THE SIGNS OF THE DREAMS #8 : TRAGEDY IN THE LAND OF SAND
Karya Avans Cross Lines
Namanya Vangalena. Dia adalah salah satu mahasiswi dari Universitas Java Island. Dia bersama ratusan mahasiswa lainnya termasuk diriku sedang mengikuti study tour ke sebuah gurun di timur tengah.
Kami semua berangkat dari Indo tepat beberapa hari sebelum tragedi yang mengenaskan itu terjadi. Kehebatan alam semesta yang akan mengubah persepsi semua orang ketika mereka berada disana.
Kami semua berangkat dari Indo tepat beberapa hari sebelum tragedi yang mengenaskan itu terjadi. Kehebatan alam semesta yang akan mengubah persepsi semua orang ketika mereka berada disana.
Adalah Campell, sebuah kota kecil di tengah gurun pasir yang bertahan selama puluhan tahun. Orang-orang menyebut tempat itu sebagai ’The Calm Heaven’ tempat yang tenang untuk peristirahatan terakhir.
Vangalena adalah temanku. Dia adalah wanita yang sangat angkuh, judes, dan sombong. Namun, aku sedikit menyukainya walaupun dia seperti itu. Alasannya selain karena dia cantik, dia juga kesepian. Tak ada satu orang pun yang ingin menjadi temannya. Mungkin karena sifatnya yang seperti itu.
Tujuan kami study tour ke tempat itu untuk mengamati bintang. Selain kota itu digunakan untuk tempat peristirahatan, kota itu juga digunakan oleh banyak ilmuan dunia untuk mengamati bintang dan benda langit lainnya.
Pagi itu kami berangkat terbang menuju Arab Saudi dan kemudian berangkat ke kota itu yang berjarak 100 km dari ibu kota.
Kota itu tepat berada di tengah gurun. Tak ada jalan raya. Yang ada hanya bukit-bukit pasir yang sewaktu-waktu bisa berpindah dan membingungkan orang-orang bila sampai tersesat disini. Satu-satunya kendaraan yang mampu berjalan di atas pasir dan bisa bertahan dari badai pasir adalah mobil yang seperti tank baja yang sedang kami naiki ini.
Akhirnya kami tiba disana. Di tempat terpencil itu. Keadaan disana begitu sunyi dan kumuh. Mungkin itu karena rumah-rumah mereka hanya terbuat dari susunan batu bata coklat saja. Warnanya sama seperti pasir di gurun ini.
Kota itu tepat berada di tengah gurun. Tak ada jalan raya. Yang ada hanya bukit-bukit pasir yang sewaktu-waktu bisa berpindah dan membingungkan orang-orang bila sampai tersesat disini. Satu-satunya kendaraan yang mampu berjalan di atas pasir dan bisa bertahan dari badai pasir adalah mobil yang seperti tank baja yang sedang kami naiki ini.
Akhirnya kami tiba disana. Di tempat terpencil itu. Keadaan disana begitu sunyi dan kumuh. Mungkin itu karena rumah-rumah mereka hanya terbuat dari susunan batu bata coklat saja. Warnanya sama seperti pasir di gurun ini.
Rumah-rumah disini begitu kecil dan tentu saja tampak selalu berdebu karena badai pasti selalu singgah di tempat ini. Memang benar tempat ini begitu sunyi. Hanya terdengar suara angin lembut perlahan yang menggesekan gurun pasir tersebut.
Kulihat Vangalena sedang berjalan menuju suatu tempat. Aku mengikutinya dari belakang. Kami berjalan menuju bagian utara dari kota itu.
Ada sebuah lapang yang gersang disana. Dan jauh di depannya ada sederet pagar kayu rusak yang melintang dari barat ke timur. Seakan-akan membatasi kota ini dan ada beberapa tentara arab yang menjaganya. Aku lihat pula cukup jauh dari kota ini ada sebuah menara. Mungkin itu digunakan untuk mengamati bintang.
“Hey, kenapa kau mengikutiku terus?!” tanya wanita itu gusar.
“Aku hanya ingin menemanimu,” jawabku.
Dia pergi menjauh dariku namun aku tetap mengikutinya. Dia menuju ke sebuah gedung yang kelihatannya seperti sebuah pabrik. Tempat itu begitu kumuh. Ketika kami masuk kesana terdengar suara riuh rendah mesin jahit. Orang-orang itu sedang bekerja di pabrik jahit ini. Kami melihat apa yang sedang dijahit mereka. Kami terkejut, ternyata itu adalah kulit dan bulu hewan. Aku tidak tahu hewan apa yang mereka gunakan untuk membuat topi, tas dan mantel tersebut.
Tiba-tiba seorang nenek dengan menggendong seekor kucing mendekati kami. Dia adalah pemilik pabrik ini.
Dia menyuruh kami duduk dan Vangalena mencoba bertanya sesuatu tentang hewan tersebut. Kami terkejut ketika nenek itu menjawab hewan itu adalah kucing-kucing liar yang ditangkap dari semua kota karena jumlah mereka semakin membludak. ’Dari pada dibunuh sia-sia lebih baik kami gunakan saja kulit dan bulu hewan itu,’ katanya pada kami.
Setelah dari pabrik itu kami berdua mencoba kembali ke rombongan. Namun mereka semua sudah tidak ada disana.
“Mungkin mereka sudah berangkat ke menara,” katanya padaku.
“Kalau begitu ayo kita kesana!” ajakku. Kami harus melewati sebuah pintu pagar besi yang dijaga tentara itu agar kami tidak dianggap ilegal memasuki wilayah tersebut. Salah seroang tentara itu menyuruh kami hati-hati. Entah apa maksudnya?
Jarak menara itu kira-kira 100 meter dari lapang kota dan kami harus melewati gurun pasir yang sangat panas ini untuk menuju kesana. Kami heran, pasir disini lebih putih, seperti pasir pantai.
Rasanya kami telah berjalan cukup lama, tapi kami belum juga sampai di menara itu. Menara itu seakan menjauh dari kami. Cuaca yang sangat panas ini membuat pandangan kami kabur. Menara itu sudah berada di depan mata, namun kami melihat keanehan dari menara itu. Di puncak menara, kami melihat sebuah lantai beton yang lebar seperti lapangan.
Bangunan itu seperti Unstable Stone atau Stonehenge. Menara yang berdiameter 5 meter dan tinggi lebih dari 100 meter itu dijadikan sebagai tiang penyangga lantai yang luasnya 200 m². Sungguh bangunan yang tidak biasa.
Kami mencoba masuk ke dalam menara tersebut. Menaiki ribuan anak tangga untuk sampai ke puncak. Namun disana tak ada siapa-siapa.
“Kemana mereka?” tanyanya.
Dari puncak menara itu kami bisa melihat gurun pasir yang luas sejauh mata memandang.
“Mereka tidak ada disini. Lebih baik kita kembali,” kataku.
Kamipun kembali menuruni anak-anak tangga itu. Namun kami sangat terkejut ketika keluar dari pintu menara itu. Banyak sekali orang-orang. Jumlahnya sampai ribuan. Dan mereka semua mengenakan pakaian serba putih. Orang-orang itu tampak kebingungan dan ketakutan. Kami mencoba bertanya pada seorang bapak namun dia tidak menjawab pertanyaan kami, wajahnya sangat ketakutan.
“Ada apa ini? Siapa mereka? Datang dari mana mereka semua? Kenapa mereka tampak bingung dan ketakutan? Dan kenapa mereka memakai pakaian putih itu?” tanya Vangalena bertubi-tubi padaku. Aku hanya bisa menggeleng.
“Mereka seperti orang yang akan mati.” kataku. Tiba-tiba terdengar suara jeritan dari puncak menara. Ketika kami melihat ke atas kami benar-benar terkejut. Terdapat ratusan orang-orang disana. Mereka semua menjerit. Kami tidak tahu apa yang sedang terjadi disini. Tapi jika dilihat baik-baik ke arah puncak menara itu, jumlah orang-orang di atas sana semakin membludak. Satu persatu orang-orang berjatuhan dari lantai setinggi 50 meter itu. Mereka berjatuhan seperti hujan dan mendarat di atas pasir putih di bawahnya. Dalam seketika mereka pun langsung mati.
“Aku mulai takut Vanga. Lebih baik kita pergi dari sini!” kataku histeris. Namun dia malah terus memperhatikan orang-orang di atas sana. Seorang ibu-ibu jatuh sesaat sebelum puncak menara itu runtuh membawa serta ratusan orang-orang diatasnya. Mereka pun mati seketika. Pasir yang tadinya seputih salju kini berubah menjadi merah oleh darah. Ini seperti neraka bagiku atau mungkin padang Masyar yang semua orang bicarakan itu
Selang beberapa saat kemudian terdengar suara gemuruh dan tiba-tiba pasir menyembur keluar dengan amat deras seperti geyser. Semakin lama semburan pasir itu semakin besar dan tiba-tiba saja dari dalam semburan itu muncul sebuah gunung. Yang kami heran adalah gunung itu terbuat dari air bening yang sangat kental. Semakin lama gunung air itu semakin tinggi. Tingginya pasti lebih dari 100 meter. Orang-orang disana mulai berlarian. Kami pun ikut berlari, kami tahu akan ada bencana besar yang akan menimpa kami. Kami berlari menuju kota.
Gunung itu pun akhirnya memuntahkan isinya. Cairan kental berwarna lautan biru menerjang orang-orang itu. Gelombangnya seperti tsunami yang amat dahsyat. Gelombang itu menghantam orang-orang dan membuatnya terperangkap di dalam air yang sangat kental tersebut.
Kami berdua mencoba berlari secepat kami bisa. Namun gelombang itu begitu cepat mengejar kami. Semua orang-orang berpakaian putih itu telah tewas. Yang tersisa hanya kami berdua.
Pintu penjaga telah di depan mata. Mereka menyuruh kami cepat masuk. Hal yang kami lakukan setelah sampai disana adalah mencari tempat perlindungan. Namun tak ada tempat yang aman disana. Gelombang itu semakin dekat. Kami berdua langsung masuk kedalam sebuah kotak besi yang sepertinya itu digunakan sebagai tempat sampah. Namun kami tak punya pilihan lain. Kami berbaring dan berpelukan erat di kotak itu.
Tak lama berselang hembusan angin yang sangat kencang menembus kota itu. Namun anehnya tak ada gelombang air yang menerjang kota. Akibat dari rasa lelah, takut, dan shock kami pun jatuh pingsan.
Saat kami sadar, kami sudah berada di dalam mobil. Kami melihat wajah-wajah mahasisiwa lain yang tampak senang dan seperti tidak terjadi apa-apa. Kami seakan-akan tidak pernah keluar dari mobil ini karena posisi duduk kami masing-masing tidak berubah sedikitpun. Candaan mahasiswa lainpun sama seperti terakhir kali aku melihatnya. Dan kami tidak turun di kota itu. Kami hanya berhenti sebentar disana sebelum menuju menara.
Kami tidak bisa berkata apa-apa seakan-akan semua ini hanya mimpi belaka. Kami melewati kota itu, kami melihat lapangan yang penuh dengan anak-anak yang sedang bermain bola. Bangunan yang pernah kami kunjungi itu tidak terlihat sebuah pabrik, melainkan seperti sebuah penginapan/ motel. Kami melihat beberapa turis asing sedang berjemur dibawah terik matahari.
Mobil yang kami naiki melaju menuju pintu gerbang ke menara. Dan anehnya ada sebuah jalan bebatuan yang mengarah ke menara tersebut. Saat kami sampai di menara, kamipun dikejutkan lagi dengan ukuran bangunan itu sendiri. Diameter menara itu lebih dari 20 meter dan tingginya tak sampai 50 meter. Di dalam menara itu terdapat banyak monitor, teropong raksasa dan beberapa ilmuan barat sedang bekerja disana. Hal yang mencengangkan kami adalah tidak ada lantai beton seluas yang pernah kami lihat di puncak menara.
Ini semua begitu membingungkan. Apakah ini hanya mimpi semata? Namun kenapa mimpi kami berdua sama? Apakah ini suatu pertanda? Pertanda dimana hari pembalasan itu akan tiba...
Inspirated by mydream. Jum’at, 26 Maret 2010
PROFIL PENULIS
Avans Cross Lines lahir di Bandung, 31 Maret 1992. Bagiku mimpi adalah inspirasi terbesarku. Mimpi adalah jembatan yang menghubungkan antara khayalan dan kenyataan dimana aku dapat dengan leluasa menyebrangi garis antara kedua dunia tersebut. Untuk sejenak ikutlah bersamaku dan lihatlah seberapa indah, seram, romantis, lucu, bahagia, maupun menegangkannya jembatan itu.
Fb: Avans ‘Dani Cross Lines Blog: avanscrosslines.blogspot.com
Fb: Avans ‘Dani Cross Lines Blog: avanscrosslines.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar