THE SIGNS OF THE DREAMS #4 : TRAGEDI DAUN BINTANG
Karya Avans Cross Lines
Di tengah zaman dimana dunia sedang gencar-gencarnya membicarakan hari kiamat, seluruh rakyat Indo malah membicarakan tentang tayangan video misterius yang menghebohkan seantero tanah air baru-baru ini.
Aku pindah ke sebuah perkotaan bernama Routant Hill di Java Island bagian barat sebulan yang lalu sebelum video itu beredar. Saat itu kami sekeluarga memutuskan untuk pindah ke perkotaan terpencil itu karena masalah ekonomi. Ayahku tak sanggup lagi membiayai aku sekolah. Bahkan untuk menghidupi kami sekeluarga saja sangat sulit. Ayah memutuskan pindah ke tempat itu karena biaya hidup disana sangat murah.
Dibilang kota rasanya tidak pas karena tempat itu berada di atas bukit dan masih banyak lahan-lahan kosong seperti hutan dan ladang. Tapi dibilang desapun tidak pas karena suasana disana seperti kota. Semua bangunan dari tembok batu bata, terdapat mini market, stasiun televisi dan radio dibangun disana karena sinyal tv nasional tak sampai kesana. Mungkin sebutan perkotaan pas untuk tempat itu.
Suatu hari, ketika aku menonton salah satu berita televisi lokal disana aku terkejut tentang berita beredarnya sebuah video misterius yang diberi nama video “Hoshi” yang menggegerkan seisi kota.
Aku pindah ke sebuah perkotaan bernama Routant Hill di Java Island bagian barat sebulan yang lalu sebelum video itu beredar. Saat itu kami sekeluarga memutuskan untuk pindah ke perkotaan terpencil itu karena masalah ekonomi. Ayahku tak sanggup lagi membiayai aku sekolah. Bahkan untuk menghidupi kami sekeluarga saja sangat sulit. Ayah memutuskan pindah ke tempat itu karena biaya hidup disana sangat murah.
Dibilang kota rasanya tidak pas karena tempat itu berada di atas bukit dan masih banyak lahan-lahan kosong seperti hutan dan ladang. Tapi dibilang desapun tidak pas karena suasana disana seperti kota. Semua bangunan dari tembok batu bata, terdapat mini market, stasiun televisi dan radio dibangun disana karena sinyal tv nasional tak sampai kesana. Mungkin sebutan perkotaan pas untuk tempat itu.
Suatu hari, ketika aku menonton salah satu berita televisi lokal disana aku terkejut tentang berita beredarnya sebuah video misterius yang diberi nama video “Hoshi” yang menggegerkan seisi kota.
Dalam rekaman video itu, ditayangkan ada sebuah perkebunan ganja yang sangat luas, dan disampingnya terdapat tentara-tentara jepang berseragam hitam yang dibantai dan mayatnya diikat pada rumpunan bambu kering lalu ditancapkan diatas lahan pertanian. Kemudian ada seorang wanita muda, wajahnya dipenuhi oleh bintik-bintik hitam dan kelihatan setengah keriput seperti terkena penyakit. Dia memakai gaun hitam dan memakai topi wanita bangsawan. Kalau dilihat dari postur tubuhnya seperti umur 20 tahun. Rambutnya hitam kecoklatan bergelombang. Dia tersenyum saat dirinya direkam dalam kamera video. Dia berjalan ke perkebunan ganja tersebut, memetik sehelai daun ganja, menciumnya dan melemparkannya ke udara.
Ladang ganja itu sangat luas. Tampak seperti surga bagi para penikmatnya. Aku sangat terkejut saat melihat video itu dan mungkin seluruh wargapun terkejut. Bagaimana mungkin di Indo ada ladang ganja seluas lebih dari sepuluh lapangan sepak bola seperti itu.
Dalam tayangan video berdurasi 10 menit tersebut, aku merasakan kengerian yang amat sangat. Terasa aura yang sangat ganas dan mencekam dari video itu.
Pembawa acara berita tersebut menuturkan bahwa video itu bukanlah direkam di Indo. Karena di Indo tidak ada tempat seperti itu. Bila ada ladang ganja seluas itu pasti pemerintah telah mengetahuinya. Lagi pula setelah ditelusuri ternyata wanita dalam video itu adalah seorang warga Malaysia. Namanya Pnom Venom. Dia telah meninggal sebelas tahun yang lalu akibat kanker kulit yang menyerang wajahnya.
Aku dan orang tuaku tinggal di sebuah rumah yang berada di persimpangan jalan ujung dari Routant Hill. Siang yang teduh itu aku putuskan untuk berjalan-jalan. Satu-satunya barang berhargaku adalah ponsel Nokia 6600 yang sedang aku genggam ini. Aku mempertahankannya agar tidak dijual ayahku. Aku berjalan menyusuri jalanan lengang tanpa kendaraan. Aku potret bangunan-bangunan tua disana dengan ponselku tersebut.
Tak terasa aku sudah berjalan cukup jauh dari rumahku. Aku melihat sebuah jalan yang menikung ke bawah bukit. Menurut seorang pria yang sedang menggendong anaknya mengatakan jalan tersebut menuju ke sebuah gereja tua yang berada jauh di kaki bukit.
Aku dan orang tuaku tinggal di sebuah rumah yang berada di persimpangan jalan ujung dari Routant Hill. Siang yang teduh itu aku putuskan untuk berjalan-jalan. Satu-satunya barang berhargaku adalah ponsel Nokia 6600 yang sedang aku genggam ini. Aku mempertahankannya agar tidak dijual ayahku. Aku berjalan menyusuri jalanan lengang tanpa kendaraan. Aku potret bangunan-bangunan tua disana dengan ponselku tersebut.
Tak terasa aku sudah berjalan cukup jauh dari rumahku. Aku melihat sebuah jalan yang menikung ke bawah bukit. Menurut seorang pria yang sedang menggendong anaknya mengatakan jalan tersebut menuju ke sebuah gereja tua yang berada jauh di kaki bukit.
Aku yang penasaran berjalan kesana untuk melihat gereja tersebut. Semakin berjalan kebawah, jalanan beraspal itu kini berganti menjadi jalanan tanah berbatu yang sempit. Aku berjalan di bawah tanaman merambat yang meneduhi jalanan tersebut. Di samping kanan jalan itu aku melihat sebuah rumah bercat putih kecoklatan bergaya Belanda. Dengan cerobong asap berlumut dan jendela yang berdebu dan halaman yang penuh dengan dedaunan, sepertinya rumah itu telah lama ditinggalkan.
Aku potret rumah itu. Dan disanalah semua kejanggalan ini berawal. Foto rumah dalam ponselku itu sangat bagus. Catnya berwarna putih bersih dan rumah itu tampak terawat.
Aku ubah ponselku ke kamera video. Aku rekam rumah itu dan ternyata sama dengan yang ada pada fotoku. Dalam ponselku, rumah itu tampak bersih, rapi dan indah, tetapi pada kenyataannya rumah itu sudah seperti sarang hantu. Di sebelah rumah itu ada sebuah ayunan yang tergantung pada sebuah pohon. Aku rekam ayunan tersebut. Tapi bukanlah ayunan yang muncul dalam rekaman video di ponselku itu tetapi sekelompok orang.
Lebih tepatnya tentara. Dan aku sepertinya pernah melihat mereka semua dalam video Hoshi tersebut. Aku lihat baik-baik layar ponselku. Tentara-tentara berwajah jepang tersebut memakai seragam dan topi hitam. Mereka berbaris rapi di sebuah lahan kosong.
Tiba-tiba lima orang wanita datang mengampiri mereka dengan mengenakan gaun dan kerudung hitam kecuali seorang wanita yang berjalan paling depan yang mengenakan topi miring bangsawan Eropa yang lebar. Aku kenal wajahnya. “Pnom Venom...” ucapku pelan. Tiba-tiba wanita itu memandang kearahku. Segera aku tekan tombol ’Pause’ dalam ponselku yang sedang merekam. Tak sengaja aku jatuhkan ponselku itu ke tanah.
Sebenarnya aku sangat takut dan ingin segera kabur dari tempat itu. Tapi aku berpikir satu hal. Bila aku menjual rekaman video penampakan ini ke stasiun tv, keluarga kami pasti tidak akan kekurangan lagi. Aku ambil ponselku dan aku tekan tombol ‘lanjut’ dan kembali merekam kearah ayunan tersebut.
Dalam layar ponselku aku lihat tentara-tentara itu sedang duduk di tengah api unggun yang mereka buat. Kemudian wanita berwajah buruk itu menghampiri mereka satu persatu dengan membawa sebilah samurai. Dan tiba-tiba dia menusukkan samurainya ke tubuh tentara-tentara itu. Mereka tidak melawan. Bahkan seorang tentara menusuk tubuhnya dengan tangannya sendiri. Mereka semua mati.
Para wanita itu mengikat para tentara tersebut pada rumpunan bambu kering. Kemudian bambu itu ditancapkan ke tanah mengelilingi api unggun. Mereka semua dibuat seperti orang-orangan pengusir burung. Wanita bernama Pnom Venom itu berjalan ke belakang rumah putih tersebut. Aku segera mengikutinya dengan terus menerus memperhatikan layar ponselku yang sedang merekam.
Di belakang rumah putih itu terdapat perkebunan singkong yang sangat luas. Namun yang terlihat dilayar ponselku adalah pepohonan ganja sejauh mata memandang. Aku rekam semuanya tanpa terlewat sedikitpun.
Wanita itu berjalan ke pedalaman ladang ganja tersebut. Aku berlari ke halaman depan rumah itu. Segera menjauh tak ingin mengikuti wanita itu karena hatiku sudah tidak tenang. Aku tak sanggup berlama-lama disana. Aku rekam untuk terakhir kali bagian depan rumah putih itu. Aku segera berlari ke kaki bukit. Merekam setiap jalan, pepohonan dan ladang-ladang yang akan membuktikan bahwa benar tempat itu berada disini, Routant Hill.
Aku kembali berjalan menuju pusat kota. Merekam setiap rumah, orang-orang dan kendaraan yang lalu lalang. Aku akhiri video itu di persimpangan jalan rumahku.
Rencananya nanti malam video berdurasi 1 jam itu akan aku perlihatkan pada ayah kemudian akan aku jual ke stasiun televisi.
Sekarang ayahku bekerja di pabrik kecil di sudut kota. Dia biasa pulang jam 7 malam. Sementara menunggunya pulang. Aku tonton rekaman video itu di kamarku. Ada hal yang membuatku sangat ketakutan. Ada suara musik aneh di sepanjang video. Padahal saat aku merekamnya semuanya begitu hening.
Aku matikan video itu saat wanita itu terekam dan memandang kearahku karena aku sangat takut. Dia membuatku merinding. Aku baru sadar bahwa suasana di kamarku itu begitu sunyi. Segera aku keluar dari kamar dan berlari menghampiri ibu di dapur.
Beberapa jam kemudian ayahku pulang dan aku segera memperlihatkan video itu setelah selesai makan malam. Dia terlihat sangat terkejut. Namun dia mengatakan untuk tidak menyebarluaskan video itu. Saat aku bertanya kenapa, dia hanya menjawab ’itu berbahaya.’ Aku tidak tahu apa maksud ayahku itu.
Disaat aku sedang tertidur suara musik itu terdengar lagi. Ponselku tiba-tiba memutar video itu dengan sendirinya. Aku matikan hp-ku. Namun dia tetap menyala dan memutar video itu terus menerus dan itu semakin membuatku ketakutan. Segera aku melepas baterainya dan aku masukan ponselku itu kedalam laci di samping tempat tidurku.
Aku tidak mengerti kenapa ayah melarangku mempublikasikan video ini. Tadinya aku berharap dengan menjual video ini aku bisa mendapatkan uang yang banyak dan segera pindah dari tempat yang sudah mati ini.
Keesokan harinya. Aku diam-diam pergi dari rumah. Dengan membawa ponselku itu aku pergi menuju stasiun televisi lokal yang jaraknya 1 kilometer dari rumahku.
Dengan menaiki sebuah bus tua aku berangkat kesana. Sejak bangun tadi pagi aku belum memasangkan baterainya pada ponselnya karena aku merasa tidak nyaman setiap kali mendengar suara musik aneh itu.
Aku heran kenapa langit menjadi mendung dan berwarna gelap seperti ini. Bus itu berhenti di persimpangan jalan. Menurunkan satu-satunya penumpang bus tersebut.
Aku berjalan menyusuri trotoar. Semakin lama langit itu semakin berwarna hitam dan tiba-tiba saja semuanya gelap. Walaupun aku tahu tempat ini selalu mendung tapi aku belum pernah melihat yang seperti ini. Seluruh kota gelap layaknya ruangan dengan lampu mati. Kegelapan sepertinya telah menyelimuti tempat ini.
Aku sendirian berdiri di atas jalanan lengang ini. Aku terpaksa menghidupkan ponselku karena semuanya gelap disini. Aku beranjak dari tempat itu. Kembali ke persimpangan jalan tempat bus tadi menurunkanku.
Tiba-tiba ponselku itu memutar video itu. Aku segera berlari sambil mengarahkan cahaya dari layar hp itu kejalan agar aku bisa melihat.
Semakin berlari dari sana sepertinya aku semakin menuju ke tempat yang tidak aku kenal sebelumnya. Namun aku merasa aku pernah kesini.
Terdengar seseorang membuka pintu dari rumah di sampingku. Aku mengarahkan cahaya dari ponselku itu kesana. Terlihat disana sesosok wanita memakai gaun hitam. Pnom Venom…
Dia berjalan kearahku. Melenggang bagai ratu dari masa lalu. Dia bersama empat orang wanita dibelakangnya yang memakai kerudung itu mendekatiku.
Aku segera melarikan diri dari sana berharap semua ini hanya mimpi. Ponselku sudah tak kuat lagi tuk menerangi jalanan. Dia padam. Dan semuanyapun padam. Aku tersungkur di jalanan. Tak tahu harus melangkah kemana. Kemudian aku memejamkan mata
Aku tak sadarkan diri cukup lama. Saat aku membuka mataku semuanya menjadi terang kembali. Seorang bapak yang sedang menggendong anaknya terheran melihatku tidur di trotoar.
Apa yang terjadi? Tanyaku dalam hati. Aku melihat ke sebuah tv yang dipajang di depan toko elektronik. Gerhana matahari baru saja terjadi sekitar sepuluh menit. Namun bagiku gerhana itu terasa lama sekali.
Aku nyalakan ponselku. Aku lihat video itu masih ada disana. Namun semuanya hilang. Yang terekam di ponselku hanyalah rumah tua dengan ayunan di samping halamannya sementara di belakangnya hanya terdapat perkebunan singkong.
Aku tidak mengerti apa yang telah terjadi. Jangan-jangan ini semua hanya ilusiku semata. Apa benar tempat itu ada?
Inspirated by mydream. Senin, 30 November 2009
PROFIL PENULIS
Avans Cross Lines lahir di Bandung, 31 Maret 1992. Bagiku mimpi adalah inspirasi terbesarku. Mimpi adalah jembatan yang menghubungkan antara khayalan dan kenyataan dimana aku dapat dengan leluasa menyebrangi garis antara kedua dunia tersebut. Untuk sejenak ikutlah bersamaku dan lihatlah seberapa indah, seram, romantis, lucu, bahagia, maupun menegangkannya jembatan itu.
Fb: Avans ‘Dani Cross Lines
Blog: avanscrosslines.blogspot.com
Fb: Avans ‘Dani Cross Lines
Blog: avanscrosslines.blogspot.com
Baca juga Cerpen Horor yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar