CINTA SEORANG NINA
Karya Murni Oktarina
“Hebat! Berani sekali kamu Nina membantah omongan Pak Haris tadi,” decak Riri kagum pada Nina yang sedang asyik makan bakso di hadapannya.
“Harus dong, Ri. Kita-kita kan tidak salah ya jadi harus berani. Memangnya guru harus selalu benar? Tidak kan?” balas Nina sambil mengunyah baksonya lahap.
Sesaat mata Nina tertuju pada sesosok cowok tinggi yang sedang bermain basket di lapangan dekat kantin. Putra, cowok yang dikagumi dan dicintai Nina tanpa Nina tahu kenapa dia bisa jatuh cinta dengan cowok hitam manis itu. Dulu hubungannya dengan Putra bisa dikatakan amat akrab karena mereka sahabat sejak masih SMP dan sama-sama ikut ekstrakurikuler basket. Namun karena ada sesuatu hal yang membuat Putra kecewa dan marah, sampai sekarang Putra selalu menghindari Nina. Sebenarnya Nina sangat terluka, tapi apa boleh buat semua itu memang salah dirinya.
“Eh Nin, kenapa bengong begitu? Entar kesambet jin baru tahu rasa, haha..” canda Riri yang membuyarkan lamunan Nina.
“Tidak apa-apa kok,” cengir Nina yang kemudian menyeruput jus jeruknya.
Riri adalah sahabat Nina sekaligus teman sebangku sejak masuk SMA dan sekarang mereka sudah kelas XII yang berarti lebih kurang sudah tiga tahun Nina dan Riri bersahabat. Akhir-akhir ini Riri terlihat akrab dan dekat dengan Putra, membuat Nina merasakan sedikit kecemburuan. Tapi, Nina mengikhlaskan kedekatan mereka karena Riri adalah sahabatnya.
***
“Harus dong, Ri. Kita-kita kan tidak salah ya jadi harus berani. Memangnya guru harus selalu benar? Tidak kan?” balas Nina sambil mengunyah baksonya lahap.
Sesaat mata Nina tertuju pada sesosok cowok tinggi yang sedang bermain basket di lapangan dekat kantin. Putra, cowok yang dikagumi dan dicintai Nina tanpa Nina tahu kenapa dia bisa jatuh cinta dengan cowok hitam manis itu. Dulu hubungannya dengan Putra bisa dikatakan amat akrab karena mereka sahabat sejak masih SMP dan sama-sama ikut ekstrakurikuler basket. Namun karena ada sesuatu hal yang membuat Putra kecewa dan marah, sampai sekarang Putra selalu menghindari Nina. Sebenarnya Nina sangat terluka, tapi apa boleh buat semua itu memang salah dirinya.
“Eh Nin, kenapa bengong begitu? Entar kesambet jin baru tahu rasa, haha..” canda Riri yang membuyarkan lamunan Nina.
“Tidak apa-apa kok,” cengir Nina yang kemudian menyeruput jus jeruknya.
Riri adalah sahabat Nina sekaligus teman sebangku sejak masuk SMA dan sekarang mereka sudah kelas XII yang berarti lebih kurang sudah tiga tahun Nina dan Riri bersahabat. Akhir-akhir ini Riri terlihat akrab dan dekat dengan Putra, membuat Nina merasakan sedikit kecemburuan. Tapi, Nina mengikhlaskan kedekatan mereka karena Riri adalah sahabatnya.
***
Sudah enam hari Nina tidak masuk sekolah dikarenakan dirinya harus beristirahat di rumah sesuai anjuran dokter. Saat Nina kelas 2 SMA, dia sempat mengalami pingsan saat bermain basket, setelah dibawa ke rumah sakit oleh mamanya, baru diketahui ternyata telah tumbuh tumor di otak Nina. Tumor itu belum bisa diangkat sampai sekarang karena belum ada dokter dan rumah sakit mana pun yang sanggup. Selama lebih kurang satu tahun Nina harus menjalani hidup dengan tumor di otaknya dan tak jarang Nina merasakan sakit yang teramat di kepalanya dan sesekali pingsan.
Mama Nina bolak-balik dengan perasaan cemas di depan kamar Nina. Saat ini dokter sedang memeriksa Nina yang terbaring lemah di kamarnya setelah jatuh pingsan dua jam yang lalu.
“Dok, bagaimana kondisi Nina sekarang? Nina masih bisa diselamatkan?” tanya mama Nina hampir menangis setelah dokter keluar dari kamar Nina.
“Tumor di otak Nina sudah membesar. Saya sudah menghubungi salah satu rumah sakit di luar negeri dan tinggal menunggu jawabannya. Setelah itu kita siap untuk membawa Nina kesana dan melakukan operasi pengangkatan tumor. Saat ini yang terpenting, Ibu harus tetap menjaga dan mengawasi kesehatan Nina dan jangan sampai Nina banyak pikiran karena dapat menyebabkan otaknya tertekan sehingga tumor akan semakin mengganas,” jelas dokter.
Sepulangnya dokter, mama Nina langsung menuju ke kamar dan membelai anak semata wayangnya itu dengan penuh kasih sayang.
“Ma, besok Nina sekolah ya. Nina ada ulangan matematika,”
“Iya sayang, besok mama akan antar kamu ke sekolah asalkan kamu janji sepulang sekolah harus segera pulang ke rumah dan jangan main basket lagi!”
Nina mengangguk dan tersenyum. Mamanya mencium kening Nina dan menyuruh Nina untuk segera tidur.
***
Dengan senyuman manis, Nina menyapa mamanya yang lagi menyusun piring di meja makan. “Selamat pagi mamaku sayang,”
“Pagi juga cantik,” balas mama sambil mencium kedua pipi Nina yang panas.
Perasaan seorang ibu memang sangat peka dan ini dirasakan mama Nina saat mencium dan memeluk Nina barusan. Rasa khawatir terhadap seorang anak yang sudah dibesarkannya dengan kesendiriran karena papa Nina sudah meninggalkan mereka menghadap sang Ilahi saat Nina masih di sekolah dasar.
“Sayang, apa kamu yakin untuk sekolah hari ini?” tanya mama sembari menuangkan air putih ke dalam gelas.
“Iya mama, Nina sudah merasa baikan. Lima hari di rumah saja cukup membuat jenuh, Ma.” jawab Nina serius meyakinkan mamanya.
Sesampainya di sekolah Nina mencari Riri, tak ditemukannya Riri di dalam kelas. Tak mungkin jam segini Riri belum datang, biasanya Riri datang lebih cepat dari dirinya. Tiba-tiba Nina teringat taman belakang sekolah, Riri dan Nina sering duduk-duduk di sana sambil belajar atau hanya sekedar mengobrol. Nina pun mengayunkan kakinya menuju taman belakang.
Namun, saat telah ditemukannya Riri. Diurungkannya niat untuk menghampiri Riri karena Riri sedang duduk berdua bersama Putra. Mereka sedang mengobrol dan saling berpandangan, Putra memegang jemari Riri dan mengecupnya. Melihat itu, Nina merasakan cemburu dan tanpa sadar matanya mengeluarkan air bening. Tetapi dengan cepat perasaan itu dia buang jauh-jauh dan berusaha untuk tenang. Nina kembali ke dalam kelas dengan langkah yang cepat setengah berlari.
“Nin, kamu sakit apa ? Lima hari kamu tak sekolah dan kata guru kita kami tidak perlu menjenguk kamu, padahal aku ingin sekali ke rumah dan melihat kamu,” kata Nina yang sudah kembali ke kelas.
“Aku cuma demam, Ri. Tak perlu dijenguk kok. Sakitnya kan tak parah, hehee…” Nina menjawab dengan nada riang.
Nina memang merahasiakan penyakitnya kepada siapa pun. Hanya wali kelasnya yang diberitahu mama Nina mengenai penyakit Nina.
“Tapi aku merasa aneh, kok bisa kamu tidak masuk sekolah beberapa hari hampir tiap bulan loh, Nin?” tanya Riri lagi dengan penasaran.
“Riri yang cantik, beneran deh aku tidak apa-apa. Percaya padaku ya,” mohon Nina sambil mengembungkan pipinya bercanda.
“Iya, iya. Percaya deh. Oh ya, aku ada kejutan buat kamu. Aku jadian dengan Putra teman SMP kamu dulu itu Nin, tadi dia menyatakan cinta di taman belakang,” jelas Riri yang matanya memancarkan kebahagiaan.
“Waw, selamat ya Riri. Aku ikut bahagia, kalian memang cocok. Putra cakep, pintar main basket lagi dan kamu cantik juga baik hati. Traktir aku ya,” canda Nina untuk menutupi rasa kagetnya.
“Mudahlah itu, selesai ulangan nanti siang kita bertiga makan bakso kesukaanmu di kantin ya,” ujar Riri seraya mencuil hidung mancung Nina yang hanya bisa nyengir lucu.
Nina tahu, Riri dan Putra memang telah dekat sejak Riri menjadi anggota cheerleader tim basket Putra. Nina juga anggota basket namun dia berhenti saat diketahui ada tumor di otaknya yang mengharuskan Nina untuk mengurangi kegiatan. Nina tak menyangka Putra dan Riri akan jadian. Tepatnya bukan tak menyangka tapi tak ingin. ‘Alangkah egoisnya diriku jika merasa cemburu dan tak ingin mereka bersatu, aku harus rela. Riri dan Putra sama-sama sahabatku. Jika mereka bahagia seharusnya aku pun bahagia’ batin Nina dalam hati.
***
Nina dilanda kesepian, sahabat terdekatnya di sekolah, Riri, sudah tak lagi menemaninya seperti dulu, ke kantin, ke perpustakaan, pulang bareng dan sebagainya. Riri sekarang lebih banyak menghabiskan waktu bersama Putra.
“Ri, temani aku beli komik ya hari ini!” pinta Nina sedikit ragu karena melihat Riri membereskan meja dengan cepat.
“Maaf Nina, aku mau menemani Putra memesan kaos tim basket untuk anak kelas X sekarang. Lain kali saja aku temani. Aku duluan ya,” kata Riri menyunggingkan senyum dan buru-buru keluar kelas.
Wajah Nina tertunduk. Riri seolah melupakannya dan lebih mementingkan Putra yang sudah jadi pacarnya. Dengan menghela nafas panjang Riri pun meninggalkan kelas yang masih cukup ramai.
Nina memilih-milih komik yang berderet rapi di toko buku langganannya. Dia teringat biasanya Riri juga ikut memilihkan komik yang menarik untuk mereka beli. Nina menangis dan cepat-cepat memilih satu komik kemudian membayarnya. Nina mengusap airmatanya, menunggu mamanya yang akan menjemput di depan toko buku. Tiba-tiba Nina merasakan kepalanya berat dan sakit yang tak tertahankan, belum sempat berpegangan di tiang dekat tempatnya berdiri, Nina tak sadarkan diri. Mamanya yang baru tiba, berteriak histeris melihat putrinya tergeletak tak berdaya di depan toko buku.
***
Riri dan Putra baru tiba di rumah Nina yang sangat ramai. Bukan acara pesta atau syukuran. Namun…
“Nina… Bangun! Maafkan aku, aku tak tahu kamu punya tumor di otak, aku tak tahu kalau kamu menderita. Akhir-akhir ini aku seolah melupakanmu dan aku tak menemanimu ke toko buku kemarin. Aku sangat menyesal dengan sikapku, Nina. Aku terlambat, sahabat seperti apa aku ini. Hiks…Hiks…” tangisan Riri memenuhi dan mengiringi suasana berkabung atas meninggalnya Nina.
Mama Nina memeluk Riri yang histeris. Putra hanya terdiam, namun dia tak mampu menahan air yang terjatuh dari kedua pelupuk matanya. Setelah Riri agak tenang, mama Nina menyodorkan surat berwarna jingga kepada Putra.
“Itu tante temukan di meja belajar Nina pagi tadi. Tante baca di amplopnya bertuliskan untuk Putra,” kata Mama Nina yang matanya sembab dengan wajah yang menyimpan berjuta kesedihan.
“Terima kasih tante,” ujar Putra menerima surat tersebut dan membacanya.
Dear Putra,
Selamat ya karena kamu dan Riri sudah bersatu. Kalian memang serasi dan cocok sekali. Aku turut bahagia untuk kalian berdua. Kamu sudah menemukan orang yag tepat untuk kamu cintai, Putra.
Aku menulis surat ini juga untuk memohon maaf sekali lagi atas kelancanganku setahun yang lalu. Kamu sangat marah saat aku menyatakan kalau aku menyayangimu lebih dari sayang seorang sahabat. Setelah itu kita tak lagi akrab dan sahabatan, bahkan kamu tak mau menegurku. Aku sangat menyesal Putra, menyesal atas sikapku dan perasaanku. Semoga sekarang kamu sudah memaafkan aku.
Jaga Riri baik-baik ya, jangan kecewakan dia. Sekali lagi ku katakana aku bahagia melihat kalian bersama walau awalnya aku merasakan cemburu dan tak rela. Tapi, aku cukup sadar rasa cemburuku dan tak kerelaanku tidak ada gunanya. Apalagi tanpa kamu dan Riri ketahui, sebenarnya aku adalah gadis yang penyakitan. Ada tumor yang sudah satu tahun bersarang di otakku. Itulah sebabnya kenapa aku sering tidak masuk sekolah dan keluar dari tim basket. Maaf ya aku merahasiakan ini dari kalian.
“Doakan aku dan ikut ke pemakamanku jika benar aku akan meninggalkan dunia ini ya Putra, aku ingin sekali saja kau memperhatikanku untuk yang terakhir kalinya. Terima kasih ^_^
Sahabatmu, Nina
Putra melipat surat itu dan matanya semakin dibanjiri air bening. Riri yang melihat Putra menangis menjadi heran. Keheranannya terjawab tatkala dia selesai membaca surat yang dia ambil dari tangan Putra. Riri pun menangis lagi dalam pelukan Putra.
TAMAT
Mama Nina bolak-balik dengan perasaan cemas di depan kamar Nina. Saat ini dokter sedang memeriksa Nina yang terbaring lemah di kamarnya setelah jatuh pingsan dua jam yang lalu.
“Dok, bagaimana kondisi Nina sekarang? Nina masih bisa diselamatkan?” tanya mama Nina hampir menangis setelah dokter keluar dari kamar Nina.
“Tumor di otak Nina sudah membesar. Saya sudah menghubungi salah satu rumah sakit di luar negeri dan tinggal menunggu jawabannya. Setelah itu kita siap untuk membawa Nina kesana dan melakukan operasi pengangkatan tumor. Saat ini yang terpenting, Ibu harus tetap menjaga dan mengawasi kesehatan Nina dan jangan sampai Nina banyak pikiran karena dapat menyebabkan otaknya tertekan sehingga tumor akan semakin mengganas,” jelas dokter.
Sepulangnya dokter, mama Nina langsung menuju ke kamar dan membelai anak semata wayangnya itu dengan penuh kasih sayang.
“Ma, besok Nina sekolah ya. Nina ada ulangan matematika,”
“Iya sayang, besok mama akan antar kamu ke sekolah asalkan kamu janji sepulang sekolah harus segera pulang ke rumah dan jangan main basket lagi!”
Nina mengangguk dan tersenyum. Mamanya mencium kening Nina dan menyuruh Nina untuk segera tidur.
***
Dengan senyuman manis, Nina menyapa mamanya yang lagi menyusun piring di meja makan. “Selamat pagi mamaku sayang,”
“Pagi juga cantik,” balas mama sambil mencium kedua pipi Nina yang panas.
Perasaan seorang ibu memang sangat peka dan ini dirasakan mama Nina saat mencium dan memeluk Nina barusan. Rasa khawatir terhadap seorang anak yang sudah dibesarkannya dengan kesendiriran karena papa Nina sudah meninggalkan mereka menghadap sang Ilahi saat Nina masih di sekolah dasar.
“Sayang, apa kamu yakin untuk sekolah hari ini?” tanya mama sembari menuangkan air putih ke dalam gelas.
“Iya mama, Nina sudah merasa baikan. Lima hari di rumah saja cukup membuat jenuh, Ma.” jawab Nina serius meyakinkan mamanya.
Sesampainya di sekolah Nina mencari Riri, tak ditemukannya Riri di dalam kelas. Tak mungkin jam segini Riri belum datang, biasanya Riri datang lebih cepat dari dirinya. Tiba-tiba Nina teringat taman belakang sekolah, Riri dan Nina sering duduk-duduk di sana sambil belajar atau hanya sekedar mengobrol. Nina pun mengayunkan kakinya menuju taman belakang.
Namun, saat telah ditemukannya Riri. Diurungkannya niat untuk menghampiri Riri karena Riri sedang duduk berdua bersama Putra. Mereka sedang mengobrol dan saling berpandangan, Putra memegang jemari Riri dan mengecupnya. Melihat itu, Nina merasakan cemburu dan tanpa sadar matanya mengeluarkan air bening. Tetapi dengan cepat perasaan itu dia buang jauh-jauh dan berusaha untuk tenang. Nina kembali ke dalam kelas dengan langkah yang cepat setengah berlari.
“Nin, kamu sakit apa ? Lima hari kamu tak sekolah dan kata guru kita kami tidak perlu menjenguk kamu, padahal aku ingin sekali ke rumah dan melihat kamu,” kata Nina yang sudah kembali ke kelas.
“Aku cuma demam, Ri. Tak perlu dijenguk kok. Sakitnya kan tak parah, hehee…” Nina menjawab dengan nada riang.
Nina memang merahasiakan penyakitnya kepada siapa pun. Hanya wali kelasnya yang diberitahu mama Nina mengenai penyakit Nina.
“Tapi aku merasa aneh, kok bisa kamu tidak masuk sekolah beberapa hari hampir tiap bulan loh, Nin?” tanya Riri lagi dengan penasaran.
“Riri yang cantik, beneran deh aku tidak apa-apa. Percaya padaku ya,” mohon Nina sambil mengembungkan pipinya bercanda.
“Iya, iya. Percaya deh. Oh ya, aku ada kejutan buat kamu. Aku jadian dengan Putra teman SMP kamu dulu itu Nin, tadi dia menyatakan cinta di taman belakang,” jelas Riri yang matanya memancarkan kebahagiaan.
“Waw, selamat ya Riri. Aku ikut bahagia, kalian memang cocok. Putra cakep, pintar main basket lagi dan kamu cantik juga baik hati. Traktir aku ya,” canda Nina untuk menutupi rasa kagetnya.
“Mudahlah itu, selesai ulangan nanti siang kita bertiga makan bakso kesukaanmu di kantin ya,” ujar Riri seraya mencuil hidung mancung Nina yang hanya bisa nyengir lucu.
Nina tahu, Riri dan Putra memang telah dekat sejak Riri menjadi anggota cheerleader tim basket Putra. Nina juga anggota basket namun dia berhenti saat diketahui ada tumor di otaknya yang mengharuskan Nina untuk mengurangi kegiatan. Nina tak menyangka Putra dan Riri akan jadian. Tepatnya bukan tak menyangka tapi tak ingin. ‘Alangkah egoisnya diriku jika merasa cemburu dan tak ingin mereka bersatu, aku harus rela. Riri dan Putra sama-sama sahabatku. Jika mereka bahagia seharusnya aku pun bahagia’ batin Nina dalam hati.
***
Nina dilanda kesepian, sahabat terdekatnya di sekolah, Riri, sudah tak lagi menemaninya seperti dulu, ke kantin, ke perpustakaan, pulang bareng dan sebagainya. Riri sekarang lebih banyak menghabiskan waktu bersama Putra.
“Ri, temani aku beli komik ya hari ini!” pinta Nina sedikit ragu karena melihat Riri membereskan meja dengan cepat.
“Maaf Nina, aku mau menemani Putra memesan kaos tim basket untuk anak kelas X sekarang. Lain kali saja aku temani. Aku duluan ya,” kata Riri menyunggingkan senyum dan buru-buru keluar kelas.
Wajah Nina tertunduk. Riri seolah melupakannya dan lebih mementingkan Putra yang sudah jadi pacarnya. Dengan menghela nafas panjang Riri pun meninggalkan kelas yang masih cukup ramai.
Nina memilih-milih komik yang berderet rapi di toko buku langganannya. Dia teringat biasanya Riri juga ikut memilihkan komik yang menarik untuk mereka beli. Nina menangis dan cepat-cepat memilih satu komik kemudian membayarnya. Nina mengusap airmatanya, menunggu mamanya yang akan menjemput di depan toko buku. Tiba-tiba Nina merasakan kepalanya berat dan sakit yang tak tertahankan, belum sempat berpegangan di tiang dekat tempatnya berdiri, Nina tak sadarkan diri. Mamanya yang baru tiba, berteriak histeris melihat putrinya tergeletak tak berdaya di depan toko buku.
***
Riri dan Putra baru tiba di rumah Nina yang sangat ramai. Bukan acara pesta atau syukuran. Namun…
“Nina… Bangun! Maafkan aku, aku tak tahu kamu punya tumor di otak, aku tak tahu kalau kamu menderita. Akhir-akhir ini aku seolah melupakanmu dan aku tak menemanimu ke toko buku kemarin. Aku sangat menyesal dengan sikapku, Nina. Aku terlambat, sahabat seperti apa aku ini. Hiks…Hiks…” tangisan Riri memenuhi dan mengiringi suasana berkabung atas meninggalnya Nina.
Mama Nina memeluk Riri yang histeris. Putra hanya terdiam, namun dia tak mampu menahan air yang terjatuh dari kedua pelupuk matanya. Setelah Riri agak tenang, mama Nina menyodorkan surat berwarna jingga kepada Putra.
“Itu tante temukan di meja belajar Nina pagi tadi. Tante baca di amplopnya bertuliskan untuk Putra,” kata Mama Nina yang matanya sembab dengan wajah yang menyimpan berjuta kesedihan.
“Terima kasih tante,” ujar Putra menerima surat tersebut dan membacanya.
Dear Putra,
Selamat ya karena kamu dan Riri sudah bersatu. Kalian memang serasi dan cocok sekali. Aku turut bahagia untuk kalian berdua. Kamu sudah menemukan orang yag tepat untuk kamu cintai, Putra.
Aku menulis surat ini juga untuk memohon maaf sekali lagi atas kelancanganku setahun yang lalu. Kamu sangat marah saat aku menyatakan kalau aku menyayangimu lebih dari sayang seorang sahabat. Setelah itu kita tak lagi akrab dan sahabatan, bahkan kamu tak mau menegurku. Aku sangat menyesal Putra, menyesal atas sikapku dan perasaanku. Semoga sekarang kamu sudah memaafkan aku.
Jaga Riri baik-baik ya, jangan kecewakan dia. Sekali lagi ku katakana aku bahagia melihat kalian bersama walau awalnya aku merasakan cemburu dan tak rela. Tapi, aku cukup sadar rasa cemburuku dan tak kerelaanku tidak ada gunanya. Apalagi tanpa kamu dan Riri ketahui, sebenarnya aku adalah gadis yang penyakitan. Ada tumor yang sudah satu tahun bersarang di otakku. Itulah sebabnya kenapa aku sering tidak masuk sekolah dan keluar dari tim basket. Maaf ya aku merahasiakan ini dari kalian.
“Doakan aku dan ikut ke pemakamanku jika benar aku akan meninggalkan dunia ini ya Putra, aku ingin sekali saja kau memperhatikanku untuk yang terakhir kalinya. Terima kasih ^_^
Sahabatmu, Nina
Putra melipat surat itu dan matanya semakin dibanjiri air bening. Riri yang melihat Putra menangis menjadi heran. Keheranannya terjawab tatkala dia selesai membaca surat yang dia ambil dari tangan Putra. Riri pun menangis lagi dalam pelukan Putra.
TAMAT
PROFIL PENULIS
Nama : Murni Oktarina
TTL : Palembang, 27 Oktober 1990
Facebook : http://www.facebook.com/murni.dudidam
Twitter : https://twitter.com/#!/Murni_dudidam
Hobi : Membaca dan Menulis
TTL : Palembang, 27 Oktober 1990
Facebook : http://www.facebook.com/murni.dudidam
Twitter : https://twitter.com/#!/Murni_dudidam
Hobi : Membaca dan Menulis
Baca juga Cerpen Persahabatan dan Cerpen Cinta yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar