PURNAMA DI BALIK AWAN
Karya Nur Janna
Adakah keindahan
Sunyi sepinya malam tanpa purnama
Adakah menawannya malam nir sinar purnama
Adakah cerahnya gelap pekat nan kelam nir purnama
Purnama, oh purnama, engkau sang purnama yang cerah
Engkaulah yang dinanti para pecinta nan dirundung duka
Engkaulah penghangat jiwa beku, kaulah yang kunanti
Kutunggu, kubuka jendela hatiku yang tertutup
Tengadahkan hadapku ke hamparan
Langit maha luas
Tiga bulan berlalu sejak terakhir kali kulihat dirinya. Sejak pemecatan dirinya yang menyakitkan. Aku ingat saat itu ia masih asyik bekerja di balik meja kasir. Sebelum akhirnya sang manajer toko kami memanggilnya.
Setiap hari ia selalu berada di posisi yang sama dengan tugas yang sama. Tak pernah nampak kelelahan di rona wajahnya, melainkan senyum ramah kepada setiap pelanggan. Tak nampak tanda-tanda adanya masalah besar dalam hidupnya. Mungkin senyumnyalah yang menjadi salah satu faktor penarik pelanggan untuk selalu kembali ke waralaba tempat kami bekerja.
Ia bukan bidadari. Ia hanyalah perempuan yang terlalu tangguh menghadapi kerasnya hidup. Di tengah keterbatasan ekonomi keluarganya, ialah yang menyangga tiang kehidupan keluarganya. Kadang aku heran, bagaimana mungkin seorang kasir di waralaba seperti itu mampu menyekolahkan adiknya di bangku SMP. Setahuku gaji kasir hanya cukup untuk ongkos dan makan sehari-hari seorang diri saja. Bagaimana mungkin ia mampu?
Karya Nur Janna
Adakah keindahan
Sunyi sepinya malam tanpa purnama
Adakah menawannya malam nir sinar purnama
Adakah cerahnya gelap pekat nan kelam nir purnama
Purnama, oh purnama, engkau sang purnama yang cerah
Engkaulah yang dinanti para pecinta nan dirundung duka
Engkaulah penghangat jiwa beku, kaulah yang kunanti
Kutunggu, kubuka jendela hatiku yang tertutup
Tengadahkan hadapku ke hamparan
Langit maha luas
Tiga bulan berlalu sejak terakhir kali kulihat dirinya. Sejak pemecatan dirinya yang menyakitkan. Aku ingat saat itu ia masih asyik bekerja di balik meja kasir. Sebelum akhirnya sang manajer toko kami memanggilnya.
Setiap hari ia selalu berada di posisi yang sama dengan tugas yang sama. Tak pernah nampak kelelahan di rona wajahnya, melainkan senyum ramah kepada setiap pelanggan. Tak nampak tanda-tanda adanya masalah besar dalam hidupnya. Mungkin senyumnyalah yang menjadi salah satu faktor penarik pelanggan untuk selalu kembali ke waralaba tempat kami bekerja.
Ia bukan bidadari. Ia hanyalah perempuan yang terlalu tangguh menghadapi kerasnya hidup. Di tengah keterbatasan ekonomi keluarganya, ialah yang menyangga tiang kehidupan keluarganya. Kadang aku heran, bagaimana mungkin seorang kasir di waralaba seperti itu mampu menyekolahkan adiknya di bangku SMP. Setahuku gaji kasir hanya cukup untuk ongkos dan makan sehari-hari seorang diri saja. Bagaimana mungkin ia mampu?
Aku saja yang menjadi karyawan senior di waralaba tersebut hanya mampu menghidupi diriku sendiri, bahkan kadang gajiku tak cukup untuk mencukupi kebutuhan pribadi. Seringkali malah, orang tuaku memberi subsidi kepadaku untuk sekadar uang makan dan ongkos menuju tempat kerjaku itu.
Karena itulah, kadang otakku melenceng jauh dan berpikiran negatif tentang Inov, perempuan yang terlalu tangguh itu. Wajah cantiknya dan tubuh seksinya seringkali membuatku membayangkan bahwa mungkin saja penghasilan lain ia dapatkan dengan memanfaatkan kelebihannya itu. Lelaki normal mana yang tak tertarik dengan dirinya.
Sering kucuri-dengar pembicaraan para pelanggan dengan dirinya. Selain dialog standar berkaitan dengan pembayaran barang belanjaan, kadang terselip pertanyaan (baik langsung maupun tersirat) mengenai nomor HP-nya ataupun pin BB-nya. Bagiku itu adalah sebuah pertanda jelas dari ketertarikan seorang lelaki kepada bidadari cantik seperti Inov.
***
Aku bekerja di waralaba ini lebih dahulu daripada Inov. Kurang lebih setelah setahun aku mulai kerja, datanglah Inov mengajukan lamaran. Awalnya lamaran itu didiamkan selama kurang lebih dua minggu karena memang tempatku bekerja ini belum membutuhkan karyawan/karyawati baru. Barulah ketika ada salah satu karyawati yang mengundurkan diri, Inov dipanggil untuk mengikuti tes dan wawancara. Tak butuh waktu lama, beberapa hari kemudian dia diterima kerja dan mulai bertugas khusus sebagai kasir.
Tak banyak yang kuketahui tentang dirinya pada awal dia bekerja. Selain itu, memang aku tidak terlalu peduli dengan urusan orang lain. Bagiku cukup untuk mengetahui bahwa dia adalah rekan kerjaku. Ketidakpedulianku itu tak bertahan terlalu lama hingga suatu sore datanglah seorang anak kecil berseragam SMP yang mengaku sebagai adiknya Inov.
“Mas, mbak Inov-nya ada gak?”
Aku yang kebetulan berada di depan karena sedang membersihkan lantai agak keheranan.
“Mbak Inov?”
“Iya, Mas. Mbak Inov ada gak? Aku mau ketemu dia.”
“Ada di dalam. Tuh, dia di kasir. Emang kamu siapa?”
“Aku adiknya mbak Inov, Mas. Aku mau minta uang.”
“Minta uang? Kok, minta ke Mbak Inov? Uang buat apa?”
“Tadi di sekolah aku disuruh bapak guru beli buku. Kalau gak beli, aku gak boleh ikut ulangan.”
“Ohh… gitu. Kenapa gak minta ke ibu kamu?”
“Kata Mbak Inov, kalau uang jajan aku boleh minta ke ibu, tapi kalau uang untuk yang lain-lain aku gak boleh minta ke ibu. Aku disuruh minta ke Mbak Inov aja.”
“Ohh… gitu. Ya sudah, tuh Mbak Inov-nya. Kamu masuk saja.”
Tak berapa lama kemudian anak kecil itu masuk dan langsung menemui Inov. Aku masih belum bisa melepaskan dialog tadi dari ingatanku. Rasanya ada sesuatu yang ganjil. Hingga akhirnya aku tersadar setelah anak kecil tadi keluar dan berpamitan.
“Mas, makasih ya…. Aku pulang dulu ya, Mas.”
“Oh, iya. Hati-hati ya….”
Sejak itulah aku menjadi “tertarik” untuk mengetahui kehidupan Inov lebih dalam.
***
Suatu ketika aku berkesempatan untuk mengorek informasi langsung darinya. Kebetulan pada hari itu aku mendapat giliran shift yang sama dengannya. Sepulang kerja kuajak Inov untuk makan malam bersama. Jangan bayangkan candle light dinner di restoran yang mewah! Aku hanya mampu mengajaknya untuk makan malam di tukang nasi goreng pinggir jalan. Setelah memesan nasi untuk kami berdua, mulailah aku membuka pembicaraan.
“Nov, kamu ingat gak, waktu adikmu datang minta uang ke kamu?”
“Iya, kenapa?”
“Gak apa-apa kok. Aku cuma penasaran aja sama kamu.”
“Penasaran kenapa? Emang ada yang salah ya, kalau mbak ngasih uang ke adiknya sendiri?”
“Bukan gitu maksudku. Emang orang tua kalian… maaf nih ya sebelumnya… nggak kerja gitu?”
“Penting ya… aku jawab pertanyaan itu?”
Aku terdiam sesaat. Beruntunglah nasi goreng yang kami pesan tadi sudah siap disajikan. Kebekuan sesaat tadi bisa mencair kembali. Setelah nasi goreng terhidang di hadapan kami, mulailah kami menyantapnya. Setelah beberapa suapan, aku mulai membuka obrolan kembali.
“Nov, maaf ya…. Aku gak ada maksud membongkar urusan keluargamu. Aku hanya ingin tahu saja.”
“Mmm…, ya sebenarnya gak apa-apa sih. Cuma aku heran aja, kenapa tiba-tiba kamu ingin tahu urusan keluargaku?”
“Ya, gak apa-apa, Nov. Kalaupun kamu gak mau cerita, gak apa-apa kok.”
Kami pun kembali beku. Di tengah kebekuan itu, kami hanya bisa menyantap nasi goreng kami masing-masing. Entah rasanya bagi Inov, tapi bagiku nasi goreng itu terasa hambar, hambar sekali.
Beberapa waktu kemudian nasi goreng yang terhidang untuk kami telah tandas karena memang kami berdua lapar. Setelah membayar nasi goreng untuk kami berdua, aku bermaksud mengajaknya pulang. Tapi, ternyata Inov menahanku.
“Dika, tunggu.”
“Kenapa? Nasi gorengnya sudah dibayar kok. Ayo kita pulang!”
“Tunggu, aku mau ngomong sebentar.”
Aku pun menurut saja. Kami kembali duduk di tempat yang sama. Kebetulan pada saat itu pelanggan nasi goreng tidak terlalu banyak. Jadi, kami bisa dengan leluasa melanjutkan obrolan.
“Dika…. Aku mau cerita, tapi janji ya… kamu gak akan cerita ke orang lain?”
“Iya, aku janji.”
“Sebenarnya kedua orang tuaku sudah tidak bekerja lagi. Ibuku kadang hanya menjadi tukang cuci di rumah tetangga yang kaya. Itupun tidak setiap hari. Bapakku hanya pengumpul barang-barang bekas, plastik, dan kardus. Jika sudah banyak barulah dia bawa ke tukang rongsok untuk dijual. Seminggu sekali biasanya dia bawa semua barang bekas yang dia kumpulkan ke tukang rongsok. Itupun paling hanya dapat 5 sampai 7 kilo saja. Uang yang didapat bapakku paling banyak 20 sampai 30 ribu saja. Hanya cukup untuk makan kami berempat. Seringkali kurang.”
Inov menghela nafas sesaat. Kurasakan betapa beratnya helaan nafas Inov. Aku terdiam. Tak mampu berkata apa-apa. Kemudian sambil sesekali menatap hampa gelapnya langit tanpa purnama, Inov kembali melanjutkan ceritanya.
“Jadi, orang tuaku hanya sanggup memberi uang jajan seadanya. Jika ada keperluan lainnya untuk adikku, akulah yang harus memberinya uang. Aku berusaha sekuat tenagaku agar adikku tidak sebodoh mbaknya. Aku hanya lulusan SMP. Ijazah SMA yang kumiliki hanyalah ijazah Kejar Paket C. Beruntung aku bisa diterima kerja dengan ijazah Kejar Paket C itu.”
Inov kembali menghela nafas yang nampaknya semakin berat. Di sudut matanya aku mulai melihat adanya tetes bening yang mengintip siap untuk meluncur deras ke pipinya yang mulus. Aku beku. Tak mampu mengeluarkan suara. Dinginnya malam kurasakan tak sedingin tubuhku yang kaku tak berdaya. Inov kembali melanjutkan kisahnya.
“Aku bodoh, hanya lulusan SMP. Aku tak ingin adikku sepertiku. Aku ingin dia terus sekolah hingga SMA. Bahkan kalau bisa dan aku mampu, aku ingin dia kuliah mendapatkan gelar sarjana.”
Tetes bening yang tadi mengintip sudah mulai mengalir perlahan. Aku masih membeku.
“Sekuatku, semampuku, akan aku usahakan supaya adikku bisa terus sekolah. Aku tak peduli kerja siang-malam. Aku tak peduli betapa lelahnya aku. Yang aku pikirkan hanya adikku.”
Tetes bening lainnya mulai mengikuti aliran yang sama. Kurasa sebentar lagi akan semakin deras. Aku tersadar. Aku tak boleh membiarkannya menangis di tukang nasi goreng pinggir jalan ini. Aku harus segera mengajaknya pulang.
“Nov, sudah cukup aku dengar ceritamu. Ayo, kita pulang! Sudah malam. Besok kan kita masuk kerja lagi.”
Tanpa banyak kata lagi, kami pun akhirnya pulang. Aku antar dia ke rumahnya yang kebetulan tak terlalu jauh. Setelah mengantarnya pulang, terngiang kembali dialog di tukang nasi goreng itu. Otakku berputar, tapi kurasa putarannya tidak beraturan, mungkin lebih tepatnya absurd.
***
Beberapa minggu kemudian, ketika kami sedang melayani pelanggan seperti biasanya, Inov dipanggil oleh manajer toko kami. Aku tak tahu apa alasannya, dan juga tak mau tahu. Sikap acuh tak acuhku masih lekat. Tak sampai setengah jam Inov sudah keluar dari ruangan manajer. Aku tetap diam tak berusaha bertanya kepadanya.
Di luar dugaanku, Inov berkata kepadaku bahwa ia ditawari pekerjaan baru oleh manajer kami. Namun, lokasinya agak jauh. Setengah jam perjalanan dari waralaba yang sekarang menjadi tempat kerja kami. Katanya sih, gajinya jauh lebih besar, hampir dua kali lipat malah.
Aku tidak memberi saran apapun. Aku rasa dia sudah bisa menentukan pilihan sendiri. Tapi, rasa penaranku muncul.
“Terus gimana, Nov? Kamu mau?”
“Aku bingung, Dik. Gajinya memang lebih besar, tapi terlalu jauh buatku. Aku sudah nyaman berada di sini, dekat dengan rumah.”
“Ya… itu sih terserah kamu.”
Pembicaraan terhenti sampai di situ dan kami pun melanjutkan pekerjaan kami melayani pelanggan dengan penuh senyum. Tentu saja senyum Inov lebih indah daripada senyumku.
Beberapa waktu berlalu dan Inov tetap pada keputusannya untuk bertahan di waralaba ini, yang dekat dengan tempat tinggalnya.
***
Pada suatu malam sebelum kami pulang, kebetulan hari itu kembali aku mendapat jadwal yang sama dengannya, kami melakukan penghitungan akhir sebelum menyerahkan toko kepada karyawan lain yang melanjutkan shift kami.
Penghitungan uang cash dan laporan barang terjual sudah biasa kami lakukan dan biasanya tidak ada masalah berarti. Hanya sedikit selisih, yang tak lebih dari 5000 rupiah, sudah biasa kami alami. Tapi, malam ini kami kaget bukan kepalang. Selisih antara uang cash dan laporan barang terjual ternyata sangat besar, mencapai hampir 300 ribu rupiah. Tentu saja itu di luar perkiraan kami, khususnya Inov yang berada di bagian kasir.
Penghitungan ulang kami lakukan hingga 3 kali dan akhirnya kami menyerah karena memang selisihnya tetap sebesar itu. Kami berdua heran. Adakah yang mengambil uang cash di meja kasir? Ataukah ini hanya kesalahan penghitungan saja? Inov terlihat sangat terpukul karena baru kali ini selisihnya sebesar itu. Padahal selama bekerja ia tak pernah meninggalkan meja kasir. Kalaupun ada keperluan ke belakang, ia selalu menitipkannya kepada karyawan lain, termasuk aku. Malam itu kami bingung.
Sampai akhirnya karyawan lain memberi jalan keluar, yang bagiku sebenarnya bukanlah jalan keluar. Ia meminta kami untuk membuat laporan khusus bahwa malam ini terjadi selisih sebesar itu dengan alasan yang belum diketahui. Ia menyarankan bahwa besok barulah kami mengecek ulang laporan penjualan.
Membuat laporan khusus memang mudah, tapi itu artinya kami harus menyerahkan laporan kepada manajer dan arti lanjutannya adalah kami harus siap mendapatkan SP 1. Di tengah kebingungan yang semakin tak menentu, akupun meng-iya-kan saran teman kami itu. Inov pun akhirnya kuajak membuat laporan khusus itu. Setelah itu kami pulang dengan kekhawatiran mengenai nasib pekerjaan kami berdua.
***
Keesokan harinya, seperti yang telah kami duga, kami berdua dipanggil menghadap manajer. Tanpa banyak penjelasan lagi, kami akhirnya mendapat sanksi. Aku mendapat SP 1. Kupikir Inov pun akan mendapatkan hal yang sama. Tapi, ternyata sanksi untuk Inov lebih berat. Sang manajer beralasan bahwa karena selisih ini adalah tanggung jawab Inov sebagai kasir, maka tidak ada toleransi untuk Inov. Ia dipecat!
Aku tak percaya dengan apa yang kudengar. Inov coba membela diri. Akupun berusaha membelanya. Tapi, manajer kami tetap bertahan dengan keputusannya. Kesalahan Inov tak dapat ditoleransi lagi. Inov harus meninggalkan pekerjaannya.
Di sudut matanya tak kulihat tetes bening yang mengintip dan siap meluncur. Aku heran, betapa tegarnya gadis ini. Beberapa saat kemudian baru kusadari, ternyata tetes-tetes bening itu sudah meluncur deras sejak tadi, membasahi pipinya yang lembut dan halus. Terisak ia meninggalkan ruangan. Bahkan tak ada kata pamit terucap dari bibirnya kepada sang manajer.
Inov dipecat tanpa pesangon. Ia hanya mendapatkan gajinya bulan ini. Aku terdiam. Aku beku melihat Inov pergi terisak meninggalkan waralaba ini. Kurasa Inov akan menyimpan benci yang teramat sangat kepada manajer kami karena ia tak diberi kesempatan untuk membela diri lebih jauh lagi. Aku merasakan kebencian itu.
Tak ada yang terlintas di otakku selain bayangan adiknya yang berseragam SMP, dengan wajah sendu. Aku beku.
***
Beberapa hari setelah pemecatan itu, aku coba menghubungi Inov. Aku menanyakan kabarnya dan mencari tahu apakah ia sudah bekerja kembali. Sambil terisak ia mengatakan bahwa ia sekarang hanya diam di rumah. Ia sudah melamar ke beberapa tempat tapi belum mendapatkan jawaban.
***
Sebulan kemudian aku mendapatkan sms dari Inov. Ia mengatakan bahwa dirinya sudah mendapat kerja. Gajinya lebih besar, lebih dari dua kali lipat dibandingkan gajinya saat menjadi kasir di waralaba tempatku bekerja. Tak banyak yang kusampaikan padanya selain ucapan selamat dan rasa syukurku karena ia telah kembali bekerja. Kembali melintas di otakku adiknya yang berseragam SMP, tapi kali ini dengan senyum yang merekah lebar.
Hari demi hari berlalu. Minggu demi minggu pun demikian. Tak terasa sudah tiga bulan Inov bekerja di tempatnya yang baru. Tiga bulan persis setelah pemecatan dirinya.
Pada suatu hari Inov meneleponku.
“Dik, aku merasa ada yang aneh.”
“Aneh? Apanya yang aneh? Kamu sudah enak bekerja di tempat yang baru. Gajimu lebih besar. Apa yang aneh?”
“Justru itu, Dik. Aku merasa semuanya terlalu mudah dan nyaman. Gajiku besar. Lebih dari cukup untuk uang makanku sendiri. Aku bisa memberi kepada orang tuaku lebih banyak dari sebelumnya. Keperluan sekolah adikku bisa kupenuhi semua. Bahkan aku masih bisa menyisihkan uang untuk menabung. Semuanya aneh, Dik. Semuanya terlalu mudah.”
Aku terdiam. Bukan iri padanya, tapi aku bersyukur bahwa ternyata Inov mendapatkan balasan kehidupan yang jauh lebih baik akibat pemecatan beberapa bulan lalu.
“Ya, sudah…. Kamu bersyukur saja telah mendapatkan kehidupan yang sekarang ini. Bekerjalah sebaik mungkin supaya kamu tidak dipecat lagi.” Aku berpesan setengah bercanda.
Pembicaraan itupun berakhir. Aku merasa Inov masih keheranan dengan kehidupannya yang sekarang, yang jauh lebih baik dari sebelumnya.
***
Hari demi hari terus berlalu. Tapi, entah mengapa keheranan Inov membayangi pikiranku. Keanehan yang dirasakan Inov cukup beralasan. Sebelumnya ia bekerja sebagai kasir dengan gaji yang pas-pasan. Kemudian ia dipecat tanpa pesangon sepeser pun. Sekarang ia bekerja dan mendapatkan gaji yang lebih dari cukup. Aneh memang….
Beberapa hari kemudian aku terdorong untuk mencari tahu masalah pemecatan Inov 3 bulan lalu kepada beberapa karyawan lain. Kasus itu memang sudah dianggap selesai dengan dipecatnya Inov. Akupun sebenarnya sudah melupakan kasus itu. Tapi, telepon dari Inov menyegarkan ingatanku mengenai kejadian itu. Seingatku pada malam itu memang uang cash yang ada di meja kasir sudah sesuai dengan laporan penjualan barang. Tak ada selisih yang terlalu besar. Tapi mengapa pada saat penghitungan akhir selisihnya menjadi sebesar itu? Otakku berputar tanpa poros yang pasti. Absurd.
Beberapa hari selanjutnya aku terus mencari informasi mengenai beberapa keanehan yang semakin kurasakan. Karyawan lain mengatakan kepadaku bahwa sebaiknya aku melupakan semua peristiwa itu. Toh, semuanya sudah berlalu dan Inov sudah hidup lebih baik. Mereka benar, tapi otakku masih terus berputar pada poros yang tak pasti.
***
Pada suatu malam yang gelap dan dingin seperti biasanya, aku bersiap pulang setelah menyelesaikan urusan pekerjaanku. Tak disangka manajer toko memanggilku.
“Dika, tunggu!”
“Ya, Pak. Ada apa?”
“Tunggu bapak. Ada yang ingin bapak bicarakan.”
“Semua pekerjaan sudah beres, Pak. Sudah rapi.”
“Bukan masalah pekerjaan, tunggu….”
Aku terdiam dan menunggu manajerku itu. Kemudian ia mengajakku ke sebuah kedai kopi yang berada di udara terbuka. Kebetulan malam itu cukup cerah walaupun gelap membayangi. Sebenarnya ada purnama di atas sana, tapi awan tebal menghalangi sinar indahnya.
Manajerku memesan dua gelas kopi kental untuk kami berdua. Kemudian ia mulai menyulut rokoknya. Pembicaraan pun di mulai.
“Dika…. Coba kau lihat ke atas, ke langit luas.”
“Iya, Pak. Kenapa? Cuma awan gelap dan pekat, Pak. Gak ada apa-apa.”
“Iya, memang hanya awan gelap dan pekat. Tapi, kau tahu kan sebenarnya di balik awan itu ada purnama yang cerah bersinar?”
“Iya, Pak. Memang sepertinya ada purnama yang bersinar indah. Memang kenapa, Pak?”
“Bapak tahu, beberapa hari belakangan ini kamu mencari informasi mengenai kejadian pemecatan Inov yang dulu itu. Kamu masih penasaran? Belum dapat jawaban?”
“Iya, Pak. Saya masih penasaran. Bapak tahu kejadian sebenarnya?”
Akupun kemudian ikut menyulut rokok untuk menemani hangatnya kopi kental yang sudah tersaji sejak tadi. Pembicaraan kembali berlanjut.
“Kamu ingat kalau bapak pernah memanggil Inov dan menawarkan pekerjaan lain kepadanya?”
“Iya, Pak, saya ingat betul.”
“Kamu ingat Inov menolak pekerjaan itu dengan alasan terlalu jauh dari rumahnya?”
“Iya, Pak, saya ingat.”
“Kamu tahu kalau Inov hanya lulusan SMP? Kamu tahu Inov melamar kerja di waralaba ini menggunakan ijazah Kejar Paket C?”
“Iya, Pak. Inov pernah cerita kepada saya.”
“Dika…. Jujur saja, sejak awal Inov melamar sebenarnya Inov sudah ditolak. Inov sebenarnya sudah tidak masuk kualifikasi administrasi karena syarat minimal adalah lulusan SMA dan memiliki ijazah SMA. Bukan ijazah Kejar Paket C. Memang kedua ijazah tersebut setara, tapi peraturan dari kantor pusat menyatakan bahwa yang bisa diterima hanyalah lulusan SMA yang memiliki ijazah SMA.”
“Lalu…?”
“Iya, sebenarnya Inov sudah ditolak sejak awal. Tapi, ketika bapak membaca surat lamarannya sekali lagi, di bagian bawah surat itu tertulis kata-kata: Saya bekerja bukan untuk diri saya. Saya bekerja untuk menyekolahkan adik saya yang masih SMP. Saya ingin agar ia tidak menjadi bodoh seperti mbaknya ini yang hanya lulusan SMP. Saya ingin ia bisa melanjutkan hingga SMA, bahkan kalau bisa hingga sarjana.”
Aku terdiam. Aku beku. Aku kemudian teringat bahwa Inov pernah menceritakan hal itu. Manajerku kembali melanjutkan ceritanya.
“Bapak tidak menyadari, ketika membaca surat lamaran itu, air mata bapak menetes membasahi surat lamaran Inov. Akhirnya bapak putuskan sedikit melanggar aturan dari kantor pusat. Bapak putuskan memanggil Inov untuk wawancara.”
“Akhirnya Bapak terima Inov kerja, kan?”
“Iya, setelah mendengar penjelasan langsung dari Inov, bapak putuskan untuk menerimanya bekerja.”
Aku sedikit tercerahkan. Putaran otakku mulai menemukan porosnya. Ternyata….
“Lalu, mengapa Inov dipecat, Pak? Bukankah Bapak yang menerimanya bekerja karena mengetahui kondisinya itu?”
“Iya, memang benar. Bapak yang menerimanya bekerja dan bapak pula yang memecatnya.”
Sambil menghisap rokoknya, manajerku itu kembali melanjutkan ceritanya.
“Setelah beberapa waktu Inov bekerja, bapak merasa Inov adalah pekerja yang baik dan seharusnya mendapat penghasilan lebih besar. Tapi, masalahnya adalah di toko kita ini ada batasan maksimal gaji yang bisa didapatkan oleh karyawan seperti kamu dan Inov. Bapak tidak mungkin menggaji Inov lebih besar daripada ketentuan dari kantor pusat. Oleh karena itulah, bapak sempat menawarinya untuk pindah bekerja.”
“Tapi, Inov tidak mau ya, Pak. Karena ia tidak mau bekerja jauh dari rumahnya.”
“Ya, itulah masalahnya. Inov tidak mau menerima pekerjaan baru. Hingga akhirnya bapak membuat skenario pemecatan itu. Bapak minta kamu tidak salah paham dengan bapak. Bapak sendirilah yang membuat Inov dipecat. Hanya dengan cara itulah Inov bisa dipaksa keluar. Bapak hanya ingin dia bekerja di tempat lain yang penghasilannya lebih besar.”
Tak terasa jari-jariku mengepal erat. Jika tidak kutahan emosi dan tidak kuingat siapa yang berada di hadapanku ini, mungkin bogem mentah sudah melayang ke wajah tanpa dosa itu.
“Dika, bapak tahu kamu emosi. Tapi, tahukah kamu, sekarang Inov bekerja di mana? Siapakah yang memanggilnya untuk bekerja?”
“Bapak???”
“Iya, kantor tempat Inov bekerja sekarang adalah milik orang tua bapak. Bapaklah yang mengajukan rekomendasi agar Inov dipanggil bekerja di sana.”
Aku terdiam, beku, sedingin malam yang udaranya kurasa menusuk tulangku hingga ke sumsum terdalam. Ku tengadahkan wajahku ke langit. Di sana memang ada purnama yang bersinar cerah. Tapi, terkadang ia tak perlu menunjukkan dirinya dan lebih memilih bersembunyi di balik awan. Kini kurasakan bahwa otakku telah berputar normal pada porosnya.
##TAMAT##
(Abank Juki, Cikarang, Jumat, 13 April 2012, 21.28 WIB)
Karena itulah, kadang otakku melenceng jauh dan berpikiran negatif tentang Inov, perempuan yang terlalu tangguh itu. Wajah cantiknya dan tubuh seksinya seringkali membuatku membayangkan bahwa mungkin saja penghasilan lain ia dapatkan dengan memanfaatkan kelebihannya itu. Lelaki normal mana yang tak tertarik dengan dirinya.
Sering kucuri-dengar pembicaraan para pelanggan dengan dirinya. Selain dialog standar berkaitan dengan pembayaran barang belanjaan, kadang terselip pertanyaan (baik langsung maupun tersirat) mengenai nomor HP-nya ataupun pin BB-nya. Bagiku itu adalah sebuah pertanda jelas dari ketertarikan seorang lelaki kepada bidadari cantik seperti Inov.
***
Aku bekerja di waralaba ini lebih dahulu daripada Inov. Kurang lebih setelah setahun aku mulai kerja, datanglah Inov mengajukan lamaran. Awalnya lamaran itu didiamkan selama kurang lebih dua minggu karena memang tempatku bekerja ini belum membutuhkan karyawan/karyawati baru. Barulah ketika ada salah satu karyawati yang mengundurkan diri, Inov dipanggil untuk mengikuti tes dan wawancara. Tak butuh waktu lama, beberapa hari kemudian dia diterima kerja dan mulai bertugas khusus sebagai kasir.
Tak banyak yang kuketahui tentang dirinya pada awal dia bekerja. Selain itu, memang aku tidak terlalu peduli dengan urusan orang lain. Bagiku cukup untuk mengetahui bahwa dia adalah rekan kerjaku. Ketidakpedulianku itu tak bertahan terlalu lama hingga suatu sore datanglah seorang anak kecil berseragam SMP yang mengaku sebagai adiknya Inov.
“Mas, mbak Inov-nya ada gak?”
Aku yang kebetulan berada di depan karena sedang membersihkan lantai agak keheranan.
“Mbak Inov?”
“Iya, Mas. Mbak Inov ada gak? Aku mau ketemu dia.”
“Ada di dalam. Tuh, dia di kasir. Emang kamu siapa?”
“Aku adiknya mbak Inov, Mas. Aku mau minta uang.”
“Minta uang? Kok, minta ke Mbak Inov? Uang buat apa?”
“Tadi di sekolah aku disuruh bapak guru beli buku. Kalau gak beli, aku gak boleh ikut ulangan.”
“Ohh… gitu. Kenapa gak minta ke ibu kamu?”
“Kata Mbak Inov, kalau uang jajan aku boleh minta ke ibu, tapi kalau uang untuk yang lain-lain aku gak boleh minta ke ibu. Aku disuruh minta ke Mbak Inov aja.”
“Ohh… gitu. Ya sudah, tuh Mbak Inov-nya. Kamu masuk saja.”
Tak berapa lama kemudian anak kecil itu masuk dan langsung menemui Inov. Aku masih belum bisa melepaskan dialog tadi dari ingatanku. Rasanya ada sesuatu yang ganjil. Hingga akhirnya aku tersadar setelah anak kecil tadi keluar dan berpamitan.
“Mas, makasih ya…. Aku pulang dulu ya, Mas.”
“Oh, iya. Hati-hati ya….”
Sejak itulah aku menjadi “tertarik” untuk mengetahui kehidupan Inov lebih dalam.
***
Suatu ketika aku berkesempatan untuk mengorek informasi langsung darinya. Kebetulan pada hari itu aku mendapat giliran shift yang sama dengannya. Sepulang kerja kuajak Inov untuk makan malam bersama. Jangan bayangkan candle light dinner di restoran yang mewah! Aku hanya mampu mengajaknya untuk makan malam di tukang nasi goreng pinggir jalan. Setelah memesan nasi untuk kami berdua, mulailah aku membuka pembicaraan.
“Nov, kamu ingat gak, waktu adikmu datang minta uang ke kamu?”
“Iya, kenapa?”
“Gak apa-apa kok. Aku cuma penasaran aja sama kamu.”
“Penasaran kenapa? Emang ada yang salah ya, kalau mbak ngasih uang ke adiknya sendiri?”
“Bukan gitu maksudku. Emang orang tua kalian… maaf nih ya sebelumnya… nggak kerja gitu?”
“Penting ya… aku jawab pertanyaan itu?”
Aku terdiam sesaat. Beruntunglah nasi goreng yang kami pesan tadi sudah siap disajikan. Kebekuan sesaat tadi bisa mencair kembali. Setelah nasi goreng terhidang di hadapan kami, mulailah kami menyantapnya. Setelah beberapa suapan, aku mulai membuka obrolan kembali.
“Nov, maaf ya…. Aku gak ada maksud membongkar urusan keluargamu. Aku hanya ingin tahu saja.”
“Mmm…, ya sebenarnya gak apa-apa sih. Cuma aku heran aja, kenapa tiba-tiba kamu ingin tahu urusan keluargaku?”
“Ya, gak apa-apa, Nov. Kalaupun kamu gak mau cerita, gak apa-apa kok.”
Kami pun kembali beku. Di tengah kebekuan itu, kami hanya bisa menyantap nasi goreng kami masing-masing. Entah rasanya bagi Inov, tapi bagiku nasi goreng itu terasa hambar, hambar sekali.
Beberapa waktu kemudian nasi goreng yang terhidang untuk kami telah tandas karena memang kami berdua lapar. Setelah membayar nasi goreng untuk kami berdua, aku bermaksud mengajaknya pulang. Tapi, ternyata Inov menahanku.
“Dika, tunggu.”
“Kenapa? Nasi gorengnya sudah dibayar kok. Ayo kita pulang!”
“Tunggu, aku mau ngomong sebentar.”
Aku pun menurut saja. Kami kembali duduk di tempat yang sama. Kebetulan pada saat itu pelanggan nasi goreng tidak terlalu banyak. Jadi, kami bisa dengan leluasa melanjutkan obrolan.
“Dika…. Aku mau cerita, tapi janji ya… kamu gak akan cerita ke orang lain?”
“Iya, aku janji.”
“Sebenarnya kedua orang tuaku sudah tidak bekerja lagi. Ibuku kadang hanya menjadi tukang cuci di rumah tetangga yang kaya. Itupun tidak setiap hari. Bapakku hanya pengumpul barang-barang bekas, plastik, dan kardus. Jika sudah banyak barulah dia bawa ke tukang rongsok untuk dijual. Seminggu sekali biasanya dia bawa semua barang bekas yang dia kumpulkan ke tukang rongsok. Itupun paling hanya dapat 5 sampai 7 kilo saja. Uang yang didapat bapakku paling banyak 20 sampai 30 ribu saja. Hanya cukup untuk makan kami berempat. Seringkali kurang.”
Inov menghela nafas sesaat. Kurasakan betapa beratnya helaan nafas Inov. Aku terdiam. Tak mampu berkata apa-apa. Kemudian sambil sesekali menatap hampa gelapnya langit tanpa purnama, Inov kembali melanjutkan ceritanya.
“Jadi, orang tuaku hanya sanggup memberi uang jajan seadanya. Jika ada keperluan lainnya untuk adikku, akulah yang harus memberinya uang. Aku berusaha sekuat tenagaku agar adikku tidak sebodoh mbaknya. Aku hanya lulusan SMP. Ijazah SMA yang kumiliki hanyalah ijazah Kejar Paket C. Beruntung aku bisa diterima kerja dengan ijazah Kejar Paket C itu.”
Inov kembali menghela nafas yang nampaknya semakin berat. Di sudut matanya aku mulai melihat adanya tetes bening yang mengintip siap untuk meluncur deras ke pipinya yang mulus. Aku beku. Tak mampu mengeluarkan suara. Dinginnya malam kurasakan tak sedingin tubuhku yang kaku tak berdaya. Inov kembali melanjutkan kisahnya.
“Aku bodoh, hanya lulusan SMP. Aku tak ingin adikku sepertiku. Aku ingin dia terus sekolah hingga SMA. Bahkan kalau bisa dan aku mampu, aku ingin dia kuliah mendapatkan gelar sarjana.”
Tetes bening yang tadi mengintip sudah mulai mengalir perlahan. Aku masih membeku.
“Sekuatku, semampuku, akan aku usahakan supaya adikku bisa terus sekolah. Aku tak peduli kerja siang-malam. Aku tak peduli betapa lelahnya aku. Yang aku pikirkan hanya adikku.”
Tetes bening lainnya mulai mengikuti aliran yang sama. Kurasa sebentar lagi akan semakin deras. Aku tersadar. Aku tak boleh membiarkannya menangis di tukang nasi goreng pinggir jalan ini. Aku harus segera mengajaknya pulang.
“Nov, sudah cukup aku dengar ceritamu. Ayo, kita pulang! Sudah malam. Besok kan kita masuk kerja lagi.”
Tanpa banyak kata lagi, kami pun akhirnya pulang. Aku antar dia ke rumahnya yang kebetulan tak terlalu jauh. Setelah mengantarnya pulang, terngiang kembali dialog di tukang nasi goreng itu. Otakku berputar, tapi kurasa putarannya tidak beraturan, mungkin lebih tepatnya absurd.
***
Beberapa minggu kemudian, ketika kami sedang melayani pelanggan seperti biasanya, Inov dipanggil oleh manajer toko kami. Aku tak tahu apa alasannya, dan juga tak mau tahu. Sikap acuh tak acuhku masih lekat. Tak sampai setengah jam Inov sudah keluar dari ruangan manajer. Aku tetap diam tak berusaha bertanya kepadanya.
Di luar dugaanku, Inov berkata kepadaku bahwa ia ditawari pekerjaan baru oleh manajer kami. Namun, lokasinya agak jauh. Setengah jam perjalanan dari waralaba yang sekarang menjadi tempat kerja kami. Katanya sih, gajinya jauh lebih besar, hampir dua kali lipat malah.
Aku tidak memberi saran apapun. Aku rasa dia sudah bisa menentukan pilihan sendiri. Tapi, rasa penaranku muncul.
“Terus gimana, Nov? Kamu mau?”
“Aku bingung, Dik. Gajinya memang lebih besar, tapi terlalu jauh buatku. Aku sudah nyaman berada di sini, dekat dengan rumah.”
“Ya… itu sih terserah kamu.”
Pembicaraan terhenti sampai di situ dan kami pun melanjutkan pekerjaan kami melayani pelanggan dengan penuh senyum. Tentu saja senyum Inov lebih indah daripada senyumku.
Beberapa waktu berlalu dan Inov tetap pada keputusannya untuk bertahan di waralaba ini, yang dekat dengan tempat tinggalnya.
***
Pada suatu malam sebelum kami pulang, kebetulan hari itu kembali aku mendapat jadwal yang sama dengannya, kami melakukan penghitungan akhir sebelum menyerahkan toko kepada karyawan lain yang melanjutkan shift kami.
Penghitungan uang cash dan laporan barang terjual sudah biasa kami lakukan dan biasanya tidak ada masalah berarti. Hanya sedikit selisih, yang tak lebih dari 5000 rupiah, sudah biasa kami alami. Tapi, malam ini kami kaget bukan kepalang. Selisih antara uang cash dan laporan barang terjual ternyata sangat besar, mencapai hampir 300 ribu rupiah. Tentu saja itu di luar perkiraan kami, khususnya Inov yang berada di bagian kasir.
Penghitungan ulang kami lakukan hingga 3 kali dan akhirnya kami menyerah karena memang selisihnya tetap sebesar itu. Kami berdua heran. Adakah yang mengambil uang cash di meja kasir? Ataukah ini hanya kesalahan penghitungan saja? Inov terlihat sangat terpukul karena baru kali ini selisihnya sebesar itu. Padahal selama bekerja ia tak pernah meninggalkan meja kasir. Kalaupun ada keperluan ke belakang, ia selalu menitipkannya kepada karyawan lain, termasuk aku. Malam itu kami bingung.
Sampai akhirnya karyawan lain memberi jalan keluar, yang bagiku sebenarnya bukanlah jalan keluar. Ia meminta kami untuk membuat laporan khusus bahwa malam ini terjadi selisih sebesar itu dengan alasan yang belum diketahui. Ia menyarankan bahwa besok barulah kami mengecek ulang laporan penjualan.
Membuat laporan khusus memang mudah, tapi itu artinya kami harus menyerahkan laporan kepada manajer dan arti lanjutannya adalah kami harus siap mendapatkan SP 1. Di tengah kebingungan yang semakin tak menentu, akupun meng-iya-kan saran teman kami itu. Inov pun akhirnya kuajak membuat laporan khusus itu. Setelah itu kami pulang dengan kekhawatiran mengenai nasib pekerjaan kami berdua.
***
Keesokan harinya, seperti yang telah kami duga, kami berdua dipanggil menghadap manajer. Tanpa banyak penjelasan lagi, kami akhirnya mendapat sanksi. Aku mendapat SP 1. Kupikir Inov pun akan mendapatkan hal yang sama. Tapi, ternyata sanksi untuk Inov lebih berat. Sang manajer beralasan bahwa karena selisih ini adalah tanggung jawab Inov sebagai kasir, maka tidak ada toleransi untuk Inov. Ia dipecat!
Aku tak percaya dengan apa yang kudengar. Inov coba membela diri. Akupun berusaha membelanya. Tapi, manajer kami tetap bertahan dengan keputusannya. Kesalahan Inov tak dapat ditoleransi lagi. Inov harus meninggalkan pekerjaannya.
Di sudut matanya tak kulihat tetes bening yang mengintip dan siap meluncur. Aku heran, betapa tegarnya gadis ini. Beberapa saat kemudian baru kusadari, ternyata tetes-tetes bening itu sudah meluncur deras sejak tadi, membasahi pipinya yang lembut dan halus. Terisak ia meninggalkan ruangan. Bahkan tak ada kata pamit terucap dari bibirnya kepada sang manajer.
Inov dipecat tanpa pesangon. Ia hanya mendapatkan gajinya bulan ini. Aku terdiam. Aku beku melihat Inov pergi terisak meninggalkan waralaba ini. Kurasa Inov akan menyimpan benci yang teramat sangat kepada manajer kami karena ia tak diberi kesempatan untuk membela diri lebih jauh lagi. Aku merasakan kebencian itu.
Tak ada yang terlintas di otakku selain bayangan adiknya yang berseragam SMP, dengan wajah sendu. Aku beku.
***
Beberapa hari setelah pemecatan itu, aku coba menghubungi Inov. Aku menanyakan kabarnya dan mencari tahu apakah ia sudah bekerja kembali. Sambil terisak ia mengatakan bahwa ia sekarang hanya diam di rumah. Ia sudah melamar ke beberapa tempat tapi belum mendapatkan jawaban.
***
Sebulan kemudian aku mendapatkan sms dari Inov. Ia mengatakan bahwa dirinya sudah mendapat kerja. Gajinya lebih besar, lebih dari dua kali lipat dibandingkan gajinya saat menjadi kasir di waralaba tempatku bekerja. Tak banyak yang kusampaikan padanya selain ucapan selamat dan rasa syukurku karena ia telah kembali bekerja. Kembali melintas di otakku adiknya yang berseragam SMP, tapi kali ini dengan senyum yang merekah lebar.
Hari demi hari berlalu. Minggu demi minggu pun demikian. Tak terasa sudah tiga bulan Inov bekerja di tempatnya yang baru. Tiga bulan persis setelah pemecatan dirinya.
Pada suatu hari Inov meneleponku.
“Dik, aku merasa ada yang aneh.”
“Aneh? Apanya yang aneh? Kamu sudah enak bekerja di tempat yang baru. Gajimu lebih besar. Apa yang aneh?”
“Justru itu, Dik. Aku merasa semuanya terlalu mudah dan nyaman. Gajiku besar. Lebih dari cukup untuk uang makanku sendiri. Aku bisa memberi kepada orang tuaku lebih banyak dari sebelumnya. Keperluan sekolah adikku bisa kupenuhi semua. Bahkan aku masih bisa menyisihkan uang untuk menabung. Semuanya aneh, Dik. Semuanya terlalu mudah.”
Aku terdiam. Bukan iri padanya, tapi aku bersyukur bahwa ternyata Inov mendapatkan balasan kehidupan yang jauh lebih baik akibat pemecatan beberapa bulan lalu.
“Ya, sudah…. Kamu bersyukur saja telah mendapatkan kehidupan yang sekarang ini. Bekerjalah sebaik mungkin supaya kamu tidak dipecat lagi.” Aku berpesan setengah bercanda.
Pembicaraan itupun berakhir. Aku merasa Inov masih keheranan dengan kehidupannya yang sekarang, yang jauh lebih baik dari sebelumnya.
***
Hari demi hari terus berlalu. Tapi, entah mengapa keheranan Inov membayangi pikiranku. Keanehan yang dirasakan Inov cukup beralasan. Sebelumnya ia bekerja sebagai kasir dengan gaji yang pas-pasan. Kemudian ia dipecat tanpa pesangon sepeser pun. Sekarang ia bekerja dan mendapatkan gaji yang lebih dari cukup. Aneh memang….
Beberapa hari kemudian aku terdorong untuk mencari tahu masalah pemecatan Inov 3 bulan lalu kepada beberapa karyawan lain. Kasus itu memang sudah dianggap selesai dengan dipecatnya Inov. Akupun sebenarnya sudah melupakan kasus itu. Tapi, telepon dari Inov menyegarkan ingatanku mengenai kejadian itu. Seingatku pada malam itu memang uang cash yang ada di meja kasir sudah sesuai dengan laporan penjualan barang. Tak ada selisih yang terlalu besar. Tapi mengapa pada saat penghitungan akhir selisihnya menjadi sebesar itu? Otakku berputar tanpa poros yang pasti. Absurd.
Beberapa hari selanjutnya aku terus mencari informasi mengenai beberapa keanehan yang semakin kurasakan. Karyawan lain mengatakan kepadaku bahwa sebaiknya aku melupakan semua peristiwa itu. Toh, semuanya sudah berlalu dan Inov sudah hidup lebih baik. Mereka benar, tapi otakku masih terus berputar pada poros yang tak pasti.
***
Pada suatu malam yang gelap dan dingin seperti biasanya, aku bersiap pulang setelah menyelesaikan urusan pekerjaanku. Tak disangka manajer toko memanggilku.
“Dika, tunggu!”
“Ya, Pak. Ada apa?”
“Tunggu bapak. Ada yang ingin bapak bicarakan.”
“Semua pekerjaan sudah beres, Pak. Sudah rapi.”
“Bukan masalah pekerjaan, tunggu….”
Aku terdiam dan menunggu manajerku itu. Kemudian ia mengajakku ke sebuah kedai kopi yang berada di udara terbuka. Kebetulan malam itu cukup cerah walaupun gelap membayangi. Sebenarnya ada purnama di atas sana, tapi awan tebal menghalangi sinar indahnya.
Manajerku memesan dua gelas kopi kental untuk kami berdua. Kemudian ia mulai menyulut rokoknya. Pembicaraan pun di mulai.
“Dika…. Coba kau lihat ke atas, ke langit luas.”
“Iya, Pak. Kenapa? Cuma awan gelap dan pekat, Pak. Gak ada apa-apa.”
“Iya, memang hanya awan gelap dan pekat. Tapi, kau tahu kan sebenarnya di balik awan itu ada purnama yang cerah bersinar?”
“Iya, Pak. Memang sepertinya ada purnama yang bersinar indah. Memang kenapa, Pak?”
“Bapak tahu, beberapa hari belakangan ini kamu mencari informasi mengenai kejadian pemecatan Inov yang dulu itu. Kamu masih penasaran? Belum dapat jawaban?”
“Iya, Pak. Saya masih penasaran. Bapak tahu kejadian sebenarnya?”
Akupun kemudian ikut menyulut rokok untuk menemani hangatnya kopi kental yang sudah tersaji sejak tadi. Pembicaraan kembali berlanjut.
“Kamu ingat kalau bapak pernah memanggil Inov dan menawarkan pekerjaan lain kepadanya?”
“Iya, Pak, saya ingat betul.”
“Kamu ingat Inov menolak pekerjaan itu dengan alasan terlalu jauh dari rumahnya?”
“Iya, Pak, saya ingat.”
“Kamu tahu kalau Inov hanya lulusan SMP? Kamu tahu Inov melamar kerja di waralaba ini menggunakan ijazah Kejar Paket C?”
“Iya, Pak. Inov pernah cerita kepada saya.”
“Dika…. Jujur saja, sejak awal Inov melamar sebenarnya Inov sudah ditolak. Inov sebenarnya sudah tidak masuk kualifikasi administrasi karena syarat minimal adalah lulusan SMA dan memiliki ijazah SMA. Bukan ijazah Kejar Paket C. Memang kedua ijazah tersebut setara, tapi peraturan dari kantor pusat menyatakan bahwa yang bisa diterima hanyalah lulusan SMA yang memiliki ijazah SMA.”
“Lalu…?”
“Iya, sebenarnya Inov sudah ditolak sejak awal. Tapi, ketika bapak membaca surat lamarannya sekali lagi, di bagian bawah surat itu tertulis kata-kata: Saya bekerja bukan untuk diri saya. Saya bekerja untuk menyekolahkan adik saya yang masih SMP. Saya ingin agar ia tidak menjadi bodoh seperti mbaknya ini yang hanya lulusan SMP. Saya ingin ia bisa melanjutkan hingga SMA, bahkan kalau bisa hingga sarjana.”
Aku terdiam. Aku beku. Aku kemudian teringat bahwa Inov pernah menceritakan hal itu. Manajerku kembali melanjutkan ceritanya.
“Bapak tidak menyadari, ketika membaca surat lamaran itu, air mata bapak menetes membasahi surat lamaran Inov. Akhirnya bapak putuskan sedikit melanggar aturan dari kantor pusat. Bapak putuskan memanggil Inov untuk wawancara.”
“Akhirnya Bapak terima Inov kerja, kan?”
“Iya, setelah mendengar penjelasan langsung dari Inov, bapak putuskan untuk menerimanya bekerja.”
Aku sedikit tercerahkan. Putaran otakku mulai menemukan porosnya. Ternyata….
“Lalu, mengapa Inov dipecat, Pak? Bukankah Bapak yang menerimanya bekerja karena mengetahui kondisinya itu?”
“Iya, memang benar. Bapak yang menerimanya bekerja dan bapak pula yang memecatnya.”
Sambil menghisap rokoknya, manajerku itu kembali melanjutkan ceritanya.
“Setelah beberapa waktu Inov bekerja, bapak merasa Inov adalah pekerja yang baik dan seharusnya mendapat penghasilan lebih besar. Tapi, masalahnya adalah di toko kita ini ada batasan maksimal gaji yang bisa didapatkan oleh karyawan seperti kamu dan Inov. Bapak tidak mungkin menggaji Inov lebih besar daripada ketentuan dari kantor pusat. Oleh karena itulah, bapak sempat menawarinya untuk pindah bekerja.”
“Tapi, Inov tidak mau ya, Pak. Karena ia tidak mau bekerja jauh dari rumahnya.”
“Ya, itulah masalahnya. Inov tidak mau menerima pekerjaan baru. Hingga akhirnya bapak membuat skenario pemecatan itu. Bapak minta kamu tidak salah paham dengan bapak. Bapak sendirilah yang membuat Inov dipecat. Hanya dengan cara itulah Inov bisa dipaksa keluar. Bapak hanya ingin dia bekerja di tempat lain yang penghasilannya lebih besar.”
Tak terasa jari-jariku mengepal erat. Jika tidak kutahan emosi dan tidak kuingat siapa yang berada di hadapanku ini, mungkin bogem mentah sudah melayang ke wajah tanpa dosa itu.
“Dika, bapak tahu kamu emosi. Tapi, tahukah kamu, sekarang Inov bekerja di mana? Siapakah yang memanggilnya untuk bekerja?”
“Bapak???”
“Iya, kantor tempat Inov bekerja sekarang adalah milik orang tua bapak. Bapaklah yang mengajukan rekomendasi agar Inov dipanggil bekerja di sana.”
Aku terdiam, beku, sedingin malam yang udaranya kurasa menusuk tulangku hingga ke sumsum terdalam. Ku tengadahkan wajahku ke langit. Di sana memang ada purnama yang bersinar cerah. Tapi, terkadang ia tak perlu menunjukkan dirinya dan lebih memilih bersembunyi di balik awan. Kini kurasakan bahwa otakku telah berputar normal pada porosnya.
##TAMAT##
(Abank Juki, Cikarang, Jumat, 13 April 2012, 21.28 WIB)
PROFIL PENULIS
Hai,namaku Nur janna.Aku lahir di Tana Toraja ,15 April 1995,ini pertama kalinya aku posting karyaku Lho!,jadi kalo ada kesalahan mohon bantuanya yah,,dan jangan lupa Add facebookku di Nur Janna Mangguali.Terima kasih.
Baca juga Cerpen Remaja yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar