THE SIGNS OF THE DREAMS #3 : FIRASAT MIMPI SEORANG ANAK
Karya Avans Cross Lines
Malam itu, aku dan ibuku akan pergi ke pasar Banjaran. Entah apa alasan ibuku pergi ke pasar tradisional itu malam-malam begini. Waktu menunjukkan pukul 19.00 dan gerimis membasahi jalanan utama yang gelap. Hanya ada sebuah lampu pijar tergantung pada sebilah bambu di sudut pertigaan jalan.
Seharusnya semua angkutan umum tak ada yang beroperasi. Tak ada mobil yang turun kembali ke kota. Apalagi rumahku itu terletak di kampung. Yang membuatku heran kenapa ibuku menunggu angkot, ratusan meter dari rumahku. Tepatnya di daerah Cidarangdan. Sementara rumah kami berada di Pasir Kadu. Harus melewati satu kampung lain agar mencapai Cidarangdan.
Tiba-tiba sebuah angkutan umum muncul dari arah menuju Banjaran. Sepertinya mau pulang dan itu adalah mobil terakhir.
“Bang, mau ke Banjaran lagi?” tanya ibuku.
“Tidak, Bu. Ini sudah malam. Tidak ada angkot lagi yang beroperasi.” jawab supir itu kemudian pergi meninggalkan kami. Seharusnya kami pulang naik mobil itu, tapi ibuku dan aku tetap diam di pinggir jalan.
Gerimis mulai membesar dan berubah menjadi hujan yang lebat. Tiba-tiba sekelompok pemuda seumuran denganku keluar dari sebuah rumah di belakang kami, mendekati dan menghalangi kami yang ingin berteduh. Ada empat orang laki-laki dan seorang pria yang seperti perempuan. Dilihat dari manapun memang wajahnya seperti lelaki namun rambutnya yang menutupi telinga itu seperti wanita. Mereka semua memakai jas hitam seperti orang kantor yang telah selesai Meeting. Sepertinya mereka adalah orang kaya.
Mereka bukan orang baik-baik. Seorang dari mereka membawa sebotol minuman keras dan nampak dari gerak-geriknya, mereka sedang mabuk. Aku dan ibuku ketakutan. Aku coba bicara baik-baik agar mereka membiarkan kami lewat. Hujan mulai membesar dan membasahi kami semua.
“Hey! Tenang saja. Mau kemana kau?!” sahut pria yang seperti perempuan itu.
“Sudah Vanz, hajar saja dia!” sahut temannya. Kemudian orang yang bernama Avanz itu membawaku jauh dari ibuku dan teman-temannya. Aku lihat ibuku sangat ketakutan dan orang-orang itu terus menggodanya.
“Hey! Tante mau kemana?” tanya seorang dari mereka sambil tertawa.
“Ibu! Apa yang akan kalian lakukan pada ibuku?! Lepaskan Ibuku! Jangan ganggu dia!” teriakku.
“Hey! Mau kemana kau?! Urusan kita belum selesai!” sahut Avanz menahanku sambil tersenyum. Kemudian dengan keras dia memukul perutku. Rasa sakit yang teramat sangat membuatku roboh dan tergeletak di jalanan.
Samar-samar dari balik tirai hujan yang menutupi pandangan, kulihat ibuku diperlakukan tidak pantas.
“Bajingan kalian!!!” aku menangis dan sangat marah. Aku mulai bangkit karena kemarahanku sudah mulai memuncak tak terkendali. Bayangkan saja itu adalah Ibuku sendiri. Aku tak sudi mereka memperlakukannya seperti itu.
“Sialan kau!!!” teriakku langsung menghajar pipi putih mulus lelaki itu dengan sekuat tenaga. Tapi dia balik membalas. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi padaku yang terpenting itu tidak terjadi pada ibuku.
Kami saling hajar di bawah langit gelap malam itu. Dan disaat terakhir aku berhasil membuatnya roboh, segera, aku berlari mendekati mereka yang menahan ibuku.
“Lepaskan ibuku, Setan!!”
“Hey! Sialan anak ini! Ayo kita hajar dia!” mereka melepaskan ibuku.
“Ibu! Cepat lari! Cepat cari pertolongan, bu!” tanpa berkata apapun ibu langsung berlari menyusuri jalan raya itu menuju rumah kami yang masih jauh.
Mereka sedang mabuk. Seharusnya itu memberiku kesempatan yang besar untuk mengalahkan mereka. Sebelum kemarahanku mulai mereda, aku langsung menghajar mereka tanpa ampun. Aku berhasil menjatuhkan mereka semua dan segera menyusul ibuku yang baru menyampai sebuah Mesjid tak jauh dari tempat itu.
“Ibu tunggu!” sahutku. Tapi kemudian terdengar sesuatu melesat dari belakang dan mendorongku. Terdengar suara ’Dug!’ dipunggungku. Awalnya aku baik-baik saja, tapi kemudian suara itu kembali terdengar “Dug! Dug! Dug!” perlahan langkahku mulai terhenti dan aku pun jatuh tak berdaya. Sesaat sebelum aku mati aku tahu bahwa ada empat buah peluru menembus tulang belakangku dan aku tidak tahu kenapa aku tahu bahwa yang menembakku adalah lelaki bernama Avanz itu.
“Dani!!” teriak Ibuku menghampiriku. Suara tembakan itu terdengar lagi namun aku tidak tahu siapa kali ini yang ditembaknya karena aku telah menutup mataku. Mungkinkah ibuku?
“Dani! Dani! Bangun sudah siang!” kata ibuku membangunkanku dari tidurku. Aku membuka mataku. Aku lihat ibuku berada disamping tempat tidurku. Untunglah itu semua hanya mimpi. Aku langsung mengambil Hp disamping tempat tidurku dan melihat jam di dalamnya. Tapi ada yang aneh dengan Hp Nokia 6600-ku ini. Kaca di Casing bagian kamera Hp-ku itu menghilang dan ada lubang di sana.
Ketika aku akan menanyakan hal itu pada ibuku dan menegakkan tubuhku, rasanya sakit tulang belakangku. Seperti patah.
“Agghhh!!” geramku.
“Dani, kau tidak apa-apa?”
Aku menyentuh tulang belakangku dan akusangat terkejut. Ada lubang di tulang punggungku. Saat aku tekan kulit yang membungkus tulangku itu dengan jari tengahku, seperempat jari tengahku dapat masuk kedalamnya. Lubang itu sebesar peluru. Apakah ini tanda-tanda hal buruk akan terjadi? Seperti dalam mimpi itu? Aku sangat ketakutan. Bukannya aku takut mati tapi aku takut kalau ibuku yang mati. Aku tidak mau itu.
“Hey! Tenang saja. Mau kemana kau?!” sahut pria yang seperti perempuan itu.
“Sudah Vanz, hajar saja dia!” sahut temannya. Kemudian orang yang bernama Avanz itu membawaku jauh dari ibuku dan teman-temannya. Aku lihat ibuku sangat ketakutan dan orang-orang itu terus menggodanya.
“Hey! Tante mau kemana?” tanya seorang dari mereka sambil tertawa.
“Ibu! Apa yang akan kalian lakukan pada ibuku?! Lepaskan Ibuku! Jangan ganggu dia!” teriakku.
“Hey! Mau kemana kau?! Urusan kita belum selesai!” sahut Avanz menahanku sambil tersenyum. Kemudian dengan keras dia memukul perutku. Rasa sakit yang teramat sangat membuatku roboh dan tergeletak di jalanan.
Samar-samar dari balik tirai hujan yang menutupi pandangan, kulihat ibuku diperlakukan tidak pantas.
“Bajingan kalian!!!” aku menangis dan sangat marah. Aku mulai bangkit karena kemarahanku sudah mulai memuncak tak terkendali. Bayangkan saja itu adalah Ibuku sendiri. Aku tak sudi mereka memperlakukannya seperti itu.
“Sialan kau!!!” teriakku langsung menghajar pipi putih mulus lelaki itu dengan sekuat tenaga. Tapi dia balik membalas. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi padaku yang terpenting itu tidak terjadi pada ibuku.
Kami saling hajar di bawah langit gelap malam itu. Dan disaat terakhir aku berhasil membuatnya roboh, segera, aku berlari mendekati mereka yang menahan ibuku.
“Lepaskan ibuku, Setan!!”
“Hey! Sialan anak ini! Ayo kita hajar dia!” mereka melepaskan ibuku.
“Ibu! Cepat lari! Cepat cari pertolongan, bu!” tanpa berkata apapun ibu langsung berlari menyusuri jalan raya itu menuju rumah kami yang masih jauh.
Mereka sedang mabuk. Seharusnya itu memberiku kesempatan yang besar untuk mengalahkan mereka. Sebelum kemarahanku mulai mereda, aku langsung menghajar mereka tanpa ampun. Aku berhasil menjatuhkan mereka semua dan segera menyusul ibuku yang baru menyampai sebuah Mesjid tak jauh dari tempat itu.
“Ibu tunggu!” sahutku. Tapi kemudian terdengar sesuatu melesat dari belakang dan mendorongku. Terdengar suara ’Dug!’ dipunggungku. Awalnya aku baik-baik saja, tapi kemudian suara itu kembali terdengar “Dug! Dug! Dug!” perlahan langkahku mulai terhenti dan aku pun jatuh tak berdaya. Sesaat sebelum aku mati aku tahu bahwa ada empat buah peluru menembus tulang belakangku dan aku tidak tahu kenapa aku tahu bahwa yang menembakku adalah lelaki bernama Avanz itu.
“Dani!!” teriak Ibuku menghampiriku. Suara tembakan itu terdengar lagi namun aku tidak tahu siapa kali ini yang ditembaknya karena aku telah menutup mataku. Mungkinkah ibuku?
“Dani! Dani! Bangun sudah siang!” kata ibuku membangunkanku dari tidurku. Aku membuka mataku. Aku lihat ibuku berada disamping tempat tidurku. Untunglah itu semua hanya mimpi. Aku langsung mengambil Hp disamping tempat tidurku dan melihat jam di dalamnya. Tapi ada yang aneh dengan Hp Nokia 6600-ku ini. Kaca di Casing bagian kamera Hp-ku itu menghilang dan ada lubang di sana.
Ketika aku akan menanyakan hal itu pada ibuku dan menegakkan tubuhku, rasanya sakit tulang belakangku. Seperti patah.
“Agghhh!!” geramku.
“Dani, kau tidak apa-apa?”
Aku menyentuh tulang belakangku dan akusangat terkejut. Ada lubang di tulang punggungku. Saat aku tekan kulit yang membungkus tulangku itu dengan jari tengahku, seperempat jari tengahku dapat masuk kedalamnya. Lubang itu sebesar peluru. Apakah ini tanda-tanda hal buruk akan terjadi? Seperti dalam mimpi itu? Aku sangat ketakutan. Bukannya aku takut mati tapi aku takut kalau ibuku yang mati. Aku tidak mau itu.
Aku menangis dan memeluk Ibuku.
Aku langsung menceritakan semua mimpiku dan lubang pada tulang punggungku itu pada ibuku. Dia sangat terkejut. Aku menyuruhnya tidak keluar rumah hari ini apalagi setelah sore dan terutama ke tempat bernama Cidarangdan itu. Ibuku hanya berkata iya. Iya. Iya. Aku tidak tahu apa dia mempercayaiku atau tidak?
Sepanjang hari aku hanya memikirkan hal itu dan terus mengawasi ibuku agar tidak keluar dari rumah di sore dan malam hari. Aku takut bila mimpi itu menjadi kenyataan. Tapi aku kecolongan. Ibuku tidak ada di rumah.
Sore itu pukul 17.00. Jika benar mimpi itu adalah suatu pertanda, hanya tinggal dua jam lagi kejadian dalam mimpiku itu akan menimpa ibuku.
“Ibu kemana?” tanyaku pada ayah tiriku.
“Katanya mau ngambil pakaian di Cidarangdan.”
Tanpa bertanya lagi aku langsung berlari menuju tempat itu menyusuri jalan raya tanpa alas kaki. “Ibu, kenapa ibu tidak percaya padaku?” tanyaku sendiri sambil menucurkan air mata sembari berlari kencang.
Langit tampak mendung. Aku takut mimpi itu menjadi kenyataan. Aku lihat ibuku berdiri di pinggir jalan. Sama seperti mimpiku. Namun ini masih sore dan gerimis belum turun dan ibuku membawa setumpuk pakaian dalam keranjang di tangannya.
“Ibu! Ibu kenapa sih tidak percaya padaku?! Aku sudah bilang jangan ke tempat ini! Aku sangat khawatir, bu!” kataku langsung memeluk ibuku.
“Maafkan ibu, Dan. ibu hanya mau mengambil pakaian di rumah teman ibu.” katanya.
“Lalu kenapa ibu masih berdiri disini? Ayo kita pulang, bu!”
“Iya, ibu juga mau pulang. Ibu lagi nunggu angkot.”
Tak lama kemudian datang angkutan umum.
“Cepat, bu!” desahku menyuruhnya segera menaiki mobil itu. Namun tiba-tiba mesin mobil itu mendadak mati. Pas lagi, beberapa meter di depan rumah para pemuda dalam mimpiku.
Aku lihat jam di depan setir pukul 18.00. Gerimis mulai turun tapi langit belum cukup gelap. Di dalam angkutan umum itu hanya ada aku, ibuku dan seorang bapak memakai seragam coklat dengan tanda nama di saku dadanya ’Anan.’
“Bu, kita jalan kaki saja?” sahutku mulai takut seseorang muncul dari balik pintu rumah orang yang akan membunuhku dan ibuku.
“Tapi kan jauh, Dan. Lagi pula ini sudah Maghrib. Jalanan sudah gelap. Dan lagi kamu tidak memakai alas kaki,” kata ibuku.
“Maaf bu, anaknya kenapa ya kok kayaknya ketakutan?” tanya bapak itu. Aku lihat baik-baik bapak itu. Di lehernya tergantung sebuah pisau lipat.
Saat melihat bapak itu aku sadar, bila aku harus mati malam ini, tidak ada yang bisa mengubahnya. Mimpi itu mungkin hanya pertanda bahwa aku akan mati malam ini. Dengan cara apapun. Mungkin saja bapak inilah yang akan membunuhku.
Sebelum ibuku menjawab pertanyaan bapak itu aku langsung menarik tangannya keluar dari angkot itu. Aku lihat pintu rumah pembunuh itu terbuka. Ada seseorang yang akan keluar dari sana. Aku terus memegangi erat-erat lengan ibuku dan berjalan secepat mungkin. Hampir berlari menyusuri jalanan. Aku tak ingin kejadian seperti dalam film Final Destination menimpa ibuku dan diriku. Gerimispun turun dan mulai membesar.
“Ayo, bu! Cepat! Sebelum orang itu melihat kita!” sahutku ketakutan.
“Tunggu, Dan! Ibu sudah lelah!”
“Aku takut, bu! Aku takut ibu mati!” sergahku sambil menangis. Setengah jam telah berlalu. Tinggal beberapa puluh meter lagi kami tiba di rumah.
“Tunggu, Dan! Pakaian-pakaian ibu terjatuh. Ibu akan mengambilnya!”
“Sudah, bu! Jangan, bu! Biar aku saja! Sekarang ibu masuk ke rumah! Aku akan merasa tenang bila ibu sudah ada di rumah!” sahutku.
“Dani, hati-hati!” sahutnya pergi menuju rumah membawa keranjang dengan pakaian yang tersisa.
Aku langsung menceritakan semua mimpiku dan lubang pada tulang punggungku itu pada ibuku. Dia sangat terkejut. Aku menyuruhnya tidak keluar rumah hari ini apalagi setelah sore dan terutama ke tempat bernama Cidarangdan itu. Ibuku hanya berkata iya. Iya. Iya. Aku tidak tahu apa dia mempercayaiku atau tidak?
Sepanjang hari aku hanya memikirkan hal itu dan terus mengawasi ibuku agar tidak keluar dari rumah di sore dan malam hari. Aku takut bila mimpi itu menjadi kenyataan. Tapi aku kecolongan. Ibuku tidak ada di rumah.
Sore itu pukul 17.00. Jika benar mimpi itu adalah suatu pertanda, hanya tinggal dua jam lagi kejadian dalam mimpiku itu akan menimpa ibuku.
“Ibu kemana?” tanyaku pada ayah tiriku.
“Katanya mau ngambil pakaian di Cidarangdan.”
Tanpa bertanya lagi aku langsung berlari menuju tempat itu menyusuri jalan raya tanpa alas kaki. “Ibu, kenapa ibu tidak percaya padaku?” tanyaku sendiri sambil menucurkan air mata sembari berlari kencang.
Langit tampak mendung. Aku takut mimpi itu menjadi kenyataan. Aku lihat ibuku berdiri di pinggir jalan. Sama seperti mimpiku. Namun ini masih sore dan gerimis belum turun dan ibuku membawa setumpuk pakaian dalam keranjang di tangannya.
“Ibu! Ibu kenapa sih tidak percaya padaku?! Aku sudah bilang jangan ke tempat ini! Aku sangat khawatir, bu!” kataku langsung memeluk ibuku.
“Maafkan ibu, Dan. ibu hanya mau mengambil pakaian di rumah teman ibu.” katanya.
“Lalu kenapa ibu masih berdiri disini? Ayo kita pulang, bu!”
“Iya, ibu juga mau pulang. Ibu lagi nunggu angkot.”
Tak lama kemudian datang angkutan umum.
“Cepat, bu!” desahku menyuruhnya segera menaiki mobil itu. Namun tiba-tiba mesin mobil itu mendadak mati. Pas lagi, beberapa meter di depan rumah para pemuda dalam mimpiku.
Aku lihat jam di depan setir pukul 18.00. Gerimis mulai turun tapi langit belum cukup gelap. Di dalam angkutan umum itu hanya ada aku, ibuku dan seorang bapak memakai seragam coklat dengan tanda nama di saku dadanya ’Anan.’
“Bu, kita jalan kaki saja?” sahutku mulai takut seseorang muncul dari balik pintu rumah orang yang akan membunuhku dan ibuku.
“Tapi kan jauh, Dan. Lagi pula ini sudah Maghrib. Jalanan sudah gelap. Dan lagi kamu tidak memakai alas kaki,” kata ibuku.
“Maaf bu, anaknya kenapa ya kok kayaknya ketakutan?” tanya bapak itu. Aku lihat baik-baik bapak itu. Di lehernya tergantung sebuah pisau lipat.
Saat melihat bapak itu aku sadar, bila aku harus mati malam ini, tidak ada yang bisa mengubahnya. Mimpi itu mungkin hanya pertanda bahwa aku akan mati malam ini. Dengan cara apapun. Mungkin saja bapak inilah yang akan membunuhku.
Sebelum ibuku menjawab pertanyaan bapak itu aku langsung menarik tangannya keluar dari angkot itu. Aku lihat pintu rumah pembunuh itu terbuka. Ada seseorang yang akan keluar dari sana. Aku terus memegangi erat-erat lengan ibuku dan berjalan secepat mungkin. Hampir berlari menyusuri jalanan. Aku tak ingin kejadian seperti dalam film Final Destination menimpa ibuku dan diriku. Gerimispun turun dan mulai membesar.
“Ayo, bu! Cepat! Sebelum orang itu melihat kita!” sahutku ketakutan.
“Tunggu, Dan! Ibu sudah lelah!”
“Aku takut, bu! Aku takut ibu mati!” sergahku sambil menangis. Setengah jam telah berlalu. Tinggal beberapa puluh meter lagi kami tiba di rumah.
“Tunggu, Dan! Pakaian-pakaian ibu terjatuh. Ibu akan mengambilnya!”
“Sudah, bu! Jangan, bu! Biar aku saja! Sekarang ibu masuk ke rumah! Aku akan merasa tenang bila ibu sudah ada di rumah!” sahutku.
“Dani, hati-hati!” sahutnya pergi menuju rumah membawa keranjang dengan pakaian yang tersisa.
Aku kembali ke jalan raya dan memunguti pakaian-pakaian ibuku yang tercecer. Aku lakukan dengan cepat sebelum hal yang tidak kuinginkan terjadi. Ibuku telah selamat dan sekarang aku harus memikirkan nyawaku.
Dari kejauhan aku dengar suara deruan mobil. Aku takut hal itulah yang akan membunuhku. Mobil itu melaju kencang seperti ingin menabrakku. Setelah selesai memunguti pakaian aku langsung berlari secepat mungkin masuk ke dalam rumah. Ku lihat jam dinding menunjukkan pukul 19.10. Akhirnya, bahaya itu bisa kami lewati. Aku tergeletak di lantai rumah sebelum akhirnya tertidur.
Malam itu aku bermimpi kembali. Dalam mimpiku, seseorang bernama Avanz itu bukanlah lelaki. Melainkan seorang gadis. Aku lihat gadis itu datang ke rumahku dengan memakai sebuah gaun pink dan mengenalkan padaku bahwa namanya Dira. Dan... dia akan membunuhku.
Inspirated by mydream. Kamis, 10 September 2009
PROFIL PENULIS
Avans Cross Lines lahir di Bandung, 31 Maret 1992. Bagiku mimpi adalah inspirasi terbesarku. Mimpi adalah jembatan yang menghubungkan antara khayalan dan kenyataan dimana aku dapat dengan leluasa menyebrangi garis antara kedua dunia tersebut. Untuk sejenak ikutlah bersamaku dan lihatlah seberapa indah, seram, romantis, lucu, bahagia, maupun menegangkannya jembatan itu.
Fb: Avans ‘Dani Cross Lines
Blog: avanscrosslines.blogspot.com
Avans Cross Lines lahir di Bandung, 31 Maret 1992. Bagiku mimpi adalah inspirasi terbesarku. Mimpi adalah jembatan yang menghubungkan antara khayalan dan kenyataan dimana aku dapat dengan leluasa menyebrangi garis antara kedua dunia tersebut. Untuk sejenak ikutlah bersamaku dan lihatlah seberapa indah, seram, romantis, lucu, bahagia, maupun menegangkannya jembatan itu.
Fb: Avans ‘Dani Cross Lines
Blog: avanscrosslines.blogspot.com
Baca juga Cerpen Horor yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar