Rabu, 25 Juli 2012

Cerpen Remaja - 11:50 P.M

11:50 P.M
Karya Gandhis Nawang Wulan

Di sudut sekolah yang sepi, dua orang remaja terdiam terlarut dalam heningnya suasana. Angin berhembus, menyejukkan dua hati yang larut dalam perasaannya masing-masing. “Maaf, aku rasanya memang belum siap untuk pacaran lagi. Prioritasku saat ini hanya untuk basket.” Jelas Junior sambil menatap lurus ke seorang gadis yang balik menatapnya tak percaya.
“Tapi aku bisa, aku bisa ngertiin semua kesibukanmu. Aku nggak pernah terganggu dengan semuanya.” Keduanya masih saling terdiam. Junior mengedarkan pandangannya ke seluruh sedut sekolah yang semakin senyap.

Sedangkan Machika, dengan sudut matanya memandang Junior penuh harap. Junior menghembuskan nafas panjang dan berkata, “Sudahlah Chi, prioritasku saat ini cuma basket, aku nggak mau menggantung hubungan yang akhirnya bakal nyakitin kamu.”
Wajah Machika memanas, ditatapnya langit-langit koridor untuk menghalau air mata yang ingin mendesak keluar. “Aku pulang.” Lanjut Junior, lalu beranjak pergi meninggalkan Machika yang masih terdiam. Ditatapnya punggung pacar, yang beberapa menit lalu telah menjadi mantannya itu dengan nanar. Air mata yang dengan susah payah ditahannya kini keluar tak terbendung.

Dengan air mata yang semakin mengaburkan pandangannya, Machika berlari melewati koridor-koridor kelas yang kosong. Seorang tukang kebun yang kebetulan berpasasan dengan Machika menggeleng-geleng heran,”dasar anak muda” batinnya, lalu melanjutkan pekerjaannya membersihkan ruang kelas yang kotor oleh ulah siswa yang berbangga hati membuang sampah di berbagai sudut kelas, bersuka ria karena tugas piketnya diambil alih tukang kebun sekolah.

Machika terus berjalan, entah kemana, hanya mengikuti setiap langkah yang dibuat kaki kecilnya. Saat ini pikirannya benar-benar kacau, mungkin ini yang disebut dengan galau, sebuah kata yang tak pernah absen dari topik pembicaraan remaja. Tapi tunggu, ini bukan galau, ini lebih sakit dari galau, ini sakit, sangat sakit. Sakit saat orang yang kau sayangi begitu saja meninggalkanmu dengan alasan yang tak jelas , sakit ketika kau pertama kali diputus, sepihak, dan masa pacaran belum genap dua minggu, terakhir dan paling miris, sakit ketika kau tahu ternyata kau tak lebih penting dari sebuah lemparan threepoint, serunya dalam hati sambil melempar dengan keras tisu yang basah dan tak berdaya itu ke jalan beraspal.

Aspal keras yang menjadi pijakannya kini telah berganti menjadi hamparan ilalang tinggi yang membatasi bukit dengan hiruk pikuk perkotaan. Ya, bukannya pulang, tapi kakinya justru membawanya semakin jauh dari jalan pulangnya. Machika berjalan menyibak rimbunnya ilalang menuju ke puncak bukit yang ditumbuhi sebuah pohon ek besar dan bunga-bunga liar. Sepi. Hanya suara desir angin dan gemerisik dedaunan kering yang terdengar. Dia diam, berdiri sambil mendekap tubuhnya sendiri untuk menghalau angin yang berhembus kencang menantangnya.
“Juniiooor. . .” teriak Machika keras sambil menyeka wajahnya yang basah karena air mata.
“Apa sih ? aku denger kok, nggak usah teriak-teriak gitu lagi !” suara itu menyahut teriakan Machika. Machika menoleh ke segala arah, mencari si pemilik suara. Lalu dari balik pohon muncul seseorang, dia menatap Machika sambil memiringkan kepalanya.

Machika yang baru saja tersadar dari kekagetannya oleh kemunculan cowok itu, segera merespon, “eh, aku panggil Junior, bukan situ!” suaranya terdengar sinis. Sedangkan cowok di depannya justru sibuk mengibas-ngibaskan tangan untuk membersihkan celana pendeknya dari rumput-rumput kering yang menempel. Rambutnya yang dibiarkan agak gondrong menutupi hampir sebagian wajahnya. Kemudian dia tersenyum dan kembali duduk. “Kalo mau nangis, nangis aja lagi.” kata cowok itu sambil melirik Machika yang masih berdiri di tempatnya semula dengan mata merah sambil menahan tangis.
“hhuuwaaaaaaaaa.” Tangis Machika meledak. Cowok itu menoleh kaget, “tadi kelihatannya lucu banget, eh ternyata kalau nangis jadinya ga lucu banget.” Semuanya kembali hening, hanya sesenggukan sisa-sisa tangisan yang terdengar.
At first I was afraid, I was petrified
I kept thinkin' I could never live without you by my side
But then I spent so many nights just thinking how you’ve done me wrong
And I grew strong, I learned how to get along
Oh not I, I will survive
Yeah, as long as I know how to love, I know I'll be alive.
I've got all my life to live,
I've got all my love to give,
I will survive . . .

Penggalan lagu I Will Survive dari The Cake mengalun lembut dari bibir cowok itu. Matanya menerawang jauh, tangannya menepuk-nepuk lutut, membuat ketukan-ketukan untuk mengiringi nyanyiannya. “Kenapa nangis ? Cowok ya ?” tanya cowok itu setelah menyelesaikan nyanyiannya sambil tersenyum mengejek Machika.

Machika mengangguk-angguk hebat hingga kuncir kudanya bergoyang-goyang dengan mata merah dan hidung berair. “eh iya, tadi kenapa kamu tiba-tiba jawab pas aku manggil Junior ?” kata Machika setelah berhenti mengangguk-angguk dan mulai menatap cowok itu serius.
“Junior. Nama gue Junior, sama kayak nama cowok yang lo teriakin sambil nangis tadi.” Jawabnya sambil mengulurkan tangannya dan tersenyum manis, salah ! tapi sangat manis sekali. Machika hanya bisa melongo, antara bingung, kaget, daaaaan terpesona, sedangkan otaknya mulai mencerna semua perkaaan Junior perlahan.
“Udah ah, jangan melongo gitu, lo jelek. Intinya nama gue Junior, sama kayak cowok yang gue yakin udah mutusin lo dan buat lo nangis kayak gini. Iya kan ? pasti iya. Jadi tadi gue ga salah kan kalo gue jawab panggilan lo. Jadi, nama lo siapa ?” lanjut Junior panjang lebar, tangannya tetap terulur menunggu Machika sadar dari kebingungannya, kekagetannya, dan keterpesonaannya. Dengan segera Machika menutup mulutnya, dan mulai menyambut uluran tangan Junior “aku MJ.”
“Marry Jane ? Berarti lo tadi abis di buat nangis sama Peter Parker dong ya.” tebak Junior sekenanya.
“bukaannn, MJ itu Machika Johan bukan Marry Jane.” dia berteriak, memelototkan matanya ke arah Junior gemas. Junior tertawa, menutup muka dengan kedua tangannya, nyengir lebar, lalu berujar, “bagus deh, soalnya muka lo lebih mirip Bloody Marry daripada Marry Jane, nona Machika.” Machika yang dari tadi memperhatikan tingkahnya hanya bisa mendengus kesal sambil mencabut rumput-rumput malang yang tak bersalah disampingnya. Sementara itu, Junior yang juga melihat tingkah Machika tengah tertawa seraya memukul-mukul pohon di belakangnya.

Semburat warna oranye, biru, dan ungu mulai nampak di atas langit yang beranjak senja. “gue mau pulang, udah sore.” ujar Junior, lalu mulai mengambil sepedanya yang digeletakkan dibelakang tempatnya duduk. “loh, kamu bawa sepeda ya ?” tanya Vivian kebingungan. “iya dong, lo sih jalan sambil nangis, ingusan lagi. Ya ga kelihatan sepeda segede gini.” ejek Junior sambil bersiap menaiki sepedanya. Machika lalu tertawa seraya mendekati Junior dan berkata, “hihihihi, ayo pulang, udah sore juga, lagian aku laper.” “eeiittsss, apa lo mau ngedeket gue ? gue mau pulang.” Kata Junior sambil menghalangi Machika mendekati sepedanya. “Kan aku mau bareng Nyo.” Machika menaik-naikkan alisnya meyakinkan.
“Nyo ? Apaan ?” Balas Junior bingung
“Nyo itu ya kamu, Junior. Aku harus panggil apa coba ? Jun ? Itu mah nama tukang kebun sekolahku. Nio kan aneh, jadi huruf i nya diganti y gitu. Jadinya N-Y-O, Nyo.” Jelas Machika sambil memonyongkan bibirnya membentuk huruf O.
“Terserah.” Ucap Junior datar, lalu meluncurkan sepedanya menuruni lereng bukit. Machika menatap sepeda Junior yang semakin menjauh dan berjalan dengan lunglai menuju ke rumahnya.
***

Dihentak-hentakkan kedua kakinya untuk menghilangkan rasa bosan, sudah hampir seperempat jam Machika duduk di halte ini menunggu bus yang tak kunjung datang. Seragam abu-abu putihnya mulai basah terkena keringat yang tidak berhenti menetes. Dilepasnya topi abu-abunya dan mulai menggerak-gerakkannya untuk menghalau panas. Bus biru yang sudah lama dinanti terlihat dari jauh, membuat Machika lega, setidaknya dia tidak harus menunggu lebih lama di halte membosankan ini, terkadang Machika berharap suatu saat akan ada TV atau paling tidak majalah yang update setiap minggu yang disediakan untuk para penunggu setia bus ini.

Bus merapat, segera Machika melompat masuk melalui pintu belakang bus yang terbuka dan mencari tempat duduk kosong di sebelah pintu. Seorang berjaket hitam masuk dan duduk di kursi kosong di samping Machika. Machika meliriknya, berusaha mengenali seseorang yang kini di sampingnya, namun topi dari jaket yang di pakainya menutupi wajahnya. Sepintas Machika mengetahui bahwa orang disampingnya adalah seorang cowok SMA dari celana abu-abu yang di pakainya. Bus mulai meluncur meninggalkan halte tepat ketika Machika menyerahkan tiga lembar uang seribuan pada kondektur bus berwajah sangar bak preman terminal itu.

Bus berhenti di halte berikutnya, serombongan gadis remaja berseragam berjalan ke pintu keluar bus, tiba-tiba seorang gadis di antara mereka berteriak histeris, “Astagaaa, Juniooorrrr.” Sambil menunjuk cowok di samping Machika.
“Junior ?” gumam Machika seraya terbelalak dan memutar badannya menghadap ke orang berjaket hitam yang ternyata adalah Junior. Wajah Junior langsung pucat pasi, dengan cepat di sambarnya tangan Machika, berlari menerobos gadis-gadis tadi yang menjadi brutal – menarik-nariknya dan meloncat keluar dari pintu bus yang terbuka.
“Lepaskan aku !!” bentak Machika. “Kau mau membawaku kemana Nyo. Kau tahu ?? aku harus membeli barang-barang dalam daftar ini, lihat ini !!” Kertas daftar belanjaan itu berkibar liar di tangan kirinya. Hingga akhirnya mereka berhenti berlari ketika sampai sebuah sudut sepi di depan pertokoan.
“Aku lelah.” Kata Junior terengah seraya duduk di trotoar, Machika mengikutinya – mengatur nafasnya yang tak karuan.
“Bodoh !!” Teriak Machika gemas, setelah berhasil menjitak kepala Junior dengan telak. “Kenapa mereka berteriak – teriak, meneriakinu ! Seakan mereka memujamu. Seragam mereka sama denganmu, bukan kah mereka temanmu ? Lalu mengapa kau harus lari ? Aku tidak peduli kau mau berlari kemana pun, tapi dalam kasus ini kau menculikku ! Oh itu berlebihan, kau menyeret – nyeretku dengan paksa !!” Machika terengah – engah menahan emosinya yang memuncak, Junior yang berpura – pura mengantuk dengan memejamkan matanya dan terkulai di lututnya semakin membuat Machika berkali - kali menarik nafasnya dalam dalam dan menghembuskannya – menahan emosi.
“Mereka ? Mereka gadis, sama sepertimu kan. Bedanya hanya mereka gadis normal yang menggilaiku dan kau tidak.” Kata Junior, tiba – tiba terbangun dari tidur palsunya dan membanggakan diri seraya menyunggingkan senyum. “Aku mulai menyukai hidupku sebagai manusia, berkat mereka.” Lanjut Junior santai.

Tenggorokan Machika terasa tercekat, ditatapnya Junior seakan bertanya “Apa maksud ‘manusia’ dalam ucapanmu.” Beribu pertanyaan terlintas di benak Machika, bulir-bulir keringat dingin mulai membasahi keningnya, masih juga di tatapnya sosok yang beberapa sekon yang lalu melontarkan sebuah pernyataan gila tentang ke’manusiaan’nya. Otak Machika berpikir keras, Siapa dia ? Jangan - jangan dia vampire, dia mendekatiku lalu ketika dia hanya berdua denganku dia akan mengeluarkan taringnya yang tajam dan runcing, menancapkan taring panjangnya ke leherku hingga tembus ke pembuluh darahku, menghisap darahku perlahan – lahan sampai seluruh tubuhku memucat dan aku tidak bisa lagi merasakan darah mengalir di dalam tubuhku. Tunggu tunggu, atau jangan – jangan dia semacam alien, lalu beberapa menit lagi dia akan melepas topeng wajah Junior dan menunjukkan wajahnya yang jelek dan berlendir dengan sepasang mata, telinga, serta antena tambahan di kepalanya. Kemudian dia akan menyeretku dengan tangannya yang aneh ke sebuah tempat yang penuh makhluk sekawannya daannnn . . . . . PLOKKK !!!! HWAAAAA !!! Tangan Junior mendarat mulus di kening Machika, dan jeritan itu menandakan telah kembalinya otak thriller Machika ke dunia nyata.
“Aku mengerti apa yang kau pikirkan, Junior itu vampire, Junior itu alien jelek. Otakmu liar sekali nona, cobalah berhenti mengonsumsi tayangan – tayangan horor mistis semacam itu.” Celetuk Junior, memandang Machika dengan tatapan tajam, namun meneduhkan.

Machika menatap ke atas, mencoba menghindar dari tatapan mata Junior, “Siapa sebenarnya kau ?” tanyanya.
“Aku ? Aku Junior, kau masih ingat kan kemarin kau menangis dan aku menyanyi untukmu di bukit itu.” Junior menaik turunkan alisnya dengan cepat.
“Yaaaaa, dan kau meninggalkanku sendirian.” Raut muka Machika seketika berubah menjadi aneh, matanya menyipit menatap Junior, mengingat kejadian di bukit sore itu.
“Sudahlah, jangan menatapku seperti itu. Kau masih ingin tahu aku ini siapa ? Atau lebih tepatnya, apa ?” Junior menyeringai lebar ke arah Machika yang bergidik ngeri. “Baiklah, aku akan menjelaskan, dan kau harus percaya. Sekali lagi, kau harus percaya. Ada perbedaan di antara kita, selain gender dan umur. Yaitu gen, aku tidak memiliki sejumput gen manusia di dalam diriku. Karena itu, aku bukanlah manusia sepertimu.” Junior melirik Machika, segera Machika mengangguk – angguk cepat sambil memberi isyarat untuk melanjutkan ceritanya, “Bukit itu, tempat pertamaku menginjakkan kaki di duniamu.” Lanjutnya menerawang.

Machika masih mengangguk – angguk, “Semua penjelasanmu belum bisa menjawab satu pertanyaanku. Kau ini siapa ? Maksudku, kau ini apa ? Aku benar – benar tidak bisa merealisasikan kau ini makhluk apa.” Gumam Machika.
“Aku penabur cahaya. Kau mengerti ?” Jelas Junior singkat, namun tidak jelas, yang semakin membuat Machika tidak dapat berhenti menaut – nautkan alisnya bingung. “Oke, kau tak perlu menjawab, ekspresimu cukup membuktikan bahwa kau sama sekali tak mengerti.” Machika nyengir, merasa senang bahwa dia tak harus banyak bicara dalam hal ini. “Aku yang memberi cahaya pada bintang, bukan, aku bukan Tuhan. Dia yang menciptakanku, menciptakanmu, dan menciptakan bintang. Jangan pikir aku memberi cahaya pada semua bintang, bodoh !!” Tukas Junior.
“Heeeeiii, aku memang memikirkan itu. Aku belum menanyakannya padamu, kenapa kau bisa tahu ! Berhenti membaca pikiranku.” Sergah Machika seraya menunjuk – nunjuk heboh ke arah Junior.
“Hehe, maaf.” Junior tersenyum masam sambil berusaha menurunkan tangan Machika yang masih menunjuknya. “Aku lanjutkan, hanya satu bintang untuk setiap penabur cahaya. Jadi kau bisa bayangkan berapa banyak makhluk sepertiku. Aku memberi cahaya pada bintang Pegasus, bintang di langit utara pada sudut 60 derajat. Bintang Pegasus bersebelahan dengan bintang Andromeda.” Lanjut Junior, menunjuk – nujuk ke satu penjuru langit siang yang tentu saja tak berbintang.
“Lalu bagaimana kau bisa di sini ? Kau jatuh dari langit” tanya Machika lugu.
“Tidak tidak, kau kira aku pemula. Sejujurnya lebih parah dari itu, ini memalukan, sangat memalukan. Aku tertipu oleh, oleehhhh, kau tahu benda plastik berbentuk bintang yang bisa menyala di kegelapan. Malam itu aku melihatnya di duniamu, terjatuh di antara rumput – rumput di atas bukit itu. Semula ku kira itu sebuah bintang jatuh yang kehilangan cahayanya. Naluri ku muncul, awalnya aku hanya ingin memberi sedikit cahaya Pegasus padanya. Tapi aku terlalu jauh dan tak bisa kembali.” Wajahnya nampak muram, sementara di sampingnya, Machika membungkam mulutnya dengan mata berair, berusaha menahan tawa agar tak terlalu terlihat tertawa di atas penderitaan si penabur bintang yang tak bisa pulang -- tertipu oleh bintang glow in the dark. Menyedihkan.

Machika berdeham agar Junior tidak menyadari tawanya, “Lalu bagaimana dengan Pegasus ? Dia tak lagi bercahaya tanpamu ?” Tanyanya berusaha bersimpati pada Junior yang masih menunduk.
“Kau benar, dia tak lagi bercahaya tanpaku.” Jawab Junior lirih dengan mimik muka sedih.
“Ehemm, apa yang bisa membuatmu kembali ?” Machika semakin merasa canggung dengan sikap Junior.
“Kau serius ingin membantuku ? Kau baik sekali MJ.” Junior terperangah, namun wajahnya terlihat senang. “Ayo!” Ditariknya kembali tangan Machika dan menyeret Machika di belakangnya sementara dia berlari seraya tersenyum bahagia. Sementara itu, Machika dengan ekspresi datar mengikuti kemana saja Junior menyeret tangannya dengan pasrah. “Kau tahu salah satu gadis berpita di antara gadis – gadis yang mengejarku tadi ?” Tanya Junior bersemangat.
“Heehhemmm.” Ujar Machika, masih saja dengan ekpresi datar.
Junior menoleh Machika sambil tetap terus berlari, “Dia yang mengajariku berbicara elo gue. Aku mencoba mempraktekannya padamu, namun aku tidak nyaman.” Lalu dia nyengir lebar dan terus berlari hingga menemukan bus yang akan membawa mereka pulang.
***

Disanalah Machika, tempat pertamanya bertemu si penabur bintang dan menangis padanya. Bersandar di bawah pohon rindang diatas rumput – rumput hijau yang menutupi puncak bukit. Matanya menatap ke segala arah, sekejap menyipit untuk melihat lautan lembayung di langit berselimut angin sore yang kering.

Stoples bening itu berisi penuh bintang kecil dari kertas yang tak terhitung jumlahnya. Disertai serbuk halus berkelap - kelip menyerupai pasir yang berwarna terang. Digenggam erat oleh si penabur cahaya itu.
“ Aku sudah menunggu hari ini, ini satu – satunya kesempatanku untuk kembali. Aku hanya bisa kembali pada hari dimana bintang Pegasus akan menjadi bintang paling terang, dan itu hari ini. Waktu paling terang Pegasus hanya ada di hari ini pada 11:50 p.m. ” Ucap Junior lirih seraya menatap Machika.
Langit berubah semakin gelap, lautan lembayung itu kini berubah menjadi lautan hitam dan satu persatu mulai muncul kerlipan – kerlipan kecil di atasnya. Seekor kunang – kunang kecil hinggap di stoples berisi bintang itu, “Kau tahu MJ ? Aku selalu menyukai tempat ini di malam hari. Aku suka hewan ini, kunang – kunang. Dia memiliki cahaya untuk dirinya sendiri. Aku merasa seperti dia, namun aku tidak bisa menggunakan cahayaku sendiri.” Kata junior sambil meletakkan kunang –kunang itu di jari telunjuknya. “Tunggu sebentar lagi.” Lanjutnya.

Dengan tiba – tiba ribuan kunang – kunang dengan cahaya kecil ditubuhnya mulai memenuhi tempat itu, mereka beterbangan tak tentu arah dan sebagian hinggap di rumput dan daun – daun. Machika tertawa, Junior mengikutinya. Lalu semuanya kembali hening, hanya suara kepak kecil dari sayap kunang – kunang yang terdengar.
“Jadi setelah ini aku tidak akan bisa bertemu denganmu lagi ?” Tanya Machika memecah kesunyian.
“Entah, tapi ku rasa memang itu resikonya. Ini untukmu.” Jawab Junior seraya menyodorkan stoples bening itu. “Aku membuatnya untukmu, bawa benda itu kesini tepat pada 11:50 p.m. dan taburkan sedikit serbuk itu, maka kau akan mengingatku MJ. Terimakasih aku telah mengenalmu, salah satu hal terbaik selain di kejar oleh gadis – gadis itu.” Kata Junior tulus.
“Heey, aku ingin menangis Junior.” Ucap Machika seraya menyeka air matanya yang mulai menetes.
“Kau selalu menangis tiap kali kita disini MJ. Oh ya, apa kau telah melupakan Peter Parkermu itu ?” Tanya Junior iseng.
“Tentu saja, berkat kau bodoh.” Machika tertawa lepas.

Malam semakin menunjukkan dirinya, angin malam yang dingin berhembus kencang menantang. Machika melirik jam di tangannya yang terus berdetak. 11:40. Sepuluh menit lagi sebeum dia harus berpisah dengan Junior untuk selamanya, mungkin, siapa tahu.
“Sepuluh menit lagi Junior, bersiap – siaplah. Aku tak mengerti apa yang harus kau lakukan.” Machika mulai gelisah.

Junior bangkit dari duduknya, berdiri membelakangi Machika. Machika mengecek kembali jam tangannya. 5 ... 4 ... 3 ... 2 ... 1 Sekarang !!! Sepasang sayap perlahan – lahan mulai keluar melalui punggung Junior. Sangat perlahan, Machika mencoba memperjelas penglihatannya. Namun semuanya semakin tidak jelas. Cahaya sangat terang menyelimuti tubuh Junior. Dan BLAAR !! cahaya itu menghilang, begitu pula Junior.
“Kau belum memberi tahu ku dimana letak Pegasus Nyo !!!” Teriak Machika berharap Junior akan mendengarnya.

Machika kini sendiri, hanya dengan titik – titik cahaya kunang – kunang yang menemaninya. Entah mengapa Machika tiba – tiba menangis. Karena Junior ?? Mungkin saja.
Sejak hari itu, seakan membuktikan perkataan Junior, Machika selalu disana dengan jam yang sama. 12:50 p.m. Menatap langit, menburkan serbuk berkelip yang semakin habis karena hampir setiap hari dia melakukan hal itu disana. Lalu mulai berbaring di bawah pohon itu sambil menatap jauh ke atas sana. Dia berharap Junior datang ? Entah. Namun pada kenyataannya Junior tak akan pernah kembali, sekeras apa pun dia mencoba.

Dan di hari terakhir dia memiliki serbuk itu, dia menemukan sesuatu yang menjawab pertanyaannya. Bintang Pegasus. Seperti kata Junior, 60 derajat di langit utara.
Perbedaan Pegasus dengan bintang – bintang lain ? Hanya Machika yang tahu itu. Temui dan tanyakan padanya. Atau coba saja keluar di 12:50 p.m dan taburkan serbuk itu. Ingat 12:50 p.m. Siapa tahu ? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar