dunia kepenulisan. Sempat juga bergabung di Unit Kegiatan Mahasiswa Lembaga Pers Mahasiswa Teropong UMSU sebagai Reporter.
Lulus dengan predikat jayyid jiddan di program Bahasa Arab, kemudian melanjut ke program Tahfidz Qur’an. Kurang lebih satu semester dilalui, panggilan dakwah tiba. Hingga Februari 2011, menjadi Da’i AMCF yang berlokasi di Tapanuli Tengah hingga Februari 2011. Dan telah menyelesaikan pendidikan S1-nya di STAI BU PANDAN Maret 2012.
Cerpen yang telah di terbitkan, “ Tatapan Matanya” pada 04 Oktober 2010 di annida online, dapat di baca di (http://annida-online.com/media.php?module=detailartikel&id=2251&page=1)
Baca juga Cerpen Islam yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar