Minggu, 15 Juli 2012

Cerpen Sciene Fi - Tragedi Bintang Biru

THE SIGNS OF THE DREAMS #6 : MASSAL
Karya Avans Cross Lines
 
21 Februari 2058.
Aku silang tanggal dalam kalender kertas yang aku bawa. Sebuah diari yang sedang aku pegang ini adalah sebuah saksi hidup. Hari demi hari setiap peristiwa yang terjadi aku tulis dalam diariku ini.
Kami, sekelompok manusia yang berada di kapal ini adalah orang-orang yang selamat dari kematian. Kami terdampar jauh. Jauh dari peradaban manusia. Di tempat ini tidak ada apa-apa. Tidak ada daratan, tidak ada lautan, tidak ada matahari. Yang ada hanya langit hitam bercahayakan jutaan bintang nun jauh dari tempat kami terdampar.

Kami bukanlah penumpang kapal pesiar ataupun pesawat terbang yang hilang ketika memasuki kawasan segitiga bermuda. Kami lebih dari itu. Kami adalah keluarga Astronot. Keluarga Astronot yang mengalami kecelakaan saat kami hendak mendarat di Mars.

8 tahun lalu adalah waktu dimana kami melakukan perjalanan ini. Aku adalah anak berumur 15 tahun. Anak dari sepasang astronot. Ayah dan ibuku adalah astronot dan mereka bekerja di NASA.
Bagiku, ini adalah pengalaman yang sangat menakjubkan karena pemerintah menganjurkan membawa serta keluarga para Astronot yang akan diluncurkan ke Mars.

21 Februari 2050.
Tahun ini ada penjelajahan ke planet mars yang kesekian kalinya. Ayah, ibu, beserta 3 astronot lainnya akan membuat sebuah tempat disana yang dinamakan OX-House. Sebuah tempat berbentuk kubah dengan diameter 50 m itu akan dijadikan sebuah tempat peristirahatan terbaik. Tempat itu akan dijadikan rumah oksigen. Agar para astronot bisa bertahan hidup di Mars tanpa mengenakan pakaian khusus tersebut.
Untuk membangun tempat tersebut membutuhkan waktu sekitar 1 tahun. Keluargaku bersama 3 keluarga astronot lainnya bersiap lepas landas dari bumi pagi itu. Lost Heaven, adalah nama kapal ulang alik yang kami tumpangi. Kapal yang terlalu besar untuk dikendalikan segelintir orang saja.

21 Februari 2050. Pukul 03.00.
Kapal itu pun meluncur. Menembus lapisan langit yang masih hitam. Mesin yang sangat kuat membuat kami dengan cepat sampai ke Mars.
Awalnya kami pikir perjalanan ini akan baik-baik saja, hingga suatu ketika sebuah gelombang berwarna kemerahan menabrak kapal kami. Melemparkan kami jauh dari lintasan Mars yang seharusnya kami tuju. Gelombang itu mengacaukan seluruh sistem sehingga kami tidak bisa menghubungi bumi. Kami terlempar jauh hampir mendekati lintasan asteroid.
Ada hal aneh di tempat itu. Kami melihat sebuah daerah berwarna gelap di hadapan kami. Sebelum sempat kami menyadari benda langit apa itu kami sudah terhisap ke dalamnya. Kapal kami terhisap lubang hitam. Kami terputar-putar dan terhisap jauh ke dalam lubang itu. Namun anehnya kami selamat. Kami tidak dihancurkan oleh monster galaksi tersebut. Setelah selang beberapa lama kamipun terlempar keluar dari lubang itu.

Kami tidak tahu berada dimana. Koordinat kami tidak diketahui. Kami terlempar milyaran tahun cahaya dari bumi. Dan sepertinya kami berada di galaksi lain. Kepanikanpun mulai terjadi.
Akankah kami selamat? Bisakah kami pulang? Bagaimana jika kami terdampar selamanya di sebuah galaksi tanpa bintang ini.
Nebula berwarna jingga seperti kapas bergelumul entah berapa jarak dari kami. Yang dapat kami lihat di hadapan kami hanyalah sebuah bintang. Bintang yang memancarkan cahaya biru.
Berkali-kali, hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, awak kapal mencoba menghubungi bumi dan memperbaiki sistem yang rusak. Namun kami sadar itu tidak ada gunanya. Kami sadar bahwa kami tidak akan dapat kembali ke bumi. Kami akan terdampar disini selamanya.

21 Februari 2051.
Aku silang tanggal itu dalam kalenderku. Kami sudah terdampar setahun di tempat ini. Di tempat yang akan menjadi kuburan kami kelak.
Kami semua sudah putus asa menghubungi bumi. Tepat di tanggal itu kami hentikan usaha untuk menghubungi bumi dan para astronot mulai beralih ke hal lain. Mereka mulai meneliti bintang biru itu.
Persedian makanan dan minuman yang kami bawa cukup banyak. Namun, tetap saja suatu saat akan habis dan kami akan mati kelaparan. Di dalam kapal ini kami hanya bisa menunggu ajal datang menjemput kami semua.

Tahun demi tahun telah berjalan. 21 Februari 2055. Itu menurut perhitunganku. Tapi sebenarnya aku sendiri tidak tahu tahun berapa sekarang karena segalanya telah berbeda. Mungkin, kalau sekarang kami berada di bumi. Tak akan ada yang tersisa lagi di kuburan kami.
Semua orang ketakutan, panik, putus asa, bahkan seorang istri salah satu astronot mencoba bunuh diri. Hampir setiap waktu, kami semua berdiri di depan tembok kaca tebal. Memandang bintang biru di hadapan kami.
Tiba-tiba, sesuatu terlihat dalam bintang biru melalui teropong luar angkasa kapal kami. Sesuatu berwarna hijau. Dan kamipun sadar bahwa itu bukanlah sebuah bintang. Melainkan sebuah planet bercahaya.
Sudah hampir setahun kami tak saling bicara. Persediaan makanan semakin menipis dan sebagian dari kami mengalami sebuah penyakit aneh. Entah apa namanya tapi aku menyebutnya Blue Mind Effect. Setengah dari kami mengalami penyakit itu. Mereka mulai kejang-kejang, berkeringat, dan sekarat saat kami semua melakukan rutinitas kami. Memandang bintang biru atau sekarang sebutannya adalah planet bintang biru
2 tahun berlalu. Kami sudah tak memiliki persediaan makanan lagi. Seorang gadis muda anak dari kapten kapal mulai kejang-kejang sebelum akhirnya meninggal.
Kelaparan mulai melanda seluruh awak kapal. Penelitian tentang planet yang kami sebut bintang biru atau Blue Star tersebut belum juga menemukan jawaban. Para astronot ragu untuk mendaratkan kapal ini di planet yang tidak diketahui tersebut.
Dari 16 awak yang tersisa hanya setengahnya saja yang sampai saat ini masih bertahan hidup. Aku, Ayah, Ibu, Kapten beserta istrinya, kakak beradik dan seorang astronot lain.
Sudah lebih dari satu minggu kami berusaha tetap hidup tanpa makanan. Yang kami semua harapkan saat ini bukanlah selamat. Karena kami sudah mengakui dan menyadari bahwa kami tidak akan selamat. Yang kami harapkan sekarang adalah pengampunan dari Tuhan.
Kami semua berkumpul di hadapan bintang biru. Saling menggenggam erat lengan kami, memejamkan mata kami, dan berdoa dengan sepenuh hati.

Silaunya cahaya planet itu sampai menembus kelopak mata kami. Perlahan kami membuka mata dan terkejut melihat apa yang terjadi dengan planet bintang biru tersebut. Daratan hijau tampak jelas terlihat oleh kami dengan mata telanjang. Daratan yang indah seperti surga yang hilang dari dunia ini.
“Mungkin masih ada harapan…” kata kapten pelan.
Tanpa berlama-lama lagi, dengan tenaga terakhir yang kami miliki. Kami jalankan kapal itu menuju Blue Star. Kami menerobos atmosfer yang tampak seperti lautan biru dengan bintik-bintik putih yang memancarkan cahaya. Dan tibalah kami disana. Kami mendarat di atas ladang rumput yang hijau yang di kelilingi oleh pegunungan indah dan hutan hujan.
Untuk pertama kalinya kami melihat tempat seindah ini. Kamipun bersiap membuka gerbang dan keluar dari kapal. Kami tidak tahu apakah di tempat ini terdapat oksigen atau tidak tapi yang pasti jika kami harus mati, kami rela mati di tempat indah ini.

Pintu baja setebal 19 inchi itupun dibuka. Cahaya yang hangat menyentuh kulit kami dan udara yang sangat segar masuk keparu-paru kami.
“Andai saja kita tidak pernah ragu…” kata ibuku menghirup oksigen yang sangat murni tersebut.
Kami semua mengucurkan air mata. Kami semua langsung berlari menuju ke sebuah sungai kecil yang mengalir pelan diantara padang rumput. Airnya begitu jernih, tenaga yang hilang seakan-akan tak pernah kami rasakan. Kami berlarian kesana kemari tak sadar diri kami yang sebenarnya.
Beberapa lama kemudian kami melihat sebuah kotak baja. Tergeletak di tengah kumpulan bunga. Kami mendekatinya dan ayahku mencoba membuka kotak itu. Terdapat sebuah buku dan kalender usang di dalamnya.

Ayahku membacakan pada kami tulisan yang terdapat dibuku tebal itu.
“21 Februari 2291. Matahari menjauh kemudian redup cahayanya dan terjadi supernova yang sangat hebat akibat meledaknya matahari. Bumi selamat. Namun lintasan planet-planet berubah total.
Selama lebih dari 1 abad tata surya dilanda kegelapan. Satu persatu planet-planet mulai berguguran. Perlahan-lahan peradaban manusiapun mulai punah. Para ilmuan berusaha membuat cahaya buatan untuk menghangatkan bumi. Sebuah gas buatan diledakkan di angkasa dan menciptakan langit biru yang bercahaya.
Bumi kembali terang dan hangat. Namun, butuh waktu berabad-abad agar bumi kembali seperti sedia kala.

21 Februari 3797. 90% manusia musnah. Kami yang tersisa mencoba bertahan hidup dan menunggu bumi pulih sepenuhnya.” Kata ayahku.
“Jadi... ini bumi?”
“Ya, kapten. Kita telah menembus lorong waktu. Ini adalah masa depan bumi kita…” kata ayahku.
Aku melihat kalender yang tedapat di kotak itu. Aku melihat 1 tanggal dalam kalender itu ditandai silang. 21 Februari 21210. Di bawah kalender itu terdapat sebuah tulisan.
Tahun ini adalah penjelajahan ke planet E2. Kami berhasil menemukan planet yang mirip dengan bumi dan kami berhasil menciptakan kapal luar angkasa berkecepatan cahaya yang dapat melesat cepat menuju planet itu yang jaraknya jutaan tahun cahaya dari bumi ini. Kami akan tinggal di planet itu sampai bumi ini benar-benar pulih sepenuhnya…

Inspirated by mydream. Minggu, 21 Februari 2010

PROFIL PENULIS
Avans Cross Lines lahir di Bandung, 31 Maret 1992. Bagiku mimpi adalah inspirasi terbesarku. Mimpi adalah jembatan yang menghubungkan antara khayalan dan kenyataan dimana aku dapat dengan leluasa menyebrangi garis antara kedua dunia tersebut. Untuk sejenak ikutlah bersamaku dan lihatlah seberapa indah, seram, romantis, lucu, bahagia, maupun menegangkannya jembatan itu.
Fb: Avans ‘Dani Cross Lines
Blog: avanscrosslines.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar