SUAPAN PERTAMA UNTUK EMAK
Karya Ta_wilisTazkiyah
Sahur…Sahur…Sahur…Sahur…
Sahur…Sahur…Sahur…Sahur…
Sahur…Sahur…Sahur…Sahur…
Dung…Dung… Tok…Tok….
Iringan kentongan terdengar mendekat, suara kokokan ayam semakin jelas beriringan suara khas kodok yag tak mau ketinggalan dalam konser dini hari itu. Terhitung beberapa detik kemudian suara kentongan mulai menjauh tinggal kokokan ayam dan nyanyian kodok yang masih bertahan dalam konsernya. Ku mulai terbangun dan menyadari bahwa hari ini adalah hari pertama puasa di Bulan Ramadhan. Bergegas bangkit dari kasurku dan menuju ke dapur belakang rumah. Dengan langkah gontai ku dapati Emak sudah bangun dan sedang khusyuk bersujud. Subhanallah Emak masih sholat tahajjud.
Ku ambil air wudhu dan menyusul di samping Emak untuk sholat tahajjud. Emak yang saat itu sudah selesai beranjak menuju dapur. “Arep Nggawe Supermi sik nduk.” suara emak begitu berat ku dengar, sesekali mengusap tetesan air mata yang sempat mampir di pipi Emak.
Karya Ta_wilisTazkiyah
Sahur…Sahur…Sahur…Sahur…
Sahur…Sahur…Sahur…Sahur…
Sahur…Sahur…Sahur…Sahur…
Dung…Dung… Tok…Tok….
Iringan kentongan terdengar mendekat, suara kokokan ayam semakin jelas beriringan suara khas kodok yag tak mau ketinggalan dalam konser dini hari itu. Terhitung beberapa detik kemudian suara kentongan mulai menjauh tinggal kokokan ayam dan nyanyian kodok yang masih bertahan dalam konsernya. Ku mulai terbangun dan menyadari bahwa hari ini adalah hari pertama puasa di Bulan Ramadhan. Bergegas bangkit dari kasurku dan menuju ke dapur belakang rumah. Dengan langkah gontai ku dapati Emak sudah bangun dan sedang khusyuk bersujud. Subhanallah Emak masih sholat tahajjud.
Ku ambil air wudhu dan menyusul di samping Emak untuk sholat tahajjud. Emak yang saat itu sudah selesai beranjak menuju dapur. “Arep Nggawe Supermi sik nduk.” suara emak begitu berat ku dengar, sesekali mengusap tetesan air mata yang sempat mampir di pipi Emak.
Selesai bermunajat pada NYA, ku bergegas menuju dapur belakang.
“Nduk iki segane kari sithik. Di bagi wae ya. Emak wis ra nduwe beras.” Emak menuangkan nasi di piring-piring membaginya menjadi lima bagian.
“Nggih mak” Jawabku singkat. Seketika linangan air mata nyaris terjatuh. Cepat ku mengusapnya tak mau Emak melihat menangis.
“Mak.. sudah matang belum mienya?” Ku mendekat hingga berda di samping Emak. Emak yang saat itu dengan sigap membagi mie itu pada lima piring yang sudah berjajar di meja makan.
“Lho mak kok Cuma lima piring? Emak nggak sahur?” Tanya ku
“Emak nggak usah makan nduk.. Emak cukup minum air putih saja. Udah..sana bangunkan adik-adikmu sama Bapakmu. Ayo kita sahur.” Senyum Emak mengembang.
Aku bergegas pergi dari samping Emak. Bukan apa-apa hanya saja air mata ini tak bisa ku tahan lagi. Hingga sesaat ku terdiam di kamar sebelum membangunkan adik-adikku.
“Ya Rabb…kuatkanlah hamba.” Desahku saat itu.
Ya..itu lah sedikit gambaran tentang sifat Emak yang selalu mengalah untuk anak-anaknya. Lebih dari itu bagiku Emak adalah sosok yang tangguh tak pernah mengenal kata lelah dalam hidupnya. Apalagi lelah untuk memperjuangkan putra-putranya demi memperoleh pendidikan yang layak. Ku yang sekarang bisa menikmati bangku salah satu universitas di Kota Pahlawan itu juga berkat perjuangan Emak dan Bapak.
Kondisi keluarga kami memang sedang diuji dengan kondisi ekonomi yang semakin kerdil hingga bisa dibilang kami sedang berada di ujung tanduk. Emak yang membatu perekonomian keluarga atau bisa dibilang juga sebagai tulang punggung utama dengan berdagang di Pasar. Sedang Bapak adalah pekerja serabutan yang terkadang bekerja terkadang tidak. Emak dan Bapak memang tidak pernah bersekolah hingga tingkat universitas hanya sampai tingkat SLTP.
Emak adalah sosok wanita yang tabah, Terkadang ku iri dengan semangat juang Emak. Emak tidak bisa berhenti bekerja dan bekerja. Mulai dari menjual sayur di pasar dilanjut dengan jualan gorengan keliling dan terkadang Emak mengerjakan sawah sepetak di samping rumah. Hari-hari Emak begitu melelahkan tapi tak pernah rasa keluh kesah terucap dari mulut wanita paruh baya yang telah mengandung ku itu. Keringat yang bercucuran di bawah teriknya matahari selalu Emak anggap sebagai air yang menyegarkan badannya.
“Nduk iki segane kari sithik. Di bagi wae ya. Emak wis ra nduwe beras.” Emak menuangkan nasi di piring-piring membaginya menjadi lima bagian.
“Nggih mak” Jawabku singkat. Seketika linangan air mata nyaris terjatuh. Cepat ku mengusapnya tak mau Emak melihat menangis.
“Mak.. sudah matang belum mienya?” Ku mendekat hingga berda di samping Emak. Emak yang saat itu dengan sigap membagi mie itu pada lima piring yang sudah berjajar di meja makan.
“Lho mak kok Cuma lima piring? Emak nggak sahur?” Tanya ku
“Emak nggak usah makan nduk.. Emak cukup minum air putih saja. Udah..sana bangunkan adik-adikmu sama Bapakmu. Ayo kita sahur.” Senyum Emak mengembang.
Aku bergegas pergi dari samping Emak. Bukan apa-apa hanya saja air mata ini tak bisa ku tahan lagi. Hingga sesaat ku terdiam di kamar sebelum membangunkan adik-adikku.
“Ya Rabb…kuatkanlah hamba.” Desahku saat itu.
Ya..itu lah sedikit gambaran tentang sifat Emak yang selalu mengalah untuk anak-anaknya. Lebih dari itu bagiku Emak adalah sosok yang tangguh tak pernah mengenal kata lelah dalam hidupnya. Apalagi lelah untuk memperjuangkan putra-putranya demi memperoleh pendidikan yang layak. Ku yang sekarang bisa menikmati bangku salah satu universitas di Kota Pahlawan itu juga berkat perjuangan Emak dan Bapak.
Kondisi keluarga kami memang sedang diuji dengan kondisi ekonomi yang semakin kerdil hingga bisa dibilang kami sedang berada di ujung tanduk. Emak yang membatu perekonomian keluarga atau bisa dibilang juga sebagai tulang punggung utama dengan berdagang di Pasar. Sedang Bapak adalah pekerja serabutan yang terkadang bekerja terkadang tidak. Emak dan Bapak memang tidak pernah bersekolah hingga tingkat universitas hanya sampai tingkat SLTP.
Emak adalah sosok wanita yang tabah, Terkadang ku iri dengan semangat juang Emak. Emak tidak bisa berhenti bekerja dan bekerja. Mulai dari menjual sayur di pasar dilanjut dengan jualan gorengan keliling dan terkadang Emak mengerjakan sawah sepetak di samping rumah. Hari-hari Emak begitu melelahkan tapi tak pernah rasa keluh kesah terucap dari mulut wanita paruh baya yang telah mengandung ku itu. Keringat yang bercucuran di bawah teriknya matahari selalu Emak anggap sebagai air yang menyegarkan badannya.
Sudah hampir delapan tahun kondisi keluarga kami memang semakin memburuk dan ku rasa puncaknya adalah sekarang. Adik-adikku harus menanggung beban ketika masa kecil mereka. Seharusnya senyuman, tawa dan canda yang mereka lakukan di masa kecil itu tapi kini mereka harus ikut merasakan pahit dan getirnya kehidupan di keluarga kami. Mereka rela mengalah agar ku bisa terus melaju di bangku universitas. Hingga mereka harus mengenakan pakaian seadanya, makan seadanya, tak pernah membeli perlengkapan sekolah, rela dengan uang saku yang serba pas-pasan dan rela ketika uang yang seharusnya jatah mereka dikirimkan untuk biaya hidupku di Kota Pahlawan. Satu pesan Emak yang selalu di utarakan untuk adik-adikku “Le… Nduk..sak iki ngalah dhisik ya. ben di enggo mbak e dhisik. Mengko nak mbak e wis sukses kan iso gentian.” Ketika Emak mengutarakan nasihat bijaknya itu ku hanya bisa tertunduk menahan air mata agar tak sampai keluar. Dalam hati ku berteriak “Adik-adikku maafkan Mbak ya”
Emak juga selalu berpesan pada ku “Nduk..kowe anak pertama sing bener-bener diarepne Emak. Emak iso ne donga mugo-mugo awakmu lancar nak kuliah trus dadi wong sukses. Sok mben nak wis entuk panggawean ojo sampai lali karo adik-adikmu. Emak Cuma njaluk ayo podo bareng-bareng ngewangi ben adik-adikmu yo isi sukses.”
Hati ini bertambah menjerit dengan harapan-harapan yang selalu disematkan Emak pada ku. Harapan-harapan seorang Emak kepada anak sulungnya yang kini sedang menempuh gelar sarjananya. Harapan-harapan itu selalu ku tempat pada di pundak-pundak ku agar senantisa ku rasakan harapan itu selalu menyertaiku. Harapan yang menjadi semangatku dikala ku lelah dengan kondisi yang ada, kondisi yang membuat semuanya merintih.
***
Ku bangunkan satu persatu adik-adikku dan juga Bapak ku. Mereka bangun dan bersiap makan sahur dengan nasi dan lauk seadanya. Tampak dari wajah-wajah mungil adikku rasa kantuk yang masih mendera. Ya..sebenarnya meraka belum dikenakan kewajiban untuk berpuasa kecuali adikku yang kedua tapi mereka ingin belajar untuk berpuasa di Bulan Ramadhan ini. Kami berkumpul di Ruang kecil yang kami sebut ruang tamu. Dalam keheningan Pagi kami melahap dengan nikmatnya tanpa memperdulikan apa yang kami makan. Ku mendekat pada Emak yang tengah memperhatikan buah hatinya makan dengan lahapnya. Sesekali Emak tersenyum melihat tingkah buah hatinya itu.
“Emak… suapan pertama ini untuk Emak” Suaraku terdengar menahan tangis dan mencoba untuk mendekatkan sendok yang berisi nasi dari piring yang ku bawa ke mulut Emak. Tak menyangka Emak menerimanya dan tampak butiran air mata Emak mulai jatuh.
“Ya Allah kuatkanlah Emak.. Lapangkanlah dada Emak Ya Allah, Lindungilah Emak dari segala marabahaya. Aku sayang Emak Ya Allah.” Doa kalbu yang ku panjatkan saat itu.
Allahu Akbar…Allahu Akbar….. Adzan shubuh bergema di Desa ku tercinta dan saatnya ku mengakhiri cerita tentang kehidupan ini.
SELESAI
PROFIL PENULIS
Nama Pena Ta_wilisTazkiyah, Mahasiwa D4 Jurusan Kesejahteraan sosial di Kampus Peradaban Bandung. Anak sulung dari 4 bersaudara, Kota asal Ngawi Jawa Timur. Terimakasih penulis ucapkan pada kedua orang tua ku dan adik-adik ku tersayang. Juga pada teman-teman yang selalu memberikan motivasi untuk menulis. email : Azq_wilisstks@ymail.com. Hamasah.. Allah tujuan kita ^^ Saran dan kritik bisa di send via email.
Terimakasih
Baca juga Cerpen Cinta dan Cerpen Ibu yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar