Kamis, 12 Juli 2012

Cerpen Pendidikan Islam - Taman Surga

TAMAN SURGA
Karya Mardiono

MALAM cerah yang semakin pekat ini, tak melunturkan semangatku mengurus berkas-berkas persyaratan kuliah ke Madinah Al Munawwarah. Satu malam ini, hampir lima kali aku bolak-balik ke rumah Ustadz Awwal untuk menerjemahkan surat lamaranku.
“Wah Zie, kalau saja berkasmu ini sudah sampai kesana, kemungkinan besar antum akan diterima. Biasanya mereka memang mencari calon mahasiswa yang berasal dari desa terpencil dan bisa Bahasa Arab walaupun sedikit.” Semangat Ust Awwal kepadaku, membayar kelelahanku sesaat.

Namun semangat itu masih belum dapat memadamkan api kepiluanku. Bagaimana mungkin aku bisa tenang mengejar masa depan nan menjanjikan sementara di kampungku, abangku hampir mati karena mencoba bunuh diri.
“Ozie,. ???” Panggil Ustadz Awwal mengejutkanku.
“Oh, ya. ehm….. uda selesai semua Ustadz ?” tanyaku gelagapan. Sesaat lamunanku buyar.
“antum nampaknya sedih Zie !” tatapnya serius. “…kalau memang antum ada masalah, kan bisa cerita ke Ustadz,. Di Medan perantauan seperti ini, anggaplah saya sebagai orang tuamu, selain sebagai musyrif sakan disini.. ” sambungnya sambil mengarahkan tubuhku menatapnya.
“eng….eng…. gak kok ustadz, mungkin ana cuma capek malam ini. Butuh istrahat.. ” jawabku sekenanya.
“ya udah. Tapi ingat, kalau ada apa-apa, laporkan langsung dengan ustadz. Masalah anak sakan juga masalah ustadz disini”

***

Udara malam di kota Medan begitu panas. Tapi masih belum mampu menyulut semangatku. Aku beku bagai dalam penjara es yang mencekam. Keraguan dalam sedih. Termenung menyendiri di depan jendela samping, memandang pepohonan rindang yang terus bertasbih kepada penciptaNya.

Anganku mulai mengingat peristiwa itu. Saat itu aku harus cepat pulang ke Nias, karena abangku tengah berada di Rumah Sakit. Malam kamis tepatnya pukul delapan malam, mobil Kijang Innova telah menjemputku di depan asrama. Ternyata pamanku telah memesankannya, agar aku cepat sampai tujuan. Dalam perjalanan, berkelebat bingung tak habis fikir. Bagaimana mungkin abangku Udin tega ingin bunuh diri disaat hari bahagia menjelang resepsi pernikahan kakakku.

Jarak tempuh satu hari satu malam itu, membuat tubuhku lelah. Pasalnya kami harus menyeberang lautan Sibolga untuk dapat sampai ke Nias. Aku banyak tertidur di perjalanan.

Tiba dirumah. Pamanku juga sudah memesankan angkutan becak untuk dapat mengantarkanku langsung ke rumah sakit. Tanpa rehat. Aku langsung meluncur menjemput abangku. Lelah karena perjalananpun tak terasa lagi. Terbilas oleh kepanikan yang merindu.

Ia masih terkujur lemas bersandingkan infus ditangan kirinya dan bekas jahitan di lehernya yang terbalut perban. Perlahan aku mendekat. Rinduku tumpah dalam bulir air mata yang mulai mengalir tanpa sadar.

Ia terus mengigau menyebut – nyebut “ibu” dalam alam tak sadarnya. Hatiku gemetar haru. Batinku menangis sejadi – jadinya. Sekejab menyusup masuk dalam rongga dadaku sebongkah kerinduan untuk ibu. “Ibu, seandainya engkau masih berada disisi kami, mungkin tidak begini bu…..” desahku membatin.

Tak berapa lama kemudian, kakakku dan calon suaminya datang menegurku dari belakang. Acara walimahannya tidak bisa ditunda. Hampir tiga ratus undangan telah disebar. Begitu juga semua bahan-bahan makanan dan dekorasi pesta telah dipesan. Kak Zahra minta izin padaku akan hal ini. Biarlah ini berjalan apa adanya.

Menurut dokter, abangku mengalami depresi yang kuat. Semacam ada tekanan batin yang selama ini mengganjal di ulu hatinya. Tapi ia terus menahannya.

Suasana pesta yang seharusnya megah bersambut gembira kini menjadi hambar bak kuburan. Lantunan sholawat bertabuhkan rebbana bagai nyanyian kematian yang mengantarkan jenazah. Bagaimana mungkin kami bisa menyetel senyum saat berada di depan kamera sedangkan nama keluarga kami telah tercoreng.
***

Semakin hari kondisi kesehatannya membaik. Ia telah melewati masa kritisnya. Denyut nadinyapun kembali normal. Ia mulai sadar...
“a….a….aku dimana ?” tanyanya lemas, mencoba membuka matanya.
“tenang aja bang, gak usah bergerak dulu” sahutku khawatir menyentuh tangannya.
“ibu…..ibu…..ibu…..” gumamnya dalam kondisi antara sadar dan tak sadar.
“iya bang, ibu kenapa ?, ia sudah tenang ditempatnya. Abang kangen ya ma ibu ?” tanyaku mencoba berinteraksi.
“Zie, tadi abang bermimpi bertemu dengan ibu, ditaman yang serba indah, wangi dan beragam bunga-bunga yang mekar, aku kembali seperti anak-anak. Dia mengajakku bermain, berlari-lari, disela-sela gang ditaman itu. Tapi aku gak tahu, tiba-tiba aku telah berada diruangan ini. Hanya satu pesan yang diucapkannya sebelum kami berpisah, ia bilang kalau besok akan menjemputku lagi untuk bermain ditaman itu” paparnya pelan dan jelas. Entah ada kekuatan dari mana sehingga ia bisa berbicara seperti orang sehat. Aku heran.
“Zie, maafkan abang..!!, abang memang gak pantas menjadi kepala rumah tangga selepas ayah meninggal. Maafkan abang Zie, kalau kau jadi merasa terlantar tidak mendapatkan kasih sayang Zie…..” sambungnya sedih.

Harus bagaimana aku menghiburnya. Bergumpal sudah butiran air mata yang membendung dipelupuk mataku mendengar itu. tak bisa kutahan lagi. Tapi aku harus gembira untuk menghiburnya…..
“Gak bang., abang gak salah apa-apa. Abang tahu gak, sebentar lagi aku akan kuliah diluar negeri. Di Madinah bang… aku akan jadi orang yang berhasil bang….!!!? Seruku menghiburnya. Namun tetap wajahku tak dapat dibohongi. Air mataku terus membanjiri kedua pipiku. Kupaksakan melebarkan sudut-sudut bibirku, mencerahkan wajahku dan membesarkan kelopak mataku. Aku harus gembira agar ia semangat.

Aku bagai melihat sosok mayat yang sedang bicara di hadapanku. Omongannya mulai ngelantur tidak jelas. Aku semakin sedih.
Beberapa saat kemudian pamanku datang beserta kak Zahrah dan suaminya. Mereka menyuruhku pulang. Paman telah mengatur tiket kepulanganku ke Medan. Sedangkan kak Zahrah dengan suaminya akan menunggui bang Udin dirumah sakit. Sebelum akad nikah berlangsung, kak Zahrah mengajukan syarat kepada calon suaminya. Bahwa mereka tidak akan bulan madu dulu sebelum bang udin sembuh. Bagaimana mungkin kak Zahrah tega melihat abangnya tengah sakit tak berdaya dipembaringan, sedangkan ia asyik memadu cinta.

Suaminya maklum akan hal itu. Kalaupun harus dibatalkan, ia dan keluarganya juga akan malu karena telah memakan biaya banyak untuk meminang dan prosesi pernikahan.
***

“Zie, kamu harus balik ke Medan. Waktu yang paman sepakati dengan mudir ma’had hanya tiga hari saja. Karena saat ini kalian sedang ujian semester !!!” ajak pamanku segera.
“Tapi paman……, aku gak bisa tinggalkan bang Udin dalam keadaan begini. Biarlah aku mengikuti daur tsani asal aku bisa puas melihat bang Udin sembuh paman..!!!” mohonku sedih tak tertahan.
“Zie, tolong kamu ngertiin paman, sebenarnya kamu hanya diberi jatah satu hari saja karena masih ujian. Tapi paman menjaminmu dengan surat keaktifan mengajar paman di ma’had. Kalau sampai kita tidak pulang hari ini, bagaimana nama baik paman disana Zie……, tolong mengerti” terang pamanku tegas

Lenganku ditarik perlahan keluar dari kamar bang Udin, aku setengah terpaksa keluar dari kamar itu. Sosok tubuhnya yang lemas pucat di pembaringan, semakin lama semakin mengecil terlihat. Aku pulang.

Selama perjalanan pulang, aku bagai orang bodoh. Tidak nafsu makan dan tak ingin ngomong. Mengitar hebat rasa khawatir di benakku….. bagaimana kondisi bang Udin ?
***

“Akhi …..,” sapa temanku disamping, menyadarkanku dari lamunan. “….besok ujian, sekarang sudah jam dua pagi, antum gak istrahat ?” tanyanya melanjutkan.

Waktu terus berjalan, aku tidak boleh terus larut dalam sedih.
Ujian Semester ini harus bisa ku menangkan. Pasti abangku akan senang bila melihat aku lulus diujian akhir ini. Setiap malam, aku berusaha menghafal dan memahami buku bacaan yang akan diujikan keesokan harinya. Hingga masa tenang - masa penantian menunggu hasil kelulusan - tiba. Rindu dengan suara bang Udin, kutelepon kak Zahrah, ia terus memberi semangat aku untuk terus belajar dan dapat melanjutkan pendidikan keluar negeri. Sementara kabar bang Udin, ia sedang istrahat. Hanya itu yang diucapkan.

Waktu yang ditunggu tiba. Banyak santri yang memberikan selamat kepadaku. “Mabruk alaik ya akhi ”. Alhamdulillah aku lulus dengan predikat mumtaz .

Ijazahku ini akan ku persembahkan untuk abangku tercinta. Aku minta kepada paman agar mengurus kepulanganku kembali ke Nias, tapi……
“Zie, kamu yang sabar ya Zie., ketika kak Zahrah memberi kabar pada paman, ia bilang kalau ini dirahasiakan agar ujianmu lancar. Tidak ada yang mengganggu. Kau juga telah berjanji akan kuliah di luar negeri selepas ini kan ?” Tanya pamanku serius.
“Iya paman, ta…..ta….tapi rahasia apa ?” tanyaku penuh penasaran.
“Setelah kita sampai ke Medan, kak Zahrah menelpon paman kalau bang Udin,……” putusnya perlahan.
“Bang Udin kenapa paman…….?” Tanyaku semakin penasaran, menggoyang kedua bahunya.
“Ia sudah tenang dalam tempat peristrahatannya Zie..” Jawab pamanku sedih.

Aku masih tak percaya. Tertegun kaget dan menyesal. Seluruh urat saraf dalam tubuhku lemas. Ijazah yang kupegang, jatuh kelantai dengan sendirinya. Dalam telingaku, masih terngiang suara parau lemasnya bang Udin. “ia bilang, kalau besok ia akan menjemputku lagi untuk bermain di taman itu.” Dadaku serasa sesak. Kakikupun tak sanggup menopang tubuhku. Tiba - tiba, dunia gelap semua……

Telah selesai ditulis di sakan thullab, Juni 2007. Direvisi kembali di kediamanku, September 2009
Untuk shohibku…..

PROFIL PENULIS
Mardiono, Lulus SMK Negeri 7 Medan, jurusan akuntansi tahun 2004.
Melanjutkan pendidikan pada September 2006 di Ma’had Abu Ubaidah Bin Al Jarrah angkatan ke IV. Ma’had yang terletak di UMSU III Medan inilah yang mengawali karir dalam dunia kepenulisan. Sempat juga bergabung di Unit Kegiatan Mahasiswa Lembaga Pers Mahasiswa Teropong UMSU sebagai Reporter.

Lulus dengan predikat jayyid jiddan di program Bahasa Arab, kemudian melanjut ke program Tahfidz Qur’an. Kurang lebih satu semester dilalui, panggilan dakwah tiba. Hingga Februari 2011, menjadi Da’i AMCF yang berlokasi di Tapanuli Tengah hingga Februari 2011. Dan telah menyelesaikan pendidikan S1-nya di STAI BU PANDAN Maret 2012.

Cerpen yang telah di terbitkan, “ Tatapan Matanya” pada 04 Oktober 2010 di annida online, dapat di baca di (http://annida-online.com/media.php?module=detailartikel&id=2251&page=1)

Baca juga Cerpen Pendidikan, Cerpen Islam dan Cerpen Sedih yang lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar