Jumat, 20 Juli 2012

Cerpen Cinta - Maaf Berujung Derita

MAAF BERUJUNG DERITA
Karya Adhy Panrita Lopi

Malam ini aku duduk kembali di tempat yang sama saat pertama kali mendengar bahasa cinta dari kedua bibirnya. Di sebuah gubuk, diantara deretan gubuk-gubuk lainnya, letaknya tak jauh dari bibir pantai. Tanpa sengaja aku disini, entah kenapa, mungkin karena aku merindukannya. Saat itu, aku merasakan sesuatu menyerempet pikiranku. Aku mengenangnya, mengingat saat kami duduk disini sambil bercerita tentang keindahan rasa dan cita yang sempat kami pikirkan. Dalam iringan tarian ombak di pantai, dengannya saya sering menebak dunia lewat mimpi. Sambil berpegangan tangan dan sesekali mencentil hidungnya, membuatnya tersenyum, karena aku paling suka melihatnya tersenyum.

Pernah suatu malam saya dan dia terjebak hujan disini. Malam itu, saya dan dia mengukir cerita untuk sebuah keindahan kelak. Dengannya saya bercerita tengtang bahagia setelah pernikahan kelak. Tentang anak-anak buah cinta kami. Tentang istana tempat kelak hidup dalam rumah tangga. Juga tentang hari tua seraya menunggu ajal menjemput. Sungguh, malam itu begitu sempurnah rasanya. Itulah mungkin yang membuatku terus mengenang tempat ini. Mengenang Vera, kekasihku yang kini sudah menjadi milik orang lain.
******

“bu, pesan satu es kelapa yah,”
“iya, pake gula merah atau sirup?”, sahut ibu paruh baya yang menjual es kelapa muda. Biasa...“gula merah saja, tapi jangan banyak es nya”, jawabku, sambil menoleh ke sumber suara meskipun saya tak sempat melihat raut wajah ibu tadi.

Rasa rinduku kepada Vera tiba-tiba meluap, rasanya tak mampu ku bendung. Merkipun berkali-kali ku coba mengalihkan perhatianku.
Sambil menunggu pesanan es kelapa, lagi-lagi ku coba melawan rasa yang berusaha merombak dalam alam fikiranku. Tanganku mengelinap ke dalam saku selana, menarik keluar satu-satunya benda yang selama ini setia menemaniku. Saat itu terlintas dalam pikiran untuk menggubunginya, biar sekedar menyapa lewat sms.
“tidak !, ini bukan salahku”. Tiba-tiba kata itu terbenam dalam hati.
“bukannya dia yang telah menyakitiku?”. “dia yang memilih meninggalkanku”, gemihku, sambil berusaha menenangkan hati.
*******

Tiii...tuuu...kriiw...tuuuu....tiiiii....tuuuu.... tiba-tiba Hp dalam genggamku bergetar cukup keras. Cepat-cepat aku melihatnya. Memastikan siapa yang menelponku. Tak biasa ada yang menelpon tengah malam begini. Kanget, tak percaya, ternyata nama yang tertulis di layar Hpku, namanya. Disitu tertulis “VheRaa”. Sambil terngangah, lalu spontan aku menekan tombol jawab.

“halo...assalamu alaikum”
“haaa...lo. halooo...!”, “kok tidak bersuara?”. haloo....

Aku diam, sambil menunggu sejenak. Hatiku bertanya-tanya, kenapa Vera tidak mau bicara?.
Tu....tuuuuuuuuuuuut ....
Telponnya terputus. Ada sedikit kekecewaan yang kurasakan dalam hati. Sungguh tak mengerti kenapa Vera sering begitu. Bukan kali ini saja dia menelpon tapi tidak mau bicara.

Sementara termenung, tiba-tiba dari belakang muncul ibu paruh baya tadi dari balik pintu berukuran 1 x 2 meter sambil membawa dua gelas es kelapa muda.
“ini es kelapanya” sapa sang ibu sambil menaruh gelas di atas meja tepat didepanku.
“makasi bu...”, kataku sambari menebar senyum.

Aku belum sempat meraih gelas untuk menikmati es kelapa muda yang dibawa ibu tadi. Tiba-tiba Hp ku kembali berdering. Tiii...tuuu...kriiw...tuuuu....tiiiii....tuuuu....
Sejenak aku memandangi layar HP yang terletak di atas meja, lampu di layar berkedip sekali-sekali. Sebelum meraihnya, kupandangi lagi nama yang tertulis dilayar. Ternyata nama VheRa lagi. Karena bigung bercampur rasa ragu kalo di angkat Vera tidak mau bicara lagi. Aku membiarkan bunyi itu terus menyanyi merdu. Karena sudah cukup lama, akhirnya ku coba menekan tombol jawab.

“halo, assalamu alaikum, Ver??”. Ucapku pelan dengan nada penuh tanya.
“iya, ini aku kak”. “maaf kalo Vera mengganggu”. Katanya terdengar sayup.
“ah...tidak apa kok, kenapa juga harus dibilang mengganggu?”. jawabku sontak.
“ada apa kah, Ver?” tanyaku dengan penuh keyakinan kalo yang bicara tadi itu benar-benar Vera.
“tidak apa kak, Cuma Vera kangen saja sama suaranya”. Itu jawabnya.
“oh iya, alhamdulillah .... bagaimana keadaanya neh?”. “baik-baik kan?”. Tanyaku lagi.
“alhamdulillah baik kak, baru juga tadi selesai ujian semesternya”. “kalau kak Nardi, baik-baik juga kan?”.
“Iya, Alhamdulillah“. Jawabku singkat.
“maaf ya kak, Vera baru nelpon lagi. Vera takut kak Nardi tidak mau angkat telpon Vera lagi.”
“akh, masak juga begitu, santai lah. Kenapa harus marah?”. Tanyaku penuh nada.
“tidak, soalnya Vera kan banyak salah sama kak Nardi. Vera tlah membuat sakit hatinya kak Nardi. Meskipun sama-sama sakit kan?”.
“Ver, bukankah sebelum Vera memutuskan semuanya, saya sudah bilang saya ikhlas, dari dulu saya sudah memaafkan Vera kok. Kenapa sekarang minta maaf lagi?”. Jawabku dengan nada ringan, mekipun ku tahu, ada perasaan berat saat mengatakan itu. Aku sadar kalau maaf yang pernah ku berikan untuknya dulu berat untuk kuterima sebagai sebuah keikhlasan. itulah yang selama ini membuat perasaanku sesekali membaur haru. Bagiku susah untuk menerima apa yang telah Vera tunjukkan kepadaku. Perasanku tak rela melihat bahkan mendengar Ia dan kekasih barunya telah bahagia. Sebulan yang lalu, aku memang bubaran dengan Vera. Kami memutuskan untuk berpisah setelah hampir setahun menjalin hubungan sebagai pasangan kekasih. Aku yang tlah memutuskan untuk berpisah dengan Vera. Karena aku tahu dia menyimpan hati pada pria lain. Ku pikir dari pada tersiksa oleh perasaan cemburu. Lebih baik aku membiarkannya jatuh ke pelukan orang lain. Vera sebenarnya tidak ingin kalau aku memutuskan hubungan dengannya. Tapi saat itu aku tetap memilih untuk pergi meninggalkannya. Semua ku lakukan karena ku tahu dia tidak bisa memilih antara aku dan pacar barunya. Saat itu aku pikir lebih baik mengalah. Berkali-kali Vera minta aku kembali padanya. Ia bahkan minta maaf kalo sampai saat ini ia belum bisa mengambil keputusan untuk meninggalkan kekasih barunya. Ia sering berjanji untuk tetap menyayangiku. Seperti dulu sebelum orang terakhir penggantiku dihatinya hadir. Sungguh berat memang. Namun aku yakin pilihanku tepat. Ini semua demi menjaga perasaanku juga. Sebab aku orangnya mudah merasakan cemburu. Ahk.... mungkin bukan aku saja. Kebanyakan laki-laki juga begitu kok. Walaupun begitu, sebenarnya aku juga masing sayang sama Vera. Karena rasa sayang itu pula aku mau menerima permintaa maafnya. Meskipun yang kurasakan akhirnya itu sangat menyakitkan bagiku.

“halo... halo kak, kenapa diam?, dari tadi Vera bertanya, kok tidak di jawab?”.
“ooo..oh iya !!, bilang apa Vera tadi?. Jawabku sontak yang baru saja terbawa lamunan.
“saya tanya, kak Nardi dengar-dengar jalan lagi sama Mirna sekarang?, betul itu?”
“oh...iya, baru satu minggu ini aku jalan sama dia. Dari mana Vera tahu?”. Seperti kena strum. Semua hayalanku tiba-tiba hilang. Perhatiantu fokus apa yang ditayakan Vera. Dalam hati terlintas tanya “dari mana Vera tahu kalau aku dan Mirna balikan lagi?”.
“ahk, pentingkah?, Vera cuma dengar omongan orang kok”. Terdengar suara Vera berlalu begitu cepat.
“ia...ai...saya kembali sama Mirna. Dari pada jomlo kan?. Jawabku dengan gelitik canda.
“oh, iya slamat ya kak, moga bahagia dan langgeng.
“iya, makasi Ver, kamu juga ya, moga tetap langgeng ma Ferdi”.
“hmmm .... iya, makasi kak”. Terdengar suara Vera seduh.

Belum sempat bertanya lagi, Vera langsung bicara.
“Kak, sudah dulu ya!, Vera di panggil Ibu, ada tamu sepertinya. Assalamu Alaikum”. Ia sepertinya terburu-buru. Aku tak sempat menjawab salam. Dia begitu cepat menutup telponya.
*****

Malam ini cuaca terasa begitu dingin. Sambil berdiri aku melangkah keluar, mendekati bibir pantai. Terdengar angin bertiup kencang. Membuat daun-daun pepohonan menari erotis. Bunyi suar dari daun kelapa yang tertiup angin semakin meramaikan gelamnya malam. Kali ini benar-benar petang. Di langit tak tampak satupun bintang. “Sepertinya hujan akan turun malam ini”, tuturku dalam hati. Desus-desus ombak dari kejauhan terdengar sesekali menggeruh.. Sepertinya tidak mau kalah dengan nyanyian daun kelapa yang tertiup angin malam.

Aku berdiri tegak sambil membuang pandangan jauh ke tengah laut. Aku merasakan getaran hebat dalam hatiku. Kata-kata Vera tadi seolah masih terekam jelas dibenakku. Ucapan selamatnya menelisik ke dalam hatiku. Sambil menarik nafas dalam-dalam. Aku berusaha menyakinkan perasaanku yang berfokur mengingat masa-masa bersama Vera dulu. Ada perasaan yang sepertinya berat untuk kusimpan dalam hatiku. Ingin ku tumpahkan tapi tak tau bagaimana caranya. Seolah aku tak bisa membohongi hati kecilku. Kalau aku tak bisa menghapus kenanganku bersama Vera. Kenangan bersama Vera selama ini kian merajai pikiranku. Tanpa sadar, ada sedikit seduh dari dalam hatiku. Sepertinya aku mau menangis saja. Namun cepat-cepat aku mencoba untuk tersadar.
“Aku harus menerima semua ini”. Itu kata yang terpercik dalam lubuk hatiku. “Aku harus ikhlas melepas Vera”. “Ia bukan takdirku lagi, aku harus percaya takdirku sendiri”. “Bukankah aku telah memiliki Mirna?”. Aku tahu Vera lebih bertahta dalam hatiku dibandingkan Mirna. Hanya karena keyakinan, hatiku mengatakan “tidak ...!!!, ini yang terbaik Tuhan”. “Aku yakin dan percaya akan ada hikmah dibalik ini semua”. Desahku dalam hati yang untuk kesekian kalinya mencoba meyakinkan pikiranku. Malam ini, sepertinya aku telah menemukan mutiara ikhlas yang telah lama ku rindukan.

PROFIL PENULIS
Adhy Panrita Lopi
TTL :  Bulukumba 20 Maret 1984
Tinggal di Marisa, Gorontalo
E-mail: adhyjudo@yahoo.com
Facebook: adhyepanrithalopi virgiawan listanto

Baca juga Cerpen Cinta yang lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar