ISTANA SUTERA DI DALAM LUKISAN
Karya Hasna Rafida Sari
Terik matahari membakar punggungku dan bapak. Kulitku seakan-akan masuk kedalam rimbunan api. Sampai merasuki tulang belulangku. Ku kuras semua tenagaku untuk mendorong gerobak bertumpukan batu ini. Kaki dan tanganku bagai layang-layang putus talinya. Ku coba tuk semangat dan tetap semangat. Aku dan bapak terus mendorong gerobak ini. Kami ikuti alur jalan dari sungai Grindulu menuju ke kampungku. Kami berjalan sambil tertatih-tatih. Hingga tubuh kami bermandikan keringat. Demi berdirinya istana impian kami. Namun aku sudah tidak kuat lagi. “Pak, capek pak..haaahh... haaahh...haaahh..” rengekku dengan nafas ngos ngosan, “Istirahat sebentar ya Pak?” pintaku sambil mengusap keringat yang mengalir di wajahku. “Ya, kita istirahat di sini saja.” kata bapak sambil meletakkan gerobak di bawah rerimbunan pohon yang melambai-lambai. “Alhamdulillah, akhirnya bisa istirahat juga..anginnya sepoi-sepoi Pak..” ujarku. “Iya nduk1 udaranya sejuk sekali disini.” balas bapak dengan mengambil sebotol air minum, “Nduk.. ini ada air..diminum dulu..” lanjutnya. Dan kuambil serta kubuka botol tersebut, dan kuteguklah air minum itu. Rasa terima kasihku hampir tak bisa ku katakan dengan kata-kata. “Terimakasih Pak..” balasku dengan senyuman manis. “Ayo nduk kita lanjutkan lagi. Ibu dan adikmu sudah menanti kita.” ajak bapak. “Baik Pak!” jawabku dengan penuh energi. Kita berjalan tanpa henti. Setapak demi setapak kita lewati. Dan di tengah perjalanan menuju rumah, tanpa kusadari kakiku masuk ke dalam kubangan. Kakiku terjebak ke dalamnya. Sakit rasanya, seperti dihantam besi. Namun aku berusaha berdiri. “Bapakkkk...... Tungguuuu..” jeritku sambil berusaha berdiri dari tanah. Dengan cepat bapak berhenti dan menghampiriku. “Astagfirullahh! Ya Allah nduuuk...” jawab bapak dengan terkejut, “Tidak apa-apa to...? Ya sudah biarkan bapak saja yang membawa gerobak ini.” lanjutnya. “Tidak Pak, biarkan aku saja yang mendorongnya. Jika bapak yang mendorong, nanti penyakit Bapak bisa kambuh lagi.” ujarku dengan semangat. “Ya sudah, tapi apakah kamu yakin bisa mendorong gerobak ini?” “Iya Pak, aku pasti bisa!” kataku dengan penuh keyakinan. Aku berusaha bangun, tapi aku sudah tidak kuat memboyong tubuh ini. Aku tetap bangkit dan semangat demi bapak, ibu dan adikku.
Terik matahari membakar punggungku dan bapak. Kulitku seakan-akan masuk kedalam rimbunan api. Sampai merasuki tulang belulangku. Ku kuras semua tenagaku untuk mendorong gerobak bertumpukan batu ini. Kaki dan tanganku bagai layang-layang putus talinya. Ku coba tuk semangat dan tetap semangat. Aku dan bapak terus mendorong gerobak ini. Kami ikuti alur jalan dari sungai Grindulu menuju ke kampungku. Kami berjalan sambil tertatih-tatih. Hingga tubuh kami bermandikan keringat. Demi berdirinya istana impian kami. Namun aku sudah tidak kuat lagi. “Pak, capek pak..haaahh... haaahh...haaahh..” rengekku dengan nafas ngos ngosan, “Istirahat sebentar ya Pak?” pintaku sambil mengusap keringat yang mengalir di wajahku. “Ya, kita istirahat di sini saja.” kata bapak sambil meletakkan gerobak di bawah rerimbunan pohon yang melambai-lambai. “Alhamdulillah, akhirnya bisa istirahat juga..anginnya sepoi-sepoi Pak..” ujarku. “Iya nduk1 udaranya sejuk sekali disini.” balas bapak dengan mengambil sebotol air minum, “Nduk.. ini ada air..diminum dulu..” lanjutnya. Dan kuambil serta kubuka botol tersebut, dan kuteguklah air minum itu. Rasa terima kasihku hampir tak bisa ku katakan dengan kata-kata. “Terimakasih Pak..” balasku dengan senyuman manis. “Ayo nduk kita lanjutkan lagi. Ibu dan adikmu sudah menanti kita.” ajak bapak. “Baik Pak!” jawabku dengan penuh energi. Kita berjalan tanpa henti. Setapak demi setapak kita lewati. Dan di tengah perjalanan menuju rumah, tanpa kusadari kakiku masuk ke dalam kubangan. Kakiku terjebak ke dalamnya. Sakit rasanya, seperti dihantam besi. Namun aku berusaha berdiri. “Bapakkkk...... Tungguuuu..” jeritku sambil berusaha berdiri dari tanah. Dengan cepat bapak berhenti dan menghampiriku. “Astagfirullahh! Ya Allah nduuuk...” jawab bapak dengan terkejut, “Tidak apa-apa to...? Ya sudah biarkan bapak saja yang membawa gerobak ini.” lanjutnya. “Tidak Pak, biarkan aku saja yang mendorongnya. Jika bapak yang mendorong, nanti penyakit Bapak bisa kambuh lagi.” ujarku dengan semangat. “Ya sudah, tapi apakah kamu yakin bisa mendorong gerobak ini?” “Iya Pak, aku pasti bisa!” kataku dengan penuh keyakinan. Aku berusaha bangun, tapi aku sudah tidak kuat memboyong tubuh ini. Aku tetap bangkit dan semangat demi bapak, ibu dan adikku.
Namun suasana langit tidak mendukung kami. Tiba-tiba langit menjadi gelap. Udara dingin dan mendung menyelimuti kami. Airmata awan mulai menetes menyirami tubuh kami. “Dingin..Dingin..” rengekku dalam hati. Walaupun tubuhku bagaikan es. Tapi aku tetap berusaha mendorong gerobak ini sampai ke rumah. Aku dan bapak tiba di istana sederhana kami. Kami disambut oleh ibu dan adik. Seketika itu juga hujan pun reda. “Alhamdulillah...! Akhirnya sampai juga ya Pak...” kataku. “Iya nduk...” jawab bapak. “Alhamdulillah, akhirnya datang..!” sapa adikku yang berlari menghampiriku. “Mengapa lama sekali..?” lanjutnya. “Iya le2, tadi istirahat sebentar di jalan, terus kakakmu juga terjatuh...” jawab bapak “Tapi, kakak tidak apa-apa to3..?” tanya adik. “Tidak apa-apa dek4..” ujarku. “Ya sudah, ya sudah.. Kakak dan bapakmu masih lelah.. Biarkan mereka istirahat dulu.” Sahut ibu. “Ayo kita turunkan batu-batu ini.” Lanjutnya. “Nggih5 buk..” sahut adikku. Ibu dan adikku keasyikan menurunkan batu. Namun sang waktu berteriak, “Waktu sore telah tibaaaaa..!” Seakan menyuruh mereka untuk menghentikan semuanya. Langit pun mulai merah memudar, batang hidung sang surya telah hilang. Ibu dan adikku bergegas merapikan semuanya. Kami berlomba-lomba untuk menuju ke kamar mandi.
Walau waktu sore telah hilang, tapi kami masih punya waktu untuk membangun istana ini. Malam pun mulai larut ditelan sang waktu. Hening tak ada suara yang terdengar, aku dan keluargaku telah terhanyut di lautan kapuk. Hingga suara ayam berkokok membangunkan kami dari hanyutan lautan kapuk. Kami mulai bekerja lagi. Semua alat telah ada. Gamping, pasir, batu telah tersedia. Namun masih ada satu material yang belum tersedia untuk berdirinya istana ini. Yaitu benda bersisi persegi panjang berwarna merah. Karena benda itu diperlukan banyak dan cukup mahal, kami tidak sanggup membelinya. Akhirnya bapak menuju ke belakang rumah, dan didapatinya sebongkah tanah liat. Secangkul demi secangkul tanah liat itu dikaisnya. Aku dan adikku menyusul bapak sambil membawa cetakan dan cethok, sedangkan ibu membawa ember yang berisikan air. Kami semua membuat adonan batu merah. Lalu dicetak satu persatu dan dijemur di bawah teriknya matahari. Keesokan harinya kotak tanah liat itu sudah kering dan siap dibakar. Tapi kami membutuhkan sekam untuk membakarnya. Bapak menyuruh aku dan adikku untuk minta sekam di rumah mbak kakung. Kami pulang membawa sekarung sekam. Si kotak tanah liat mulai ditata dan dibakar. Jadilah si batu bata. Hari berikutnya dimulai membangun istana ini. Aku membawa ember, adikku menyaring pasir dan bapak membuat adonan semen. Dan ibu membuatkan ganjalan perut untuk kita. Kita bekerja seperti air pembasuh tangan. Karena saking semangatnya, istana impian akan jadi. “Ayo semangat! Demi istana kita!”terdengar motivasi bapak dengan seketika. “Nggih Pakkk..!” jawab aku dan adik dengan serentak. Gotong royong, bahu membahu masih melekati kita. Tetesan peluh mengaliri tubuh kita. Kita terus bersemangat pantang menyerah.
Sampai perut kosong tidak dihiraukan. Ibu menghampiri kita membawa teh dan pisang goreng. “Ini minuman dan pisang gorengnya. Mumpung masih hangat, diminum dan dicicipi dulu..” tawar ibuku. “Nggih Buk, ini masih nangguuuung..” sahut kami. Kita pun istirahat sejenak dan mengisi perut. Setelah itu kami mulai bekerja lagi, dan istana kami pun hampir jadi. Namun, hari mulai mengakhiri sorenya. Kami harus menghentikan pekerjaan ini. Hari berikutnya kami terus membangun istana impian. Dan beberapa minggu kemudian istana impian pun berdiri. Sekarang kami bisa bercengkerama bersama di rumah sutera dalam lukisan. Kebersamaan keluarga kami dapat dirasakan setiap hari. Kehidupan kami makin hari makin indah. Satu bulan kemudian, bapak mendapatkan telepon dari pakdhe. Badan bapak tergeletak di lantai tak sadarkan diri, setelah mendengar kabar dari pakdhe. Ternyata budhe sedang sakit keras dirawat di Rumah Sakit Dokter Soetomo Surabaya. Budhe bagai lampu kehabisan minyak, beliau sedang koma dan dirawat di ruang ICU. Di rumah sakit itu, budhe memerlukan biaya yang sangat banyak.
Pakdhe pun mulai makan bawang, bingung mau mencari uang kemana lagi. Karena uang pakdhe tidak cukup lagi untuk membayar biaya perawatan budhe. Pakdhe minta pinjaman kepada bapak. Dan bapak pun juga bingung mau membantu pakdhe, tapi tak punya uang. Akhirnya bapak berfikiran untuk pinjam uang kepada Pak Beni. Bapak mau pinjam uang kepada pak Beni sebanyak lima juta. Terus bapak meminta kepada kami jika hanya dirinya yang berangkat ke Surabaya. Karena biaya kendaraan menuju ke Surabaya juga mahal. Sehingga ibu, saya dan adik harus disuruh menjaga kami. Tapi aku ngotot ingin ikut,entah mengapa hatiku merasa tidak nyaman jika hanya bapak yang pergi ke Surabaya. Aku tetap meminta kepada bapak untuk ikut pergi. “Pak, bolehkah saya ikut menjenguk budhe?” pintaku sambil merengek. “Tidak nduk, biaya naik bus tidak cukup. Lebih baik kamu di rumah bersama ibu dan adikmu.” jawab bapak “Tapi kenapa hatiku merasa tidak nyaman. Saya khawatir kepada bapak, jika bapak pergi sendirian nanti akan terjadi sesuatu..” jelasku. “Tidak usah nduk. Bapak bisa ke Surabaya sendirian. Bapak berani Nduk..” balas bapak. “Pak..! Bapak jangan pergi sendirian! Aku khawatir Pak..” rengekku. “Kamu masih kecil belum tahu apa-apa! Sudahlah nduk, lagipula kamu besok sekolah.!” bentak bapak. “Iya Pak.. Ibu juga sama seperti anakmu. Hati ibu terasa tidak nyaman!” sahut ibu. “Sudahlah Buk, bapak tidak apa-apa. Bapak kan laki-laki, pasti tidak terjadi sesuatu!” kata bapak dengan nada menyentak. “Ya sudah, jika itu sudah menjadi keputusan Bapak. Kami hanya bisa mendoakan Bapak..” kata ibu dengan nada sedih. “Nah, begitulah Buk.. Jadi ringan semuanya. Saya mau ke rumah Pak Beni, mau pinjam uang dulu.” jawab bapak. Bapak berangkat ke rumah Pak Beni dan bapak mendapat pinjaman sebanyak lima juta. Keesokan harinya bapak berangkat ke Surabaya. Bapak tiba di Surabaya jam delapan malam. Malam itu juga bapak langsung pulang. Karena pekerjaan telah menantinya. Di tengah perjalanan bapak bertemu dengan seorang wanita. Bapak terpesona dengan wanita itu. Bapak terbujuk rayuannya. Dan bapak selingkuh dengan wanita itu. Semua uang bapak diberikan kepada wanita itu. Tanpa disadarinya uang bapak telah habis. Dan bapak kebingungan. Setelah sampai di Pacitan, bapak tidak langsung pulang ke rumah, tetapi langsung menemui Pak Beni untuk pinjam uang lagi sekitar empat juta. Setelah mendapat uang pinjaman, bapak ternyata tidak pulang ke rumah.
Dia langsung pergi. Aku, adik dan ibu menunggu bapak di rumah. Selama tujuh hari kami terus menunggu bapak. Ternyata penantian kami selama tujuh hari pun sia-sia. Bapak tidak pulang-pulang. Hati pun merasa gelisah dan bertanya, “Mengapa bapak tidak pulang-pulang?” batinku. Kami di rumah kebingungan. Telepon bapak tidak aktif. Aku dan ibu bagai kera kena belacan. Hati pun terus bertanya dan bertanya, “Kapan bapak pulang?”. Ibu tidak sabar lagi dan menyuruhku menghubungi pakdhe. Namun di dalam daftar teleponku tidak ada nomer pakdhe. Aku mencari di buku telepon, tapi tidak ketemu. Ibu pun teringat pernah menulis nomer itu disecarik kertas, namun kertas itu tersimpan di bawah dipan. Aku pun mencari kertas itu di bawah dipan. Ku buka kayu-kayu di atas dipan satu persatu. Namun belum ku temukan. “Bukk.. Tidak ada kertas itu..” kataku pada ibu sambil berteriak. “Apa iya nduk ? Coba dicari dulu.” jawab ibu, Aku terus mencari namun tidak kutemukan.
Aku pun mulai menutup dan menata kembali kayu-kayu itu. Tiba-tiba terlihatlah secarik kertas berwarna putih yang terselip di sudut kanan dipan. Aku langsung mengambil secarik kertas itu. Kubuka ternyata bertuliskan nomer telepon pakdhe. “Allhamdulillah! Ketemu Buk..” teriakku. Dan kupencet nomer telepon pakdhe. Tapi belum bisa terhubung. Terus kupencet dan kupencet nomor itu. Sampai jari tanganku keriting dan terdengarlah suara. “Tuut..tuut..tuut..” bunyi telepon tersambung. Aku merasa lega telepon bisa tersambung dengan pakdhe. Kata pakdhe sudah pulang sekitar tujuh hari yang lalu. Tapi bapak tidak pulang ke rumah. Kami sekeluarga merasa cemas, khawatir dan bingung akan keadaan bapak. Kami sudah kehilangan kontak dengan bapak. Aku dan ibu mulai terdiam dalam keheningan malam. Tak ada suara yang keluar dari mulut kami. Selain tetesan air mata yang membasahi pipi kami. Setetes demi setetes air mata mengalir terus, melewati pipi kami. Kami hanya diam membisu. Kami berfikir kemana bapak pergi. Tiba-tiba....terdengar suara yang mengejutkan hati kami. Suara pintu istanaku. “Buk, ada orang!” kataku pada ibu. Hati kami pun berdebar-debar mendengar suara itu seakan mengharap kehadiran bapak. “Jangan-jangan bapak Buk..?”dugaku. Dengan langkah yang tergesa-gesa, langsung ku buka pintu itu. Dag..dig..dug suara denyut jantungku.
Ternyata seorang tubuh laki-laki yang kekar berada di depan pintu. Dia Pak Beni. Pak Beni datang ke rumah dengan suara yang lantang menagih hutang bapak. “Di mana bapakmu?!” bentak Pak Beni seketika. “Ada apa ini? Mengapa Bapak berteriak mencari bapakku?” tanyaku dengan nada khawatir dan terkejut. “Bapak tidak ada di rumah, sudah tujuh hari bapak belum pulang Pak..” sahut ibu. “Bapakmu telah hutang padaku sebanyak sembilan juta. Katanya akan dikembalikan dua hari setelah hutang! Ku coba menghubungi bapakmu, tapi nomernya tidak aktif.!” jelas Pak Beni. “Apaaaa?? Bapak hutang sebanyak sembilan juta??” tanyaku tidak menyangka. “Iya! Bapakmu hutang selama dua kali! Hutang yang pertama sebanyak lima juta, katanya mau digunakan untuk biaya rumah sakit budemu. Yang kedua bapakmu hutang sebanyak empat juta, katanya untuk biaya sekolahmu dan adikmu!! ” ketus Pak Beni, “Dan sekarang, aku ingin menagih semua uang itu!” lanjutnya. “Apaaa?? Yang empat juta untuk biaya sekolah??” tanya ibu, “Biaya sekolah anak-anak kami kan sudah lunas Pak!” lanjutnya. “Lhoo! Bagaimana to?” jawab Pak Beni, “Ya sudah, ya sudah! Aku tidak mau tahu alasan dia pinjam! Yang penting uang saya segera dikembalikan. Karena batas waktu meminjam sudah lewat selama lima hari, maka utang bapakmu menjadi dua belas juta. Jika hari ini belum bisa membayar Akan kuberi waktu selama satu minggu! Dan jika tidak dilunasi lagi, maka rumah ini akan menjadi gantinya!” ketus Pak Beni. “Firasatku yang dulu ternyata benar. Kekhawatiran semakin menjadi-jadi” batinku. “Apa jangan-jangan bapak selingkuh?” lanjutku bicara dalam hati. Ibu pun merengek meminta belas kasihan dari Pak Beni. Dan Pak Beni tidak menggubris ibu. Akhirnya Pak Beni pulang.
Dengan sekejap mata, Pak Beni kembali ke rumahku dan menyegelrumah kami. Aku tak habis fikir, mengapa Pak Beni dengan mudahnya ingin mengambil rumah kami. Dengan paksaan, rumah kami pun di sita olehnya. “Bukk... di mana kita akan tinggal? Bapak juga tidak kunjung datang... bagaimana ini bukk.....?” kataku dengan meneteskan air mata. “Ibuk juga tidak tau nduk ... coba kalau bapakmu tidak seperti ini.. pasti tidak akan terjadi..” jawab ibu sambil meneteskan air mata. “Coba kita pergi ke rumah mbah kakung buk untuk sementara waktu..” ajakku. “Ayo nduk, kita coba..” jawab ibu. Kesedihan masih terasa disini. Aku hanya heran dan bingung, bapak pergi kemana, dan bagaimana kami sekeluarga akan bercengkerama bersama di istana yang telah tersita ini. Setelah kami tinggal selama beberapa hari di rumah mbah kakung. Tiba-tiba bapak datang dengan tubuh compang-camping. Menuju istana kami yang telah disegel Pak Beni. Bapak terkejut setengah mati. Melihat tulisan bersegel itu. Bapak bertanya kepada tetangga, kemana kami pergi. Bapak pun tau dari bu RT kemana kami pergi. Bapak langsung bergegas menyusul kami ke rumah mbah kakung. Bapak langsung masuk ke rumah mbah kakung. Semua terkejut melihat kedatangan bapak. “Bapaakkk!!” teriakku sambil memeluk bapak. “Bapak kemana? Kenapa bapak menghilang?” tanya adik. “Mengapa bapak sampai seperti ini? Kenapa baju bapak sobek-sobek?” tanya ibu sambil meneteskan air mata. “Bapak khilaf buuuk, bapak menyesal buk. Bapak sudah di bohongi buk. Bapak sungguh menyesal buk..” jawab bapak dengan nada terengah-engah. “Memangnya bapak melakukan kesalahan apa?” Dan bapak pun menjelaskan semua kejadian waktu pulang ke Pacitan. Aku dan ibu hanya menepuk paha mendengar kelakuan bapak yang seperti itu.
Dan ibuk terkejut setengah mati mendengar cerita itu. Ibu pun terdiam mendengar cerita bapak. Bapak telah berbuat salah, dan bapak bersujud minta maaf di bawah lutut ibu. Akhirnya ibu mau memaafkan bapak. Bapak kembali bertanya, “Kenapa rumah kita disegel buk?” “Rumah kita disegel oleh Pak Beni karena Bapak telah hutang sebanyak sembilan juta.” jelas ibu. “Ohh.. baik Buk, saya akan mencari uang untuk mengembalikan rumah kita.” sahut bapak. Bapak mulai aktif bekerja. Dan bapak juga mencari sampingan lain, yaitu mengambil pasir di sungai. Lalu dijualnya. Terkumpulah uang dari hasil kerja keras bapak. Namun, masih belum cukup. Pakdhe pun mengembalikan uang pinjamannya kepada bapak. Dan cukuplah uang dari hasil kerja keras bapak ditambah uang kembalian dari pakdhe, untuk melunasi semua hutang kami. Bapak pergi ke rumah Pak Beni sambil membawa uang. Dan sertifikat istana kami dikembalikan. Akhirnya kami menampati kembali istana sutera ini.
PROFIL PENULIS
Nama : Hasna Rafida Sari
TTL : Surabaya, 8-9-1998
Sekolah : SMP Negeri 1 Pacitan
Facebook : hasna rafiedasarinie irawan
Twitter : @stevaNa_aiRi
TTL : Surabaya, 8-9-1998
Sekolah : SMP Negeri 1 Pacitan
Facebook : hasna rafiedasarinie irawan
Twitter : @stevaNa_aiRi
Baca juga Cerpen Motivasi yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar