Jumat, 13 Juli 2012

Cerpen Cinta - Dibalik Pelangi Hitam

DIBALIK PELANGI HITAM
Karya Febby Anggraeni

Sore itu aku masih terisak dalam tangis yang berkepanjangan. Sekolah sudah sangat sepi. Aku benar-benar ingin menghabiskan air mataku. Putus cinta dengan pacar pertamaku pastilah teramat pekik, apalagi dengan pengkhianatan seorang sahabat baikku yang ternyata menjalin hubungan spesial dengan pacarku.
“Loe gak capai apa dari tadi nangis terus?”

Diaksa yang setia menemaniku mulai menegur ketika dia sudah merasa jenuh melihatku menangis tanpa henti. Aku bukannya menjawab, malah menangis semakin menjadi-jadi.
“Diam ! Ntar dikira orang gue ngapa-ngapain loe!”
Aku pun terdiam ketika Diaksa membungkam mulutku dengan tangannya. Dielusnya pundakku pelan.
Pemandangan yang sangat berbalik 180 derajat dari biasanya. Diaksa sebenarnya adalah musuh terbesarku di kelas. Ketua OSIS sekaligus menyandang sebagai wakil ketua kelas ini selalu saja mengomeliku ketika aku membuat kegaduhan di dalam kelas. Namun, saat ini kami dipersatukan oleh tugas pelajaran IPA.
 
Rencana sepulang sekolah hari ini kami akan menyelesaikan tugas observasi tumbuhan. Akan tetapi, karena kondisi diriku yang masih labil karena putus cinta, aku hanya duduk bersila di taman sambil menangis. Sedangkan Diaksa mengerjakan tugas observasi sampai selesai dan dengan setia menungguku menyelesaikan tangis.
“Loe ngapain sih nangisin cowok?”
“Maksud loe?” tanyaku ketus.
“Ya kenapa loe nangisin cowok? Kan loe juga tahu dia playboy?” terang Diaksa yang merupakan teman Adit, mantan yang telah menyakitiku.
“Gue udah terlanjur sayang sama dia!” jelasku.
“Terus apa loe tau selama ini dia juga sayang sama loe?
“Setahuku iya.”
“Selama ini loe setia ke dia?”
“Yaiyalah!”
“Tapi, apa loe tau selama ini dia juga setia ke elo?”

17
“Setahuku iya.”
“Ceritanya ragu nih? Kok dari tadi jawabannya hanya setahuku?”

Aku diam tak mempunyai jawaban yang pasti.
“Loe masih mikirin dia?”
“Iya.” jawabku masih saja singkat.
“Menurut loe, dia mikirin loe gak?”
“Gak tahu.” jawabku sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Secara gak sadar, loe tadi udah buka kartu atas perasaan loe ke dia.”
“Maksudnya?”
“Sebenarnya selama ini loe itu masih ragu sama Adit. Tapi, hanya karena perhatian Adit yang lebih, loe bisa menutupi keraguan loe ke dia. Lagian loe itu orangnya gampang kena sugesti.” terang Diaksa.

Aku diam sejenak dan mengiyakan apa yang dikatakan Diaksa dalam hati.
“Gimana? si jurnalis andalan sekolah masih mau mengemis cinta sama captain volley? hahaha …” Diaksa menertawakan.
“Ariesta? Ngemis cinta? GILA!!!” ucapku lantang tidak terima dengan apa yang dikatakan Diaksa.
“Apa buktinya kalau loe udah gak ngemis cinta?”
“Oke. Mulai detik ini, gue akan menerima kenyataan. Dan untuk ke depan bisa lebih baik.” ucapku dengan semangat yang menggebu-gebu.
“Yakin?”
“Y A K I N!”
“Oke. Buktikan!” ucap Diaksa yang akhirnya meninggalkanku seorang diri.
Aku menyadari … aku bukanlah siapa-siapa. Tidak seperti Fasha yang jago volley. Jadi, kurasa Adit dan Fasha memang cocok. Keduanya pemain andalan sekolah, bahkan sama-sama menjabat sebagai captain dalam tim-nya. So, pernah menjadi pacar seorang captain volley memang sangat memberikan point extra bagiku. Argh! kenapa sedari tadi aku hanya merendahkan diriku? Aku juga mempunyai kelebihan yang mungkin tidak dimiliki Fasha. Aku juga menjadi andalan sekolah di bidang jurnalistik. Aku juga menjabat sebagai ketua.

18
Tas yang berisikan alat-alat tulis telah menempel dipunggung. Dileherku menggantung kamera DSLR dan tangan kananku memegang tripod. Dengan langkah pelan tapi pasti, aku memasuki lapangan indoor yang berada tidak jauh dari journalist’s office. Hari ini aku menjalankan dua tugas sekaligus, mengambil gambar dan membuat laporan kegiatan. Terlihat para murid telah memenuhi ruangan untuk melihat pertandingan persahabatan volley hari ini. Tim putra dan putri kebanggaan sekolah sedang melakukan pemanasan. Kuletakkan tas dipinggir lapangan dan berjalan mendekati sepasang tim sekolah untuk mengambil gambar mereka yang sedang melakukan pemanasan.
“Rista! Sekalian nanti ambil foto bareng sama tim lawan ya?” ucap Afri, libero di tim putra.
“Ok.” jawabku singkat.

Dari balik viewfinder, aku mendapati Adit dan Fasha yang sedang bercakap-cakap.
“Hei!” seseorang menepuk pundakku. Aku tersentak kaget.
“Eh elo.” aku tersenyum ke arah Diaksa. Hari ini dia terlihat berwibawa dengan kaos OSIS yang ia kenakan. Dilehernya menggantung tulisan KETUA PANITIA.
“Dari tadi ngapain aja sih? Tuh para tim udah siap buat difoto bareng.”

Aku melihat ke arah tim sekolah dan tim lawan yang sudah mengatur posisi untuk diambil gambar.
“Oke.” aku berjalan membuntuti Diaksa.
Sudah beberapa minggu ini aku tidak saling sapa dengan Fasha. Aku jadi merasa canggung untuk menatap wajahnya. Sesekali sepasang mata kami saling bertemu, aku langsung mengalihkan pandangan. Begitu juga dengan Adit . Tampak ia sesekali memandang kearahku, mungkin hanya ingin say hello, tapi karena wajahku yang acuh tak acuh, beberapa kali ia terlihat mengurungkan niatnya.

Setelah mengambil gambar, pertandingan dimulai.
“Oke teman-teman semua, kita saksikan langsung pertandingan persahabatan volley hari ini …” begitu Diaksa dengan suaranya yang merdu memandu acara pertandingan live tersebut.
Hampir kuranglebih satu setengah jam, sampai dengan set ketiga kemenangan diraih oleh tim putra andalan sekolah. Ini berarti sudah jelas kemenangan ada ditangan tim putra sekolah kami dengan skor 3-0. Kemenangan atas tim putra sebagai tuan rumah semakin mengobarkan semangat para pendukung untuk lebih keras menyanyikan yel-yel mereka. Tim lawan terlihat tidak berkutik karena tidak membawa pendukung.
Selanjutnya yang bermain adalah tim putri. Aku teringat, biasanya Fasha terlebih dahulu meminta do’a kepadaku dan kemudian lari ke tengah lapangan mengikuti anggotanya. Namun, untuk kali ini aku yang berada dibalik lensa kamera, mengetahui dia memandangiku dari kejauhan. Sepertinya berharap-

19
mendapatkan do’a dariku.
Permainan antar kedua tim putri sangat berimbang. Set pertama dan kedua berhasil dimenangkan tim putri sekolah kami. Namun, pada set ketiga semangat tim lawan mulai bangkit, tidak ada kata menyerah, smasher-smasher mematikan dengan jump tinggi yang diberikan Fasha bisa dikembalikan dengan baik oleh tim lawan. Hal ini membuat tim lawan sampai berhasil memenangkan set ketiga dan keempat. Skor imbang 2-2. Beribu-ribu pasang mata yang melihat pertandingan ini terlihat tegang. Apalagi untuk pendukung tim tuan rumah, mereka terus berusaha memberikan motivasi untuk membangkitkan kembali semangat tim andalan mereka. Set kelima untuk menentukan kemenangan dimulai. Semua terlihat fokus. Dari balik kamera, aku tersenyum mendapati beberapa murid yang terlihat sedang komat-kamit seperti membaca do’a. Dalam hati aku juga ikut mendo’akan, terlebih untuk Fasha. Para penonton yang berada di lapangan indoor terlihat seperti cacing kepanasan. Dengan semangat yang menggebu-gebu, mereka terus memberikan semangat. Skor pada set kelima yus dengan 24-24. Tim kami mengambil timeout. Terlihat Pak Sabari, coach volley sekolah kami memberikan arahan kepada anak buahnya. Hanya kurang dua angka untuk meraih kemenangan. Sampai saat itu, sudah banyak gambar yang telah kuambil. Timeout habis, pertandingan kembali dimulai.
“Aaaa!” terdengar libero dari tim putri sekolah kami menjerit keras. Ketika mengambil passing, ia melakukan sleading kearah yang salah sehingga bola mengarah keluar lapangan. Kritis ! tim kami kehilangan satu point berharga. Skor 24-25, last one untuk tim kami.

Sesaat keadaan hening. Karena telah terbiasa melihat Fasha bermain volley, dari balik lensa kamera aku melihat pandangan mata Fasha memberikan isyarat kepada toser agar memberikan umpan kepadanya untuk melakukan smash. Secepatnya aku memakai lensa normal dengan bukaan besar untuk mendapatkan potret berefek bokeh, menggambarkan sebuah latar belakang yang kabur, sehingga membuat subjek utama semakin menonjol.
“Rista!” seseorang menepuk pundakku.
“Hei!” aku menjerit keras ketika seseorang membuatku kaget sehingga menggoyahkan kamera. Jepretanku meleset.
“Prit … prit … priiiiiiiiiiiiiiiiiiit …!!!”
“Pertandingan berakhir?” tanyaku dalam hati.
“Lho?” ucap suara seseorang disebelahku ikut tercengang.

Jantungku berdegup kencang ketika mendapati gambar terakhir yang aku ambil adalah bola yang jatuh tepat digaris lawan. Tapi mengapa pertandingan dimenangkan oleh tim lawan?
“SEBENTAR!” aku berteriak kencang.

20
Seluruh pasang mata memandangku. Termasuk Adit dan Fasha.
Aku yang berdiri di pinggir lapangan berlari kecil menghampiri wasit.
“Terakhir tadi bolanya tidak keluar, melainkan tepat pada garis lawan. Point untuk tim kami.” ucapku dengan tegas.
“Apa buktinya?” tanya wasit laki-laki yang terlihat sudah berumur.

Aku memperlihatkan gambar yang masih fresh, baru terambil beberapa menit yang lalu. Tampak bola memang tepat berada di garis lawan. Seharusnya point untuk tim kami.
“Bisa saja kan ini gambar sudah dari tadi? Mungkin saja antara dari set pertama sampai set keempat?”

Aku hanya diam sambil menunjukkan waktu pengambilan foto tersebut.
“Boleh saya cocokkan dengan timmer?”
“Silahkan!” kusodorkan kamera kepadanya.
Keadaan hening, hanya terdengar para murid-murid pendukung sedang berbicara dengan setengah berbisik, mungkin saling menanyakan apa yang sedang terjadi. Beberapa menit wasit dan timmer berdiskusi, akhirnya wasit mengumumkan jika ada kesalahan tekhnis. Bola terakhir memang jatuh tepat di garis lawan.
Semua penonton bertepuk tangan. Libero dari tim lawan pun akhirnya mengakui jika tadi bola memang tepat digaris lapangan. Skor kembali yus, 25-25.

Tim lawan terlihat kehilangan konsentrasi ketika pendukung tim kami membuat suasana semakin booming. Dua smash mematikan dari Fasha tidak dapat dikembalikan oleh tim lawan. Dan akhirnya kemenangan berada ditangan sekolah kami dengan skor akhir 3-2. Suara pendukung tim sekolah bersorak-sorai melihat sepasang tim andalan mereka sama-sama memenangkan pertandingan.
“Rista …!” panggil seseorang.

Kucari sumber suara. Tampak Fasha dari tengah lapangan berlari ke arahku.
“Bruk!” Fasha sengaja menabrak dan memelukku dengan erat.
“Maafin aku.” ucapnya lirih.

Aku membalas pelukannya.
“Iya. Gak-papa. Maafin aku juga ya.” balasku.

21
“Makasih atas bukti otentik yang membuat tim-ku menang.”
“Iya sama-sama.” aku mengelus kepala Fasha.
“Ehem!”

Aku dan Fasha saling melepaskan pelukan.
“Kalau gue gak ngagetin loe, gambar itu gak akan keambil!” ucap Diaksa dengan percaya diri.
“Loe yang gila. Untung gue gak jantungan.” balasku dengan nada ketus.
“Hahaha … Kalian sama-sama konyol. Tapi aku berterimakasih. Mungkin kalau kalian gak bertingkah ceroboh, aku dan tim-ku malah tidak akan menang.” ucapFasha.

Aku dan Diaksa saling berpandangan. Kami saling tersenyum.
“Eh. Ngomong-ngomong, kalian udah baikan nih?” tanya Diaksa.
“Yaudah dooooonk!” jawab aku dan Fasha bersama-sama, membuktikan kalau kami masih kompak.
“Permisi …” Adit datang menghampiri kami bertiga. Seketika kami sama-sama diam. Terlihat Fasha menampakkan wajah bingungnya.
“Ariesta … Fasha …” gue mau ngejelasin sesuatu.
“Gak perlu! Gue saja!” tiba-tiba Diaksa menyerobot.

Aku dan Fasha tercengang. Kami sama-sama memasang telinga dengan baik.
“Jadi gini … Sebenernya si Adit ini suka sama Fasha mulai awal penerimaan siswa baru. Dia selalu curhat ba-bi-bu-be-bo soal Fasha. Menemui jalan buntu, Adit memilih ngedeketi Ariesta dengan harapan bisa sebagai jembatan buat Pe-De-Ka-Te sama Fasha. Semakin lama, sepertinya jalan semakin gelap, tidak ada signal-signal dari Fasha. Adit yang playboy ini akhirnya lebih memilih nembak Ariesta, soalnya nih, Adit ngerasa Ariesta suka ke dia. Eh ternyata benar kan, akhirnya keduanya jadian. Meskipun playboy, Adit ini gak pernah nyakitin cewek. Terbukti dia bisa pacaran hampir setahun sama Ariesta. Lambat laun, Adit mengetahui jikalau selama ini sebenarnya cintanya gak bertepuk sebelah tangan ke Fasha. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk lebih memilih Fasha. Karena Fasha juga tidak bisa menahan gejolak hatinya, dia menerima Adit dengan siap menghadapi apapun resikonya.” bibir Diaksa ber-artikulasi jelas.
“Jaaa … “ belum selesai aku berbicara, Adit memotong pembicaraanku.
“Selama ini gue serius kok ke Ariesta. Gak ada niat mainin atau niat buruk lainnya. Gue juga sayang ke Ariesta. Namun sepertinya gue lebih yakin ke Fasha.

22
Dan tau gak, selama ini ….” Adit menggantung penjelasannya.
“Gue suka, sayang, cinta sama elo Ariesta!” ucap Diaksa meneruskan.

Aku tercengang. Oh Tuhan … gak pernah disangka … musuh terbesar ternyata selama ini menyimpan perasaan yang besar juga terhadapku ... Membuatku berfikir, mengapa selama ini aku mengejar cinta yang tak pasti ? sedangkan diluar sana, tanpa kuketahui banyak hati yang sedang menunggu? Inikah cinta? Ada dimanapun kita berada. Bagai pelangi hitam yang dibaliknya masih menyimpan setitik warna putih.
“Rista!” Fasha membuyarkan lamunanku.
Aku tersenyum, “Diaksa … Loe ngomongnya kok telat sih? Kenapa gak dari dulu-dulu aja?”
Kami berempat-pun tertawa memecah keheningan.
. . . . . . . . . . .
 
PROFIL PENULIS
i'm Febby Anggraeni, just simply person :)
add and follow me at FB/Twitter : bybyfebby@gmail.com

Baca juga Cerpen Cinta yang lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar