KU BAWA HATIKU KEDALAM DAMAI
Karya Rita Lestari
Malam ini adalah malam yang paling gelap yang pernah kulihat. Tak ada kelipan kejora bintang, pantulan cahaya bulan bahkan, petir yang menyambar-nyambar. Hanya hitam yang tampak. Semburat cahaya kehitamanpun tak dapat ku lihat. Semuanya legam tampak di pelupuk mata.
''Mel, sudah malam...ayo masuk!'' Tukas Ibu.
''Gelap Bu, aku gak bisa melihat.'' Ujarku dengan pelan.
Entah apa yang baru ku katakan, kata-kata itu terlontar meski tak ada yang mendorongnya ke luar.
''Maksud kamu apa Mel? Kamu dari tadi di sini, tidur? Terus mimpi? Yang baru kamu bilang tadi maksudnya pa sayang?'' Ibu mengiraku baru saja terbangun dari tidur dan bermimpi. Aku terdiam, ''Ahh...seharusnya aku gak bilang gitu'' Gumamku.
''Gak Bu, gak maksud apa-apa. Mungkin tadi aku melamun'' Jawabku.
''Apa sih yang kamu lamunin? Ya udah, masuk yuk! Lihat tuh udah jam berapa! Besok kamu ada wawancara kan? Tidur gih nanti kesiangan!''
''Iya Bu''
''Mel, sudah malam...ayo masuk!'' Tukas Ibu.
''Gelap Bu, aku gak bisa melihat.'' Ujarku dengan pelan.
Entah apa yang baru ku katakan, kata-kata itu terlontar meski tak ada yang mendorongnya ke luar.
''Maksud kamu apa Mel? Kamu dari tadi di sini, tidur? Terus mimpi? Yang baru kamu bilang tadi maksudnya pa sayang?'' Ibu mengiraku baru saja terbangun dari tidur dan bermimpi. Aku terdiam, ''Ahh...seharusnya aku gak bilang gitu'' Gumamku.
''Gak Bu, gak maksud apa-apa. Mungkin tadi aku melamun'' Jawabku.
''Apa sih yang kamu lamunin? Ya udah, masuk yuk! Lihat tuh udah jam berapa! Besok kamu ada wawancara kan? Tidur gih nanti kesiangan!''
''Iya Bu''
Betapapun aku berada di dalam kamar yang cukup penerangan, tetap yang ku lihat hanya hitam, gelap, dan legam. Ahhh aku benci seperti ini. Tapi aku tahu sebab apa yang menjadikanku seperti ini. Ya, mereka. Alya dan Teo. Alyya adalah sahabatku, dan Teo adalah temanku sejak kecil. Sudah lama aku menaruh hati pada Teo. Tapi bodohnya aku yan tak pernah bisa untuk mengungkapkannya. Alya memang pernah berkata tentang perasaannya ke Teo. Tapi saat itu aku tak menghiraukan perkataan Alya. Karena Alya adlah tipe orang yang mudah suka terhadap lawan jenis. Setiap dia suka sama seseorang tak pernah ia bawa ke dalam hubungan yang serius. Awalnya kedekatan mereka ku anggap biasa, tak ada cemburu atau kekhawatiran sedikitpun di benakku. Tapi ternyata, kenyataan ini begitu sangat memukulku. Rasa sakitnya melebihi rasa sakit saat aku mengalami kecelakaan dengan sepupuku. Aku tak tahu apa yang akan terjadi dengan wawancaraku, besok. Semoga aku tak mengecewakan ibu. Oh Tuhan....bawa hati ini ke dalam damai, tuntun aku menggapai kasihMu.
Keesokkan harinya di pagi yang basah karena embun, aku masih berbaring di tempat tidur. Malam yang tampak gelap, telah berganti dengan pagi yang amat dingin. Hatiku begitu menggigil menyambut pagi ini.
''Amel, udah siap belum? Alya udah dateng ni'' Suara ibu dari kejauhan terdengar samar di telingaku.
''Alya, kamu masuk aja gih ke kamarnya. Barangkali Amel masih tidur, soalnya tadi malam dia begadang'' Seru ibu kepada Alya.
Alyapun baranjak ke kamarku. Sontak Alya kaget, mendapatiku masih berbaring di tempat tidur.
''Ya ampun Amel...!!!! Udah jam berapa itu lihat!!! Ayo bangun, bangun, bangun!!!'' Alya mambangunkanku sambil menggoncang-goncang tubuhku.
Sebenarnya aku sudah terbangun, tapi aku merasakan semangatku hilang entah kemana. Gigilan hati ini begitu sangat ku rasakan. Aliran darahku seakan berhenti, membeku.
''Iya, iya Al...aku udah bangun kok'' Ucapku malas.
''Hei kamu kenapa sih gak kayak biasanya? Kok jadi malas gini. Ayo cepat mandi! Hampir telat ni'' Ujarnya.
''Aduh..males banget nih hari ini'' Keluhku sambil mengusap kedua mataku.
''Amel, dari awal kan kamu yang menggebu-gebu pengen kuliah di situ. Sekarang mana semangat kamu? TIngal tahap akhir loh, selangkah lagi. Hari ini kita tes wawancara, abis itu udah deh tinggal nungu hasil'' Alya berusaha menyamangatkanku.
Biasanya saat Alya semangat, aku akan lebih semangat. Dan jika Alya mencoba memberiku semangat, aku akan segera berdiri untuk menjadi orang yang paling semangat. Tapi kali ini ku rasakan sangat berbeda. Suport yang Alya berikan justru mencabik-cabik perasaanku. Aku berang, pilar yang selama ini ku genggam justru meruntuhkanku.
''Iya udah aku mandi dulu'' Aku beranjak dari tempat tidur. Baru beberapa langkah saja, Alya membuatku tersentak. Langkahku terhenti saat kata-kata itu keluar dari mulutnya.
''Cepat ya mandinya, Teo udah nunggu di luar tuh. Kasihan dia kalau harus nunggu lama, lagi pula takut gak keburu. Hehe...'' Ucapnya.
''Tuhan...kenapa harus seperti ini? Sudah cukup terpukul aku dengan pengakuan merka, kemarin. Kenapa hari ini aku harus menyaksikan mereka berjalan beriringan? Aku tak sanggup melihat kebersamaan itu'' Gumamku, lantas melanjutkan langkahku dan menjawab perkataan Alya dengan tenang, ''Iya, bentar kok mandinya gak lama''.
Dua hari kemudian aku mendapat kabar bahwa aku, Alya dan Teo dterima di Universitas yan selama ini kita impikan. Sekali lagi aku dihadapkan dengan kenyataan yang sulit ku raba. Kabar bahagia yang justru membuatku semakin tersungkur. Malam demi malam ku lalui dengan diam, merenung dan mencoba membawa hati ini dalam kedamaian. Sesekali aku bawa isi hati ini ikut menari bersama pena di atas kertas.
Aku dan malam-malamku
Selalu berjelaga menapaki ketiadaberdayaan ini
Kaulah bunga mawar putih
Dan dia melati
Kau dan dia saling bermekaran
Sedangkan aku hanya layu dalam angan
Apalah arti perasaanku dibandingkan kalian
Hanya saja hati ini belum mampu menerima pahit yang terlihat manis
Aku selalu saja menangis
Alya, Kau tetap sahabatku walau saat ini ada kesal di hatiku
Teo, aku menyayangimu tapi sayanilah Alya sepenuh hatimu
Hari-hari pertama kuliahku ku rasakan tak ada yang istimewa. Aku satu kelas lagi dengan Alya. Empat tahun aku dan Alya ditempatkan dalam satu kelas yang sama. Sejak SMP sampai lulus SMA. Hari berganti hari, aku sudah bisa menerima hubungan Alya dengan Teo. Tapi sampai saat ini merka tak pernah tahu perasaan apa yang sebenarnya aku miliki untuk Teo. Aku hanya ingin semua ini berjalan tanpa merusak persahabatanku dengan Alya. Aku hanya butuh waktu untuk bisa benar-benar menerima. Dan berharap akan ada seseorang yang dpat menggantikan posisi Teo, yang tulus menyayangiku apa adanya.
''Al, makan yuk!'' Ajakku kepada Alya.
''Ayo, tapi aku ke toilet bentar ya. Kamu duluan aja ke kantin. Atau kalau gak, kamu samperin Teo dulu, gimana? Hehe...''
''Ihh..ogah ah. Gila aja, kelas Teo kan lumayan jauh. Mending aku langsung ke kantin aja deh''.
''Hahaha, bercanda kali. Ya udah nanti pesenin bakso super pedas ya sama jus melon. Ok..ok...!''
''Siippp''.
Akupun berjalan menuju kantin. Sendiri aku melangkah melewati ruang-ruang yang telah lama berdiri. Di antara gemuruh suara orang-orang di sekitarku, ada yang ganjal. Sepanjang aku berjalan, seperti ada yang mengikutiku. Lantas aku menoleh ke belakang.
''Hallo..'' Seorang pria berdiri tepat di belakangku dan menyapaku.
Aku menghentikan langkahku.
''Iya, ada apa ya kok dari tadi ngikutin aku?'' Tegurku.
''Bukan, bukan, bukannya aku ngikutin kamu. Tapi aku mau tanya. Oh ya kenalin, aku Edo'' Sambil menyodorkan tangannya.
''Aku Amel. Udah langsung aja maksud kamu tuh apa?''
''Jangan sewot gitu dong, aku mau tanya ruang seni di mana ya? Kebetulan pas OSPEG aku gak ikut, jadi gak tau deh di mana ruang kesenian''.
''Ohh ruang seni. Tuh di lantai dua'' Jawabku.
''Ok, thanks ya. Kamu mau ke mana?''
''Ke kantin. Ya udah ya aku duluan, udah ditunggu soalnya''.
''Ok, sampai ketemu lain waktu ya''.
Kakiku kembali melangkah.
Hari telah berlalu. Setelah pertemuan itu, pertemuanku dengan Edo maksudku. Entah kenapa bayanan wajah Edo terus nampak di tiap pandangku. Ada rasa yang tak biasa. Entah itu perasaan suka, atau hanya perasaan yang mudah hilang. Tapi timbul di banakku suatu keinginan untuk bisa lebih mengenal dia. Aku menunggu saat-saat bertemu dia kembali. Tapi naas, hari berganti hari bahkan sudah dua minggu pertemuan itu tak juga datang menghampiriku. Kenapa rindu ini harus ada untuk seseorang yang baru sepintas ku kenal? Tak biasanya aku mengalami hal seperti ini.
''Hei, Mel!'' Alya tiba-tiba datang mengagetkanku saat ku duduk di taman.
''Ahh ngagetin aja sih kamu Al! Mana, katanya beli minum?''
''Lagian tengah hari bolong gini melamun. Minumnya ditunda dulu. Hehe...tadi ada yang nyariin kamu tuh. Makanya aku gak jadi beli minum''.
''Loh, emang apa hubungannya? Kalau ada yang nyari aku ya udah kamu bilang aja aku ada di taman. Terus kamu lanjut jalan, beli minum. Gampang kan? Ada-ada aja sih kamu Al''.
''Ya iya, tapi aku tuh cuma gak mau kamu kaget aja. Soalnya bentar lagi orangnya ke sini. Nah, tuh tuh tuh orangnya! Ya udah aku aku beli minum dulu. Kali ini beneran beli minum deh, hehe. Daaghhh!''
Alyapun beranjak membeli minum. Sementara aku masih terduduk dengan mata yang tiba-tiba sulit kukedipkan. Hatiku dijubeli pertanyaan. Siapa yang aku lihat sekarang? Dia semakin mendekatiku. Benarkah itu Edo? Tuhan, apa aku sedang bermimpi? Kenapa getaran dahsyat menguasai hati ini? APa yang terjadi?
''Ehemm..'' Edo duduk di sampingku.
''Eh kamu?'' Aku tersentak.
''Kaget ya? Maaf ya udah ngagetin''.
''Iya, gak apa-apa kok''.
''Apa kabar Mel? Lama nih gak ketemu''.
''Oh baik, baik, baik kok, baik. Iya aku baik-baik aja'' Dengan gugup aku menjawab.
''Syukurlah kalau kamu baik-baik aja. Tapi kok gugup gitu, kenapa Mel?''
''Tuhan...., tolong aku. Amel, ayo kamu bisa! Tarik napas, lepaskan! Tarik napas, lepaskan!'' Desirku dalam hati.
''Mel, kok diem? Kamu kenapa?''
''Gak, gak, aku gak apa-apa''.
''Bener?''
''Iya, bener kok. Tenggorokkanku seret, dari tadi Alya beli minum gak dateng-dateng''.
''Oh..kebetulan, nih aku bawain minum buat kamu''.
''Gak usah, gak usah repot-repot. Makasih, bentar lagi Alya juga dateng kok''.
''Gak apa-apa. Nih! Lagian aku udah niat beliin buat kamu kok''.
''Ok, thanks ya. Oya, kata Alya kamu nyariin aku ya? Ada apa?''
''Alya?''
''Iya, Alya temenku. Tuh dia anaknya'' Aku menunjuk ke arah Alya.
''Nih Mel, minumnya'' Alya menyodorkan minuman.
''Udah telat, aku keburu kembung'' Tukasku.
''Loh, kok kembung? Kan belum minum?'' Ucapnya, heran.
''Yee sok tahu! Aku udah minum, tadi. Laian kamu lama banget sih! Nyamperin Teo dulu deh pasti!'' Ujarku, kesal.
''Gak kok...orang kita ketemu di kantin, tadi'' Jawabnya.
''Hei Bro, apa kabar? Ke mana aja baru keliatan?'' Ujar Teo kepada Edo.
''Biasalah Bro, urusan penting perusahaan'' Di susul gelak tawa akrab mereka.
''Loh, kalian udah saling kenal?'' Tanyaku.
''Iya Mel, aku kenal Edo pas di Seminar bulan lalu'' Jawab Teo.
''Ohh...Al. kenalin ini Edo. Edo ini Alya, sahabatku yang paling nyebelin!''
''Hei...aku Edo'' Sambil menyodorkan tangan.
''Alya'' Sambut Alya.
Hari-hari berikutnya aku, Alya; Edo, dan Teomenjadi lebih akrab. Bahkan kami sering pergi bersama. Entah sekedar nonton di 21, makan-makan di Cafe atau sekedar duduk-duduk di pinggir taman kota. Aku merasa nyaman dengan kebersamaan itu. Tapi getaran itu belum juga hilang saat aku dekat dengan Edo. Terlebih lagi saat Edo memberikan perhatian lebih kepadaku. Ya, aku tak dapat memungkiri bahwa posisi Teo di hatiku kini telah menjadi milik Edo.
Dear Edo
Gelap yang menggelapkanku kini hilang karenamu
Kau telah mencabut sembilu yang menancap tepat di relung hatiku
Buliran air mata telah kau ubah menjadi titik-titik sinar yang mambuatku
mampu menatap dunia
Indahnya saat bersamamu membuatku selalu ingin dekat denganmu
Tapi lidahku masih kelu tuk sekedar mengucapkan
''Aku mencintaimu''
Aku selalu berharap Edo juga memiliki perasaan yang sama terhadapku. Tapi sekali lagi aku hanya bisa memendam perasaan ini. Aku tak pernah bisa mengucapkan sayang atau cinta kepada seorang pria. Di sisi lain aku tak mau kebodohanku terulang kembali. Aku tak mau cintaku pupus untuk yang kesekian kalinya. Aku harus mangatakan secepatnya kapada Edo. Hatiku benar-benar beradu dengan pikiranku, yang berkata lain. Antara aku harus berkata atau tidak, itu yang menjadi pergulatan di dalam hati dan pikiranku.
Setiap jam istirahat, aku dan ALya selalu menyempatkan diri untuk duduk di taman. Biasanya Teo dan Edo akan menghampiriku dan Alya.
''Mel, kalau aku perhatiin nih ya...kayaknya Edo jatuh cinta deh sama kamu'' Ujar Alya, dan membuatku tiba-tiba tersendak.
''Ups...sorry Mel, sorry. KAmu gak apa-apa kan? Pelan-pelan minumnya, keselek kan jadinya!'' Ucap Alya sambil memukul-mukul pelan punggungku.
''Udah, udah gak apa-apa kok. Lagian kamu ngomong kayak gitu, ngaco! Bikin aku keselek, tahu!'' tegasku.
''Ihhh tapi bener kok!''
''Tahu dari mana Alya? Ini anak kalau ngomong suka ngarang-ngarang. Mending kamu jadi pengarang cerita aja sana, di sinetron-sinetron tuh! Lumayan kan upahnya bisa buat traktir aku...hahahahaha''.
''Siapa yang ngarang? Ini tuh buka ngarang, tapi menerawang!''
''Emangnya kamu Paranormal bisa nerawang? Huu!''
''Kalau bukan cinta, apa coba? Tiap hari perhatian banget sama kamu. Terus setiap kamu sakit, dia yang paling khawatir setengah mati. Kamu lecet sedikit aja, dia paniknya gak ketulungan. Apa coba kalau bukan cinta?''
''Entahlah..'' Jawabku, santai.
''Ihh Amel, kamu gak boleh diem aja! Ayo don bertindak!''
''Bertindak?''
''Iya kamu harus tanya tentang persaan dia ke kamu!''
''Kenapa harus aku yang tanya? Dia dong yang seharusnya bilang sendiri, tanpa ditanya''.
''Atau perlu aku yang tanya?''
''Gak usah, buat apa?''
''Ya buat memperjelas hubungan kalian dong. Nah, tuh Teo. Sayang, Edo mana? Kok sendirian sih?'' Ujar Alya kepada Teo.
''Edo gak kuliah lagi hari ini'' Jawab Teo.
''Tu anak kenapa sih sering banget gak kuliah? Tiap kali ditanya, jawabnya ada urusan penting. Tapi gak pernah bilang urusan pentingnya tuh apa'' Ujarku.
''Ciyee, ada yang penasaran nih ye....'' Sindir Alya.
''Biasa aja'' Jawabku.
Memang ada satu hal yang tidak aku sukai dari Edo. Dua tahun kami berteman dekat, tak sedikitpun Edo mencoba membuka diri. Dia selalu ingin tampak baik-baik saja. Tapi hatiku berkata lain, seperti ada yang Edo sembunyikan. Kerapkali Edo tidak kuliah berhari-hari. Setiap aku menanyakan kenapa, dia akan selalu berkata tidak apa-apa, ada urusan penting dan berbagai alasan yang klimaks. Sehingga aku tak pernah tahu apa persoalan sebenarnya.
Tiga hari kemudian, Edo datang menghampiriku. Saat itu aku sedang duduk di taman, sepulang kuliah. Sementara Alya dan Teo pergi, kencan.
''Hei Mel, kok sendirian aja?''
''Alya kencan sama Teo''.
''Ohh..''.
''Kamu kemana aja sih? Kebiasaan buruk, ngilang berhari-hari tanpa kabar terus muncul tiba-tiba. Udah kayak Jelangkung aja!'' Ucapku, kesal.
''Kayaknya masih mending Jelangkung deh dari pada aku, hehe. Bercanda''.
''Tahu ah!!!''
''Yee jutek gitu, jangan jutek gitu dong Mel. Maaf deh, maaf''.
''Kamu tuh kenapa sih Do? Udah berapa lama kita temenan? Tapi kamu gak pernah sedikitpun terbuka sama aku. Berlagak gak punya masalah, padahal aku tuh yakin banget kalau kamu lagi punya banyak masalah. Setiap kamu gak kuliah, terus aku tanya kenapa, kamu selalu bilang gak apa-apa lah, ada urusan penting lah. Kamu bohong Do! Iya kan? Kamu tuh...'' Belum sempat aku selesai bicara, Edo memotongnya.
''Kamu tuh apa? Udahlah Mel, kamu gak akan ngerti!''
''Emang aku gak ngerti, karena kamu ak pernah ngomong apa-apa!''
''Terus kalau aku cerita ke kamu atau ke yang lainnya, apa masalahku bakal selesai, bakal ilang gitu aja? Gak kan?''
''Ya, gak gitu. Tapi kan..''
''Udahlah Mel, gak usah pusing-pusing mikirin masalah aku. Lagi pula hak aku dong mau cerita atau gak, toh kamu bukan siapa-siapa aku. Yang bisa ngerti masalah aku, ya cuma aku''.
Aku langsung terpukul dengan kata-kata Edo. Seketika itu juga buliran bening menetes di celah-celah mataku. Aku kembali melihat gelap yang sangat menggelapkan. Hatiku sakit, batinku tiba-tiba meradang. Ingin berlari sekencang-kencangnya hingga tak ada yang mampu mengejar.
''Mel, maaf Mel. Aku gak bermaksud...'' Ucap Edo.
''Aku emang bukan siapa-siapa kamu, seharusnya aku sadar itu. Aku emang gak ada hak buat tanya ini tiu sama kamu. Aku cuma patung di mata kamu. Ya, emang aku patung. Itu sebabnya kenapa aku gak mampu berpikir bagaimana mungkin seorang patung menanyakan suatu hal atau bahkan berbicara sepatah kata dengan manusia sejati tapi memiliki hatu batu seperti kamu!'' Ujarku dengan suara bergetar karena menahan tangis.
''Mel..''
''Udahlah Do, sekarang aku pengen sendiri!''
''Maafin aku Mel''.
Aku pengen seniri! Mendingan kamu pergi dan jangan muncul-muncul lagi! Ngerti?''
''Yaudah aku pergi, tapi kamu hati-hati ya!'' Edopun pergi dengan wajah penuh sesal.
Bagaikan menyambung nyawa tanpa pengait, aku benar-benar teruncang. Seharusnya aku tak pernah berharap lebih. Harapanku hanya berakhir kosong. Selama ini aku terlalu percaya diri bahwa Edopun memiliki perasaan yang sama terhadapku. Tapi kenyataannya aku bukanlah siap-siapa di mata Edo. Apa ini yang dinamakan cinta bertepuk sebelah tangan?
Bom Atom tengah meledak di dalam hatiku
Lalu bagaimana mungkin aku tak hancur?
Aku yang dulu melayang karenamu
Kini telah terjatuh, juga karenamu
Lalu bagaimana mungkin aku tak patah?
Bumbungan yang tinggi kini telah merendah
Salahkah aku jatuh cinta?
Kau tutup segala pintu yang pernah terbuka lebar
Kenapa tak kau bunuh saja cinta ini?
Agar aku tak pernah berharap yang tak mengharap
Dua hari berlalu, aku belum bisa melupakan kejadian dua hari yang lalu. Pernyataan Edo benar-benar telah menghancurkan hatiku.Kenapa tak dari awal saja Edo menjauhiku? Kenapa dia mendekatiku, sedangkan dia tak pernah menganggapku siapa-siapa? Lantas apa arti pertemanan selama ini? Edo hanya menganggapku, Alya, dan Teo hanyalah patung yang bisa dia bawa ke mana-mana tanpa dia ajak bicara. Dan tepat hari ini aku berjanji akan menemani Alya berbelanja. Beberapa saat kemudian, Alyapun datang.
''Mel, kita naik Taxi aja ya...mobilku lagi di bengkel soalnya'' Ujar Alya.
''Iya, yaudah yuk ah berangkat! Keburu badmood lai ntar''.
''Iya, iya...yuk! Kenapa sih suntuk gitu mukany? Dua hari libur kuliah, masih aja suntuk!''
''Gak kok, gak apa-apa''.
''Oh ya, dua hari yang lalu kamu ketemu Edo? Soalnya pas aku jalan sama Teo, Teo bilang Edo nyariin kamu''.
''Iya''.
''Terus dia bilang apa Mel? Dia nembak kamu ya? Hehe..''
''Iya dia nembak aku, sampe sakit banget nih hati! Puas?''
''Yee, serius!''
''Aku serius kok'.
''Cerita dong! Kok diem aja sih kalau kalian udah jadian. Uhh jahat!''
''Siapa yang jadian? Gak kok?''
''Kamu tolak dia? Parah kamu Mel!''
''Dia tuh yang parah''.
''Maksud kamu Mel?''
Saat itu juga aku menceritakan kejadian dua hari yang lalu di taman. Sontak Alyapun kaget.
''Apa? Edo bilang gitu? Wah parah tuh anak''.
''Bener kan dia yang parah, bukan aku?''
''Terus kamu bilang apa ke dia?''
''Aku kesel Al, aku langsung nyuruh dia pergi''.
''Bener-bener tuh anak. Kalau kamu nganggep kamu bukan siapa-siapa, berarti dia juga gak nganggep aku sama Teo. Terus selama ini kita apa? Pertemanan kita selama ini, dia anggap gak ada artinya?''
''Entahlah, tanya aja sendiri ke orangnya!''
Alya tampak sangat kesal, sedikit berbeda denganku. Karena selain kesal, aku juga merasakan sakit yang sangat dalam. Aku kembali merasakan angan tak sampai, dalam percintaan.
Hari-hari berikutnya Edo tak pernah lagi menampakkan diri di hadapanku. Timbul rasa rindu yang berjubel di relungku. Aku kesal, aku hancur, aku sakit hati tapi perasaan cinta dan syang ini masih menyemuti hatiku. Berhari-hari, berminggu-minggu bahkan sudah lebih satu bulan aku tak bertemu dengan Edo. Rindu ini tak bisa kubendung lagi. Hingga kuputuskan untuk menghampiri Edo di kelasnya. Tapi apa yang ku dapat? Pernyataan yang membuatku tercangang. Seorang temannya berkata bahwa, Edo tidak kuliah selama satu bulan ini. Tak ada yang tahu di mana dan ke mana Edo. Timbul lagi rasa sesal itu, aku menyesali kejadian satu bulan yang lalu. Tak semestinya aku berkata agar dia tak muncul lagi di hadapanku. Oh Tuhan...aku merasa sangat kehilangan dia.
''Gimana Mel, Edo ada di kelasnya?'' Tanya Amel sekembalinya aku dari kelas Edo.
''Gak ada Al'' Jawabku lemas.
''Loh, ke mana?''
''Temennya bilang, dia udah satu bulan ini gak kuliah''.
''Apa? Kok sampe selama itu? Biasanya kan paling lama dia bolos tuh ya cuma empat sampe lima hari''.
''Parahnya lagi, ak ada seorangpun dari temannya yang tahu di mana dan ke mana Edo''.
''Wah Teo juga pasti kaget nih kalau tahu kabar ini''.
''Emang kapan Teo balik?''
''Bulan depan Mel. Dia masih harus nyelesein proyeknya. Masi ada dua kota lagi yang belum dia observasi''.
''Aku merasa bersalah sama Edo, Al''.
''Loh, kok jadi merasa bersalah?''
''Iya, kan waktu itu aku bilang ke dia buat gak muncul-muncul lagi. Sekarang dia bener-bener pergi, Al. Harusnya waktu itu aku lebih bisa ngontrol emosi aku. Setelah aku pikir-pikir lagi, emang bener kok apa yang dibilang Edo. Dia punya hak buat cerita atau gak tentang masalahnya ke kita. Cuma waktu itu akunya aja yang terlalu maksa. Jadi Edo kesal, terus bilang kayak gitu. Aku nyesel Al. Aku gak mau kehilangan Edo''.
''Kehilangan Edo? Maksud kamu?''
''Aku sayang Al sama dia, aku cinta sama dia''.
''Ya Tuhan, Amel? Kenapa kamu gak bilang dari awal? Yaudah, yaudah...jangan sedih gitu ya! Kita nanti cari Edo bareng-bareng. Aku pasti bantu kamu Mel. Sabar ya sayang!''
''Iya Al, thanks ya..kamu emang sahabat aku.''
Sudah dua minggu kemudian, Edo belum juga muncul. Dan sudah tepat dua bulan aku tidak bertemu Edo. Entah apa yang sedang ia lakukan. Aku sangat menghawatirkannya, selin itu rindu dan rasa sesal ini terus berkecamuk memenuhi heri-hariku. Hingga pada suatu hari, Alya menunjukkan alamat sepupu Edo padaku. Hanya alamat sepupunya yang ia dapat, sementara alamat rumah Edo tidak ada yang tahu. Pihak kampus rupanya telah diminta Edo untuk tidak memberikan alamatnya kepada siapapun. Aku dan Alya saat itu juga pergi ke rumah sepupu Edo. Dan beruntung orang yang kami tuju saat itu sedang berada di rumah.
''Oh jadi kalian ke sini, nyari Edo?'' Ujarnya setelah aku dan Alya menjelaskan maksud kedatangan kami ke rumahnya.
''Iya, kita nyari Edo. Kamu tahu di mana Edo?'' Tukas Alya.
''Yang namanya Amel, mana?'' Tanya sepupu Edo
''Aku Amel, ini Alya'' Jawabku.
''Oh..jadi kamu yang selama ini ditaksir Edo?''
''Maksud kamu?'' Tanyaku penuh heran dan penasaran.
''Edo banyak cerita tentang kamu. Dia cinta banget sama kamu. Tapi ada satu hal yang membuat dia gak bisa terusterang ke kamu''
''Apa?'' Serentak Aku dan Alya bertanya.
''Kisah hidupnya. Banyak yang kamu gak tahu tentang Edo. Tiga tahun yang lalu, usaha ayahnya bangkrut. Rumah mereka disita Bank. Lalu mereka pindah ke rumah kontrakan. Di situasi yang masih sulit, ternyata ayahnya selingkuh dengan wanita kaya raya yang usianya jauh di atasnya. Kemudian ayahnya menceraikan ibunya, karena ia memilih menikah dengan wanita selingkuhannya. Sejak perceraian itu, ibunya sangat terpukul dan menjadi sering sakit-sakitan. Edo berusaha tegar. Dia mati-matian untuk bisa menyambung hidup. Dia kemudian memutuskan kerja sambil kuliah. Merasa tabungannya semakin menipis, dia memutuskan pindah kontrakan. Dia pindah ke kontrakan di kawasan kumuh. Itu sebabnya ia selalu merahasiakan di mana dia tinggal. Sejak saat itu kuliahnya jadi keteteran. Dia sering gak kuliah karena harus bekerja atau karena harus menjaga ibunya yang sakit. Dan dua bulan yang lalu, ibunya meningal, bunuh diri. Nampaknya ibu Edo masih depresi atas kejadian-kejadian yang menimpa keluarganya. Terlebih lagi mendapati laki-laki yang sangat di cintainya selingkuh, dan menceraikannya kemudian menikah dengan selingkuhannya. Puncak kesabaran Edo terhenti sejak kepergian ibunya. Edo menjadi berubah sangat drastis. Sang ibu yang selama ini menjadi satu-satunya alasan untuk dia menyambung hidup, telah pergi. Setelah dua minggu dia mengurung diri sejak kematian ibunya, Edo pergi. Aku juga gak tahu dia ke mana. Sampai saat ini aku belum juga mendapat kabar dari Edo. Aku udah coba cari tahu sana sini, tapi hasilnya nihil'' Jelas sepupu Edo, panjang lebar.
Pernyataan sepupu Edo membuatku semakin terjuntai lemah. Tak ada yang mampu menghalangiku untuk tidak menangis di sepanjang siang dan malam. Aku semakin merasa kosong. Edo yang selama ini mengisi kekosonganku, telah pergi entah ke mana. Tangis memecah, tak dapat tertahan. Kenyataan ini telah melumpuhkanku, melumpuhkan hati dan pandangku. Aku semakin tak punya daya.
''Mel, jangan kayak gini terus dong! Udah seminggu kamu ngurung diri kayak gini. Aku kangen kamu yang kayak biasanya. Ini bukan kamu, Mel. Kamu jangan kayak gini dong Mel!'' Bujuk Alya.
''Edo mana Al?'' Desirku.
''Mel, Edo pasti kembali kok, percaya deh! Tuhan lagi menguji kesabaran kamu. Kalau kamu kayak gini, gimana kamu bisa ketemu Edo? Yang sabar ya sayang! Kalau memang jodoh, kalian pasti dipertemukan lagi kok. Please Mel kamu jangan kayak gini terus. Kamu sama aja nyiksa diri kamu sendiri. Orangtua kamu juga aku merasa tersiksa juga lihat kamu kayak gini terus'' Alya berkata sambil memelukku erat.
Hari berganti hari, aku mencoba hadirkan semangat itu lagi. Ku coba tata kembali hidupku tanpa Edo. Hingga tahun berganti, Edo belum juga muncul. Sekalipun aku telah lama tak berjumpa dengan Edo, tapi wajah dan setiap geriknya tak pernah lepas dari pandanganku. Hinga tiga tahun berlalu, dan tiba saatnya aku resmi mendapat gelar S1, seharusnya Edo juga ada dan mendapatkan gelar S1 juga sepertiku dan mahasiswa lainnya. Tapi kehidupan terus berjalan. Tiga tahun kemudian, Alya dan Teo resmi menikah, dan hijrah ke Thailand. Teo mendapat tugas kerja di sana. Sebagai seorang istri, Alyapun harus mendampingi suami.
Melihat teman-temanku telah berkeluarga, kedua orangtuaku resah. Mereka mendesak aku untuk segera menikah. Suatu hari mereka memperkenalkanku dengan seorang pengusaha yang ayahnya ialah seorang Kyai terkemuka di Jawa. Dia bernama Fajar. Satu bulan kemudian, Fajar dan keluarganya datang ke rumah untuk melamarku. Aku dan keluargaku menerima lamaran mereka. Satu bulan berikutnya, kami resmi menjadi pasangan suami istri. Fajar sangat menyayangiku, tutur katanya sangat lembut. Dia benar-benar soleh. Aku sangat bersyukur kepada Tuhan yang telah mengirimkan jodoh sebaik dan sesoleh Fajar. Tapi aku masih belum bisa lepas dari bayang-bayang Edo. Tuhan, jangan biarkan aku mendustai suamiku, jodoh yang telah kau kirimkan untuk ku. Anugerahilah aku rasa sayang, cinta, dan kasih yang tulus untuknya Tuhan! Jangan biarkan dia terluka karena bayang-bayang masa lalu ku.
''Dik'' Itulah panggilan sayang Fajar untuk ku.
''Iya Mas?'' Dan dengan panggilan itulah aku menghormati suamiku.
''Besok rencananya Mas mau ke luar kota, ada meeting di sana untuk beberapa hari. Berkenankah Adik ikut?'' Ujarnya, lembut.
''Tentu saja Mas. Insya Allah, aku ikut'' Jawabku.
''Alkhamdulillah. Makasih ya Dik'' Balasnya, sementara aku membalas dengan senyuman.
Di pagi yang begitu sejuk, kami telah bersiap berangkat ke Surabaya. Sepanjang perjalanan, suasana di dalam mobil terasa sunyi. Fajar begitu konsentrasi memacu mobilnya. Sedangkan aku lebih memilih diam, karena tidak ingin memecah konsentrasinya. Tiba-tiba dari kejauhan aku melihat seorang pria berdiri di trotoar, tepat di samping tempat sampah. Ia berpakaian compang camping, pandangannya kosong, sesekali ia tersenyum, entah kepada siapa ia tersenyum. Tempat sampah di sampingnya, bahkan ia ajak berbicara. Mataku terus tertuju pada laki-laki yang bergangguan jiwa itu. Sepertinya aku mengenalinya. Dan terang saja, semakin dekat demakin jelas ku lihat wajahnya.
''Edo?'' Ucapku pelan.
''Kenapa Dik?'' Tanya Fajar, heran.
''Stop Mas! Stop! Kita minggir sebentar, itu, itu, di situ!'' Aku meminta Fajar menghentikan mobilnya.
Mobilpun berhenti, tapi aku tak beranjak dari dalamnya. Aku membuka kaca jendela. Dan seketika itu juga air mataku menetes lagi untuk Edo.
''Dik, kenapa menangis?''Tanya Fajar, semakin heran.
''Edo'' Jawabku, lirih.
''Siapa Edo?''
''Laki-laki itu'' AKu menunjuk ke arah Edo.
''Astahfirullahaladzim, Adik mengenalinya?''
''Iya Mas''.
Akupun kemudian menceritakan panjang lebar tentang Edo kepada Fajar. Juga termasuk tentang perasaanku terhadap Edo dari dulu sampai sekarang.
''Begitula Mas, maafin aku Mas!''
''Loh, kenapa minta maaf Dik?''
''Maafin aku, karena sampai saat ini pun aku masih dibayang-bayangi Edo. Selain karena rasa sayang ini, juga karena aku ngrasa bersalah sama Edo. Aku gak mau hianatin kamu, Mas''.
''Saya mengerti Dik, justru saya berterimakasih karena Adik sudah jujur. Yang lalu biarlah berlalu. Jadikan kisah Edo pelajaran bagi kita yang masih dikaruniai akal yang sehat. Dan tentang perasaan Adik kepada Edo biarlah menjadi kenangan manis. Adik harus bisa membuka lembaran baru. Saya mencintai dan menyayangi Adik, tulus'' Ucapnya, tenang dan menenangkan.
''Aku juga mencintaimu, Mas. Makasih ya''.
Kemudian Fajar memelukku. Ia mencoba menenangkanku yang masih terisak dalam tangis. Sementara di seberang sana tampak petugas RSJ mengejar-ngejar Edo yang mencoba kabur. Selang beberapa detik, tubuh Edo terpental diterjang BMW yang sedang melaju kencang. Aku langsung tersentak, dan teriak.
''Edo..!!!!!'' Sambil ke luar dari mobil dan berlari ke arah Edo. Fajarpun ikut bergegas mendekati Edo. Tubuhku seketika lunglai melihat Edo terkapar tak bernyawa dengan berlumuran darah. Fajar begitu kuat menopang tubuhku.
''Inalillahiwainailaihiraji'un...'' Ucap Fajar. Sementara aku tak henti-hentinya menangis.
''Edo...'' Lirihku.
''Ikhlaskan kepergiannya, Dik!''
''Mas, aku boleh minta satu hal?''
''Insya Allah, apa itu Dik?''
''Kita urus jenazahnya ya, kita urus pemakamannya. Hanya itu yang bisa aku lakukan buat nebus rasa bersalah aku, Mas. Kasihan Edo.
, dia udah gak punya siap-siapa lagi. Ayahnya entah di mana. Nanti baiar aku menghubungi sepupunya yang di Jakarta''.
''Tentu saja Dik'.
Aku dan Fajar memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan. Kami segera mengurus jenazah dan pemakaman Edo. Pada sore harinya, Edo di kebumikan di samping mendiang ibunya di TPU Bekasi, Jawa Barat. Keluara Edo yang hadir di pemakaman hanya sepupu dan tantenya.
Keesokkan harinya di pagi yang basah karena embun, aku masih berbaring di tempat tidur. Malam yang tampak gelap, telah berganti dengan pagi yang amat dingin. Hatiku begitu menggigil menyambut pagi ini.
''Amel, udah siap belum? Alya udah dateng ni'' Suara ibu dari kejauhan terdengar samar di telingaku.
''Alya, kamu masuk aja gih ke kamarnya. Barangkali Amel masih tidur, soalnya tadi malam dia begadang'' Seru ibu kepada Alya.
Alyapun baranjak ke kamarku. Sontak Alya kaget, mendapatiku masih berbaring di tempat tidur.
''Ya ampun Amel...!!!! Udah jam berapa itu lihat!!! Ayo bangun, bangun, bangun!!!'' Alya mambangunkanku sambil menggoncang-goncang tubuhku.
Sebenarnya aku sudah terbangun, tapi aku merasakan semangatku hilang entah kemana. Gigilan hati ini begitu sangat ku rasakan. Aliran darahku seakan berhenti, membeku.
''Iya, iya Al...aku udah bangun kok'' Ucapku malas.
''Hei kamu kenapa sih gak kayak biasanya? Kok jadi malas gini. Ayo cepat mandi! Hampir telat ni'' Ujarnya.
''Aduh..males banget nih hari ini'' Keluhku sambil mengusap kedua mataku.
''Amel, dari awal kan kamu yang menggebu-gebu pengen kuliah di situ. Sekarang mana semangat kamu? TIngal tahap akhir loh, selangkah lagi. Hari ini kita tes wawancara, abis itu udah deh tinggal nungu hasil'' Alya berusaha menyamangatkanku.
Biasanya saat Alya semangat, aku akan lebih semangat. Dan jika Alya mencoba memberiku semangat, aku akan segera berdiri untuk menjadi orang yang paling semangat. Tapi kali ini ku rasakan sangat berbeda. Suport yang Alya berikan justru mencabik-cabik perasaanku. Aku berang, pilar yang selama ini ku genggam justru meruntuhkanku.
''Iya udah aku mandi dulu'' Aku beranjak dari tempat tidur. Baru beberapa langkah saja, Alya membuatku tersentak. Langkahku terhenti saat kata-kata itu keluar dari mulutnya.
''Cepat ya mandinya, Teo udah nunggu di luar tuh. Kasihan dia kalau harus nunggu lama, lagi pula takut gak keburu. Hehe...'' Ucapnya.
''Tuhan...kenapa harus seperti ini? Sudah cukup terpukul aku dengan pengakuan merka, kemarin. Kenapa hari ini aku harus menyaksikan mereka berjalan beriringan? Aku tak sanggup melihat kebersamaan itu'' Gumamku, lantas melanjutkan langkahku dan menjawab perkataan Alya dengan tenang, ''Iya, bentar kok mandinya gak lama''.
Dua hari kemudian aku mendapat kabar bahwa aku, Alya dan Teo dterima di Universitas yan selama ini kita impikan. Sekali lagi aku dihadapkan dengan kenyataan yang sulit ku raba. Kabar bahagia yang justru membuatku semakin tersungkur. Malam demi malam ku lalui dengan diam, merenung dan mencoba membawa hati ini dalam kedamaian. Sesekali aku bawa isi hati ini ikut menari bersama pena di atas kertas.
Aku dan malam-malamku
Selalu berjelaga menapaki ketiadaberdayaan ini
Kaulah bunga mawar putih
Dan dia melati
Kau dan dia saling bermekaran
Sedangkan aku hanya layu dalam angan
Apalah arti perasaanku dibandingkan kalian
Hanya saja hati ini belum mampu menerima pahit yang terlihat manis
Aku selalu saja menangis
Alya, Kau tetap sahabatku walau saat ini ada kesal di hatiku
Teo, aku menyayangimu tapi sayanilah Alya sepenuh hatimu
Hari-hari pertama kuliahku ku rasakan tak ada yang istimewa. Aku satu kelas lagi dengan Alya. Empat tahun aku dan Alya ditempatkan dalam satu kelas yang sama. Sejak SMP sampai lulus SMA. Hari berganti hari, aku sudah bisa menerima hubungan Alya dengan Teo. Tapi sampai saat ini merka tak pernah tahu perasaan apa yang sebenarnya aku miliki untuk Teo. Aku hanya ingin semua ini berjalan tanpa merusak persahabatanku dengan Alya. Aku hanya butuh waktu untuk bisa benar-benar menerima. Dan berharap akan ada seseorang yang dpat menggantikan posisi Teo, yang tulus menyayangiku apa adanya.
''Al, makan yuk!'' Ajakku kepada Alya.
''Ayo, tapi aku ke toilet bentar ya. Kamu duluan aja ke kantin. Atau kalau gak, kamu samperin Teo dulu, gimana? Hehe...''
''Ihh..ogah ah. Gila aja, kelas Teo kan lumayan jauh. Mending aku langsung ke kantin aja deh''.
''Hahaha, bercanda kali. Ya udah nanti pesenin bakso super pedas ya sama jus melon. Ok..ok...!''
''Siippp''.
Akupun berjalan menuju kantin. Sendiri aku melangkah melewati ruang-ruang yang telah lama berdiri. Di antara gemuruh suara orang-orang di sekitarku, ada yang ganjal. Sepanjang aku berjalan, seperti ada yang mengikutiku. Lantas aku menoleh ke belakang.
''Hallo..'' Seorang pria berdiri tepat di belakangku dan menyapaku.
Aku menghentikan langkahku.
''Iya, ada apa ya kok dari tadi ngikutin aku?'' Tegurku.
''Bukan, bukan, bukannya aku ngikutin kamu. Tapi aku mau tanya. Oh ya kenalin, aku Edo'' Sambil menyodorkan tangannya.
''Aku Amel. Udah langsung aja maksud kamu tuh apa?''
''Jangan sewot gitu dong, aku mau tanya ruang seni di mana ya? Kebetulan pas OSPEG aku gak ikut, jadi gak tau deh di mana ruang kesenian''.
''Ohh ruang seni. Tuh di lantai dua'' Jawabku.
''Ok, thanks ya. Kamu mau ke mana?''
''Ke kantin. Ya udah ya aku duluan, udah ditunggu soalnya''.
''Ok, sampai ketemu lain waktu ya''.
Kakiku kembali melangkah.
Hari telah berlalu. Setelah pertemuan itu, pertemuanku dengan Edo maksudku. Entah kenapa bayanan wajah Edo terus nampak di tiap pandangku. Ada rasa yang tak biasa. Entah itu perasaan suka, atau hanya perasaan yang mudah hilang. Tapi timbul di banakku suatu keinginan untuk bisa lebih mengenal dia. Aku menunggu saat-saat bertemu dia kembali. Tapi naas, hari berganti hari bahkan sudah dua minggu pertemuan itu tak juga datang menghampiriku. Kenapa rindu ini harus ada untuk seseorang yang baru sepintas ku kenal? Tak biasanya aku mengalami hal seperti ini.
''Hei, Mel!'' Alya tiba-tiba datang mengagetkanku saat ku duduk di taman.
''Ahh ngagetin aja sih kamu Al! Mana, katanya beli minum?''
''Lagian tengah hari bolong gini melamun. Minumnya ditunda dulu. Hehe...tadi ada yang nyariin kamu tuh. Makanya aku gak jadi beli minum''.
''Loh, emang apa hubungannya? Kalau ada yang nyari aku ya udah kamu bilang aja aku ada di taman. Terus kamu lanjut jalan, beli minum. Gampang kan? Ada-ada aja sih kamu Al''.
''Ya iya, tapi aku tuh cuma gak mau kamu kaget aja. Soalnya bentar lagi orangnya ke sini. Nah, tuh tuh tuh orangnya! Ya udah aku aku beli minum dulu. Kali ini beneran beli minum deh, hehe. Daaghhh!''
Alyapun beranjak membeli minum. Sementara aku masih terduduk dengan mata yang tiba-tiba sulit kukedipkan. Hatiku dijubeli pertanyaan. Siapa yang aku lihat sekarang? Dia semakin mendekatiku. Benarkah itu Edo? Tuhan, apa aku sedang bermimpi? Kenapa getaran dahsyat menguasai hati ini? APa yang terjadi?
''Ehemm..'' Edo duduk di sampingku.
''Eh kamu?'' Aku tersentak.
''Kaget ya? Maaf ya udah ngagetin''.
''Iya, gak apa-apa kok''.
''Apa kabar Mel? Lama nih gak ketemu''.
''Oh baik, baik, baik kok, baik. Iya aku baik-baik aja'' Dengan gugup aku menjawab.
''Syukurlah kalau kamu baik-baik aja. Tapi kok gugup gitu, kenapa Mel?''
''Tuhan...., tolong aku. Amel, ayo kamu bisa! Tarik napas, lepaskan! Tarik napas, lepaskan!'' Desirku dalam hati.
''Mel, kok diem? Kamu kenapa?''
''Gak, gak, aku gak apa-apa''.
''Bener?''
''Iya, bener kok. Tenggorokkanku seret, dari tadi Alya beli minum gak dateng-dateng''.
''Oh..kebetulan, nih aku bawain minum buat kamu''.
''Gak usah, gak usah repot-repot. Makasih, bentar lagi Alya juga dateng kok''.
''Gak apa-apa. Nih! Lagian aku udah niat beliin buat kamu kok''.
''Ok, thanks ya. Oya, kata Alya kamu nyariin aku ya? Ada apa?''
''Alya?''
''Iya, Alya temenku. Tuh dia anaknya'' Aku menunjuk ke arah Alya.
''Nih Mel, minumnya'' Alya menyodorkan minuman.
''Udah telat, aku keburu kembung'' Tukasku.
''Loh, kok kembung? Kan belum minum?'' Ucapnya, heran.
''Yee sok tahu! Aku udah minum, tadi. Laian kamu lama banget sih! Nyamperin Teo dulu deh pasti!'' Ujarku, kesal.
''Gak kok...orang kita ketemu di kantin, tadi'' Jawabnya.
''Hei Bro, apa kabar? Ke mana aja baru keliatan?'' Ujar Teo kepada Edo.
''Biasalah Bro, urusan penting perusahaan'' Di susul gelak tawa akrab mereka.
''Loh, kalian udah saling kenal?'' Tanyaku.
''Iya Mel, aku kenal Edo pas di Seminar bulan lalu'' Jawab Teo.
''Ohh...Al. kenalin ini Edo. Edo ini Alya, sahabatku yang paling nyebelin!''
''Hei...aku Edo'' Sambil menyodorkan tangan.
''Alya'' Sambut Alya.
Hari-hari berikutnya aku, Alya; Edo, dan Teomenjadi lebih akrab. Bahkan kami sering pergi bersama. Entah sekedar nonton di 21, makan-makan di Cafe atau sekedar duduk-duduk di pinggir taman kota. Aku merasa nyaman dengan kebersamaan itu. Tapi getaran itu belum juga hilang saat aku dekat dengan Edo. Terlebih lagi saat Edo memberikan perhatian lebih kepadaku. Ya, aku tak dapat memungkiri bahwa posisi Teo di hatiku kini telah menjadi milik Edo.
Dear Edo
Gelap yang menggelapkanku kini hilang karenamu
Kau telah mencabut sembilu yang menancap tepat di relung hatiku
Buliran air mata telah kau ubah menjadi titik-titik sinar yang mambuatku
mampu menatap dunia
Indahnya saat bersamamu membuatku selalu ingin dekat denganmu
Tapi lidahku masih kelu tuk sekedar mengucapkan
''Aku mencintaimu''
Aku selalu berharap Edo juga memiliki perasaan yang sama terhadapku. Tapi sekali lagi aku hanya bisa memendam perasaan ini. Aku tak pernah bisa mengucapkan sayang atau cinta kepada seorang pria. Di sisi lain aku tak mau kebodohanku terulang kembali. Aku tak mau cintaku pupus untuk yang kesekian kalinya. Aku harus mangatakan secepatnya kapada Edo. Hatiku benar-benar beradu dengan pikiranku, yang berkata lain. Antara aku harus berkata atau tidak, itu yang menjadi pergulatan di dalam hati dan pikiranku.
Setiap jam istirahat, aku dan ALya selalu menyempatkan diri untuk duduk di taman. Biasanya Teo dan Edo akan menghampiriku dan Alya.
''Mel, kalau aku perhatiin nih ya...kayaknya Edo jatuh cinta deh sama kamu'' Ujar Alya, dan membuatku tiba-tiba tersendak.
''Ups...sorry Mel, sorry. KAmu gak apa-apa kan? Pelan-pelan minumnya, keselek kan jadinya!'' Ucap Alya sambil memukul-mukul pelan punggungku.
''Udah, udah gak apa-apa kok. Lagian kamu ngomong kayak gitu, ngaco! Bikin aku keselek, tahu!'' tegasku.
''Ihhh tapi bener kok!''
''Tahu dari mana Alya? Ini anak kalau ngomong suka ngarang-ngarang. Mending kamu jadi pengarang cerita aja sana, di sinetron-sinetron tuh! Lumayan kan upahnya bisa buat traktir aku...hahahahaha''.
''Siapa yang ngarang? Ini tuh buka ngarang, tapi menerawang!''
''Emangnya kamu Paranormal bisa nerawang? Huu!''
''Kalau bukan cinta, apa coba? Tiap hari perhatian banget sama kamu. Terus setiap kamu sakit, dia yang paling khawatir setengah mati. Kamu lecet sedikit aja, dia paniknya gak ketulungan. Apa coba kalau bukan cinta?''
''Entahlah..'' Jawabku, santai.
''Ihh Amel, kamu gak boleh diem aja! Ayo don bertindak!''
''Bertindak?''
''Iya kamu harus tanya tentang persaan dia ke kamu!''
''Kenapa harus aku yang tanya? Dia dong yang seharusnya bilang sendiri, tanpa ditanya''.
''Atau perlu aku yang tanya?''
''Gak usah, buat apa?''
''Ya buat memperjelas hubungan kalian dong. Nah, tuh Teo. Sayang, Edo mana? Kok sendirian sih?'' Ujar Alya kepada Teo.
''Edo gak kuliah lagi hari ini'' Jawab Teo.
''Tu anak kenapa sih sering banget gak kuliah? Tiap kali ditanya, jawabnya ada urusan penting. Tapi gak pernah bilang urusan pentingnya tuh apa'' Ujarku.
''Ciyee, ada yang penasaran nih ye....'' Sindir Alya.
''Biasa aja'' Jawabku.
Memang ada satu hal yang tidak aku sukai dari Edo. Dua tahun kami berteman dekat, tak sedikitpun Edo mencoba membuka diri. Dia selalu ingin tampak baik-baik saja. Tapi hatiku berkata lain, seperti ada yang Edo sembunyikan. Kerapkali Edo tidak kuliah berhari-hari. Setiap aku menanyakan kenapa, dia akan selalu berkata tidak apa-apa, ada urusan penting dan berbagai alasan yang klimaks. Sehingga aku tak pernah tahu apa persoalan sebenarnya.
Tiga hari kemudian, Edo datang menghampiriku. Saat itu aku sedang duduk di taman, sepulang kuliah. Sementara Alya dan Teo pergi, kencan.
''Hei Mel, kok sendirian aja?''
''Alya kencan sama Teo''.
''Ohh..''.
''Kamu kemana aja sih? Kebiasaan buruk, ngilang berhari-hari tanpa kabar terus muncul tiba-tiba. Udah kayak Jelangkung aja!'' Ucapku, kesal.
''Kayaknya masih mending Jelangkung deh dari pada aku, hehe. Bercanda''.
''Tahu ah!!!''
''Yee jutek gitu, jangan jutek gitu dong Mel. Maaf deh, maaf''.
''Kamu tuh kenapa sih Do? Udah berapa lama kita temenan? Tapi kamu gak pernah sedikitpun terbuka sama aku. Berlagak gak punya masalah, padahal aku tuh yakin banget kalau kamu lagi punya banyak masalah. Setiap kamu gak kuliah, terus aku tanya kenapa, kamu selalu bilang gak apa-apa lah, ada urusan penting lah. Kamu bohong Do! Iya kan? Kamu tuh...'' Belum sempat aku selesai bicara, Edo memotongnya.
''Kamu tuh apa? Udahlah Mel, kamu gak akan ngerti!''
''Emang aku gak ngerti, karena kamu ak pernah ngomong apa-apa!''
''Terus kalau aku cerita ke kamu atau ke yang lainnya, apa masalahku bakal selesai, bakal ilang gitu aja? Gak kan?''
''Ya, gak gitu. Tapi kan..''
''Udahlah Mel, gak usah pusing-pusing mikirin masalah aku. Lagi pula hak aku dong mau cerita atau gak, toh kamu bukan siapa-siapa aku. Yang bisa ngerti masalah aku, ya cuma aku''.
Aku langsung terpukul dengan kata-kata Edo. Seketika itu juga buliran bening menetes di celah-celah mataku. Aku kembali melihat gelap yang sangat menggelapkan. Hatiku sakit, batinku tiba-tiba meradang. Ingin berlari sekencang-kencangnya hingga tak ada yang mampu mengejar.
''Mel, maaf Mel. Aku gak bermaksud...'' Ucap Edo.
''Aku emang bukan siapa-siapa kamu, seharusnya aku sadar itu. Aku emang gak ada hak buat tanya ini tiu sama kamu. Aku cuma patung di mata kamu. Ya, emang aku patung. Itu sebabnya kenapa aku gak mampu berpikir bagaimana mungkin seorang patung menanyakan suatu hal atau bahkan berbicara sepatah kata dengan manusia sejati tapi memiliki hatu batu seperti kamu!'' Ujarku dengan suara bergetar karena menahan tangis.
''Mel..''
''Udahlah Do, sekarang aku pengen sendiri!''
''Maafin aku Mel''.
Aku pengen seniri! Mendingan kamu pergi dan jangan muncul-muncul lagi! Ngerti?''
''Yaudah aku pergi, tapi kamu hati-hati ya!'' Edopun pergi dengan wajah penuh sesal.
Bagaikan menyambung nyawa tanpa pengait, aku benar-benar teruncang. Seharusnya aku tak pernah berharap lebih. Harapanku hanya berakhir kosong. Selama ini aku terlalu percaya diri bahwa Edopun memiliki perasaan yang sama terhadapku. Tapi kenyataannya aku bukanlah siap-siapa di mata Edo. Apa ini yang dinamakan cinta bertepuk sebelah tangan?
Bom Atom tengah meledak di dalam hatiku
Lalu bagaimana mungkin aku tak hancur?
Aku yang dulu melayang karenamu
Kini telah terjatuh, juga karenamu
Lalu bagaimana mungkin aku tak patah?
Bumbungan yang tinggi kini telah merendah
Salahkah aku jatuh cinta?
Kau tutup segala pintu yang pernah terbuka lebar
Kenapa tak kau bunuh saja cinta ini?
Agar aku tak pernah berharap yang tak mengharap
Dua hari berlalu, aku belum bisa melupakan kejadian dua hari yang lalu. Pernyataan Edo benar-benar telah menghancurkan hatiku.Kenapa tak dari awal saja Edo menjauhiku? Kenapa dia mendekatiku, sedangkan dia tak pernah menganggapku siapa-siapa? Lantas apa arti pertemanan selama ini? Edo hanya menganggapku, Alya, dan Teo hanyalah patung yang bisa dia bawa ke mana-mana tanpa dia ajak bicara. Dan tepat hari ini aku berjanji akan menemani Alya berbelanja. Beberapa saat kemudian, Alyapun datang.
''Mel, kita naik Taxi aja ya...mobilku lagi di bengkel soalnya'' Ujar Alya.
''Iya, yaudah yuk ah berangkat! Keburu badmood lai ntar''.
''Iya, iya...yuk! Kenapa sih suntuk gitu mukany? Dua hari libur kuliah, masih aja suntuk!''
''Gak kok, gak apa-apa''.
''Oh ya, dua hari yang lalu kamu ketemu Edo? Soalnya pas aku jalan sama Teo, Teo bilang Edo nyariin kamu''.
''Iya''.
''Terus dia bilang apa Mel? Dia nembak kamu ya? Hehe..''
''Iya dia nembak aku, sampe sakit banget nih hati! Puas?''
''Yee, serius!''
''Aku serius kok'.
''Cerita dong! Kok diem aja sih kalau kalian udah jadian. Uhh jahat!''
''Siapa yang jadian? Gak kok?''
''Kamu tolak dia? Parah kamu Mel!''
''Dia tuh yang parah''.
''Maksud kamu Mel?''
Saat itu juga aku menceritakan kejadian dua hari yang lalu di taman. Sontak Alyapun kaget.
''Apa? Edo bilang gitu? Wah parah tuh anak''.
''Bener kan dia yang parah, bukan aku?''
''Terus kamu bilang apa ke dia?''
''Aku kesel Al, aku langsung nyuruh dia pergi''.
''Bener-bener tuh anak. Kalau kamu nganggep kamu bukan siapa-siapa, berarti dia juga gak nganggep aku sama Teo. Terus selama ini kita apa? Pertemanan kita selama ini, dia anggap gak ada artinya?''
''Entahlah, tanya aja sendiri ke orangnya!''
Alya tampak sangat kesal, sedikit berbeda denganku. Karena selain kesal, aku juga merasakan sakit yang sangat dalam. Aku kembali merasakan angan tak sampai, dalam percintaan.
Hari-hari berikutnya Edo tak pernah lagi menampakkan diri di hadapanku. Timbul rasa rindu yang berjubel di relungku. Aku kesal, aku hancur, aku sakit hati tapi perasaan cinta dan syang ini masih menyemuti hatiku. Berhari-hari, berminggu-minggu bahkan sudah lebih satu bulan aku tak bertemu dengan Edo. Rindu ini tak bisa kubendung lagi. Hingga kuputuskan untuk menghampiri Edo di kelasnya. Tapi apa yang ku dapat? Pernyataan yang membuatku tercangang. Seorang temannya berkata bahwa, Edo tidak kuliah selama satu bulan ini. Tak ada yang tahu di mana dan ke mana Edo. Timbul lagi rasa sesal itu, aku menyesali kejadian satu bulan yang lalu. Tak semestinya aku berkata agar dia tak muncul lagi di hadapanku. Oh Tuhan...aku merasa sangat kehilangan dia.
''Gimana Mel, Edo ada di kelasnya?'' Tanya Amel sekembalinya aku dari kelas Edo.
''Gak ada Al'' Jawabku lemas.
''Loh, ke mana?''
''Temennya bilang, dia udah satu bulan ini gak kuliah''.
''Apa? Kok sampe selama itu? Biasanya kan paling lama dia bolos tuh ya cuma empat sampe lima hari''.
''Parahnya lagi, ak ada seorangpun dari temannya yang tahu di mana dan ke mana Edo''.
''Wah Teo juga pasti kaget nih kalau tahu kabar ini''.
''Emang kapan Teo balik?''
''Bulan depan Mel. Dia masih harus nyelesein proyeknya. Masi ada dua kota lagi yang belum dia observasi''.
''Aku merasa bersalah sama Edo, Al''.
''Loh, kok jadi merasa bersalah?''
''Iya, kan waktu itu aku bilang ke dia buat gak muncul-muncul lagi. Sekarang dia bener-bener pergi, Al. Harusnya waktu itu aku lebih bisa ngontrol emosi aku. Setelah aku pikir-pikir lagi, emang bener kok apa yang dibilang Edo. Dia punya hak buat cerita atau gak tentang masalahnya ke kita. Cuma waktu itu akunya aja yang terlalu maksa. Jadi Edo kesal, terus bilang kayak gitu. Aku nyesel Al. Aku gak mau kehilangan Edo''.
''Kehilangan Edo? Maksud kamu?''
''Aku sayang Al sama dia, aku cinta sama dia''.
''Ya Tuhan, Amel? Kenapa kamu gak bilang dari awal? Yaudah, yaudah...jangan sedih gitu ya! Kita nanti cari Edo bareng-bareng. Aku pasti bantu kamu Mel. Sabar ya sayang!''
''Iya Al, thanks ya..kamu emang sahabat aku.''
Sudah dua minggu kemudian, Edo belum juga muncul. Dan sudah tepat dua bulan aku tidak bertemu Edo. Entah apa yang sedang ia lakukan. Aku sangat menghawatirkannya, selin itu rindu dan rasa sesal ini terus berkecamuk memenuhi heri-hariku. Hingga pada suatu hari, Alya menunjukkan alamat sepupu Edo padaku. Hanya alamat sepupunya yang ia dapat, sementara alamat rumah Edo tidak ada yang tahu. Pihak kampus rupanya telah diminta Edo untuk tidak memberikan alamatnya kepada siapapun. Aku dan Alya saat itu juga pergi ke rumah sepupu Edo. Dan beruntung orang yang kami tuju saat itu sedang berada di rumah.
''Oh jadi kalian ke sini, nyari Edo?'' Ujarnya setelah aku dan Alya menjelaskan maksud kedatangan kami ke rumahnya.
''Iya, kita nyari Edo. Kamu tahu di mana Edo?'' Tukas Alya.
''Yang namanya Amel, mana?'' Tanya sepupu Edo
''Aku Amel, ini Alya'' Jawabku.
''Oh..jadi kamu yang selama ini ditaksir Edo?''
''Maksud kamu?'' Tanyaku penuh heran dan penasaran.
''Edo banyak cerita tentang kamu. Dia cinta banget sama kamu. Tapi ada satu hal yang membuat dia gak bisa terusterang ke kamu''
''Apa?'' Serentak Aku dan Alya bertanya.
''Kisah hidupnya. Banyak yang kamu gak tahu tentang Edo. Tiga tahun yang lalu, usaha ayahnya bangkrut. Rumah mereka disita Bank. Lalu mereka pindah ke rumah kontrakan. Di situasi yang masih sulit, ternyata ayahnya selingkuh dengan wanita kaya raya yang usianya jauh di atasnya. Kemudian ayahnya menceraikan ibunya, karena ia memilih menikah dengan wanita selingkuhannya. Sejak perceraian itu, ibunya sangat terpukul dan menjadi sering sakit-sakitan. Edo berusaha tegar. Dia mati-matian untuk bisa menyambung hidup. Dia kemudian memutuskan kerja sambil kuliah. Merasa tabungannya semakin menipis, dia memutuskan pindah kontrakan. Dia pindah ke kontrakan di kawasan kumuh. Itu sebabnya ia selalu merahasiakan di mana dia tinggal. Sejak saat itu kuliahnya jadi keteteran. Dia sering gak kuliah karena harus bekerja atau karena harus menjaga ibunya yang sakit. Dan dua bulan yang lalu, ibunya meningal, bunuh diri. Nampaknya ibu Edo masih depresi atas kejadian-kejadian yang menimpa keluarganya. Terlebih lagi mendapati laki-laki yang sangat di cintainya selingkuh, dan menceraikannya kemudian menikah dengan selingkuhannya. Puncak kesabaran Edo terhenti sejak kepergian ibunya. Edo menjadi berubah sangat drastis. Sang ibu yang selama ini menjadi satu-satunya alasan untuk dia menyambung hidup, telah pergi. Setelah dua minggu dia mengurung diri sejak kematian ibunya, Edo pergi. Aku juga gak tahu dia ke mana. Sampai saat ini aku belum juga mendapat kabar dari Edo. Aku udah coba cari tahu sana sini, tapi hasilnya nihil'' Jelas sepupu Edo, panjang lebar.
Pernyataan sepupu Edo membuatku semakin terjuntai lemah. Tak ada yang mampu menghalangiku untuk tidak menangis di sepanjang siang dan malam. Aku semakin merasa kosong. Edo yang selama ini mengisi kekosonganku, telah pergi entah ke mana. Tangis memecah, tak dapat tertahan. Kenyataan ini telah melumpuhkanku, melumpuhkan hati dan pandangku. Aku semakin tak punya daya.
''Mel, jangan kayak gini terus dong! Udah seminggu kamu ngurung diri kayak gini. Aku kangen kamu yang kayak biasanya. Ini bukan kamu, Mel. Kamu jangan kayak gini dong Mel!'' Bujuk Alya.
''Edo mana Al?'' Desirku.
''Mel, Edo pasti kembali kok, percaya deh! Tuhan lagi menguji kesabaran kamu. Kalau kamu kayak gini, gimana kamu bisa ketemu Edo? Yang sabar ya sayang! Kalau memang jodoh, kalian pasti dipertemukan lagi kok. Please Mel kamu jangan kayak gini terus. Kamu sama aja nyiksa diri kamu sendiri. Orangtua kamu juga aku merasa tersiksa juga lihat kamu kayak gini terus'' Alya berkata sambil memelukku erat.
Hari berganti hari, aku mencoba hadirkan semangat itu lagi. Ku coba tata kembali hidupku tanpa Edo. Hingga tahun berganti, Edo belum juga muncul. Sekalipun aku telah lama tak berjumpa dengan Edo, tapi wajah dan setiap geriknya tak pernah lepas dari pandanganku. Hinga tiga tahun berlalu, dan tiba saatnya aku resmi mendapat gelar S1, seharusnya Edo juga ada dan mendapatkan gelar S1 juga sepertiku dan mahasiswa lainnya. Tapi kehidupan terus berjalan. Tiga tahun kemudian, Alya dan Teo resmi menikah, dan hijrah ke Thailand. Teo mendapat tugas kerja di sana. Sebagai seorang istri, Alyapun harus mendampingi suami.
Melihat teman-temanku telah berkeluarga, kedua orangtuaku resah. Mereka mendesak aku untuk segera menikah. Suatu hari mereka memperkenalkanku dengan seorang pengusaha yang ayahnya ialah seorang Kyai terkemuka di Jawa. Dia bernama Fajar. Satu bulan kemudian, Fajar dan keluarganya datang ke rumah untuk melamarku. Aku dan keluargaku menerima lamaran mereka. Satu bulan berikutnya, kami resmi menjadi pasangan suami istri. Fajar sangat menyayangiku, tutur katanya sangat lembut. Dia benar-benar soleh. Aku sangat bersyukur kepada Tuhan yang telah mengirimkan jodoh sebaik dan sesoleh Fajar. Tapi aku masih belum bisa lepas dari bayang-bayang Edo. Tuhan, jangan biarkan aku mendustai suamiku, jodoh yang telah kau kirimkan untuk ku. Anugerahilah aku rasa sayang, cinta, dan kasih yang tulus untuknya Tuhan! Jangan biarkan dia terluka karena bayang-bayang masa lalu ku.
''Dik'' Itulah panggilan sayang Fajar untuk ku.
''Iya Mas?'' Dan dengan panggilan itulah aku menghormati suamiku.
''Besok rencananya Mas mau ke luar kota, ada meeting di sana untuk beberapa hari. Berkenankah Adik ikut?'' Ujarnya, lembut.
''Tentu saja Mas. Insya Allah, aku ikut'' Jawabku.
''Alkhamdulillah. Makasih ya Dik'' Balasnya, sementara aku membalas dengan senyuman.
Di pagi yang begitu sejuk, kami telah bersiap berangkat ke Surabaya. Sepanjang perjalanan, suasana di dalam mobil terasa sunyi. Fajar begitu konsentrasi memacu mobilnya. Sedangkan aku lebih memilih diam, karena tidak ingin memecah konsentrasinya. Tiba-tiba dari kejauhan aku melihat seorang pria berdiri di trotoar, tepat di samping tempat sampah. Ia berpakaian compang camping, pandangannya kosong, sesekali ia tersenyum, entah kepada siapa ia tersenyum. Tempat sampah di sampingnya, bahkan ia ajak berbicara. Mataku terus tertuju pada laki-laki yang bergangguan jiwa itu. Sepertinya aku mengenalinya. Dan terang saja, semakin dekat demakin jelas ku lihat wajahnya.
''Edo?'' Ucapku pelan.
''Kenapa Dik?'' Tanya Fajar, heran.
''Stop Mas! Stop! Kita minggir sebentar, itu, itu, di situ!'' Aku meminta Fajar menghentikan mobilnya.
Mobilpun berhenti, tapi aku tak beranjak dari dalamnya. Aku membuka kaca jendela. Dan seketika itu juga air mataku menetes lagi untuk Edo.
''Dik, kenapa menangis?''Tanya Fajar, semakin heran.
''Edo'' Jawabku, lirih.
''Siapa Edo?''
''Laki-laki itu'' AKu menunjuk ke arah Edo.
''Astahfirullahaladzim, Adik mengenalinya?''
''Iya Mas''.
Akupun kemudian menceritakan panjang lebar tentang Edo kepada Fajar. Juga termasuk tentang perasaanku terhadap Edo dari dulu sampai sekarang.
''Begitula Mas, maafin aku Mas!''
''Loh, kenapa minta maaf Dik?''
''Maafin aku, karena sampai saat ini pun aku masih dibayang-bayangi Edo. Selain karena rasa sayang ini, juga karena aku ngrasa bersalah sama Edo. Aku gak mau hianatin kamu, Mas''.
''Saya mengerti Dik, justru saya berterimakasih karena Adik sudah jujur. Yang lalu biarlah berlalu. Jadikan kisah Edo pelajaran bagi kita yang masih dikaruniai akal yang sehat. Dan tentang perasaan Adik kepada Edo biarlah menjadi kenangan manis. Adik harus bisa membuka lembaran baru. Saya mencintai dan menyayangi Adik, tulus'' Ucapnya, tenang dan menenangkan.
''Aku juga mencintaimu, Mas. Makasih ya''.
Kemudian Fajar memelukku. Ia mencoba menenangkanku yang masih terisak dalam tangis. Sementara di seberang sana tampak petugas RSJ mengejar-ngejar Edo yang mencoba kabur. Selang beberapa detik, tubuh Edo terpental diterjang BMW yang sedang melaju kencang. Aku langsung tersentak, dan teriak.
''Edo..!!!!!'' Sambil ke luar dari mobil dan berlari ke arah Edo. Fajarpun ikut bergegas mendekati Edo. Tubuhku seketika lunglai melihat Edo terkapar tak bernyawa dengan berlumuran darah. Fajar begitu kuat menopang tubuhku.
''Inalillahiwainailaihiraji'un...'' Ucap Fajar. Sementara aku tak henti-hentinya menangis.
''Edo...'' Lirihku.
''Ikhlaskan kepergiannya, Dik!''
''Mas, aku boleh minta satu hal?''
''Insya Allah, apa itu Dik?''
''Kita urus jenazahnya ya, kita urus pemakamannya. Hanya itu yang bisa aku lakukan buat nebus rasa bersalah aku, Mas. Kasihan Edo.
, dia udah gak punya siap-siapa lagi. Ayahnya entah di mana. Nanti baiar aku menghubungi sepupunya yang di Jakarta''.
''Tentu saja Dik'.
Aku dan Fajar memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan. Kami segera mengurus jenazah dan pemakaman Edo. Pada sore harinya, Edo di kebumikan di samping mendiang ibunya di TPU Bekasi, Jawa Barat. Keluara Edo yang hadir di pemakaman hanya sepupu dan tantenya.
Ketika satu bunga telah layu
maka akan tumbuh bunga-bunga baru
Aku tak pernah menyesali adanya ufuk barat
yang menenggelamkan Matahari
Karena selama bumi ini masih berputar
kan ada ufuk timur yang akan menerbitkannya kembali
Tak ada yang ku takuti lagi, dan tak akan ku lihat gelap kembali
kini telah hadir Fajar yang akan selalu bersinar
yang tak akan membiarkanku berada dalam gelap dan kegelisahan
Dan tiba saatnya kini ku bawa hatiku ke dalam damai
bersama Fajar sejati, dan bunga yang akan selalu tersemai
Selamat jalan Edo. Akan kubingkai perasaan ini. Kau yang telah tenang, akan selalu ku kenang. Kini izinkanlah aku menggapai sang Fajar, agar aku tak lagi berada dalam gelap dan kesepian.
The End
-Thanks to all-
PROFIL PENULIS
Rita Lestari akrab dipanggil Rita atau Atir. Lahir di Cirebon, pada tanggal 10 Maret 1993. Alamat Email (rita_lestari93@yahoo.co.id) Fb (aTir_b4g1@yahoo.com)
Rita Lestari akrab dipanggil Rita atau Atir. Lahir di Cirebon, pada tanggal 10 Maret 1993. Alamat Email (rita_lestari93@yahoo.co.id) Fb (aTir_b4g1@yahoo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar