KARENA CLARA SEORANG WANITA
Karya Nathania Larissa
Dari segala bentuk cara pengungkapan pikiran yang ada di dunia ini, Clara paling suka bercerita padaku. Bercerita padaku amat menyenangkan baginya. Karena kami sama-sama wanita, dan wanita tentunya saling mengerti sesama. Hari-hari kami lalui dengan sukacita, sampai suatu hari lelaki itu datang dalam kehidupannya. Namanya Louis. Ia tipe idaman setiap wanita; tinggi, gagah, ganteng dan cerdas. Clara jadi suka menceritakannya padaku. Tidak masalah bagiku apabila Clara jatuh hati pada Louis. Hal itu sangatlah normal, bukan?
Tetapi Clara adalah seorang wanita. Dia tidak berani mengungkapkan rasanya pada pria, dimana yang dimaksud ‘pria’ disini tentunya ialah Louis. Clara selalu berpura-pura tidak menyukai Louis. Dia takut kalau-kalau ternyata Louis tidak membalas cintanya. Dan kalau itu terjadi, pasti hati Clara sangat sakit. Aku juga tidak mau ia mengalami hal itu.
Hari demi hari rasa cinta Clara pada Louis semakin bertambah. Clara tidak pernah berhenti menceritakannya padaku. Karena aku seorang teman yang baik, aku merelakan diri menjadi pendengar yang setia. Aku tahu Clara amat mencintainya, aku tahu hati Clara panas apabila melihat Louis berjalan bersebelahan dengan gadis lain. Aku tahu Clara selalu menantikan telepon dari Louis setiap malamnya.
Ya, Louis memang rajin menelepon dan mengapel ke rumah Clara. Tetapi menurut pandangan Clara, lelaki itu hanya melakukannya sebagai seorang ‘sahabat dekat’, tidak lebih. Louis tidak pernah tahu betapa jantung Clara berdebar setiap kali mendengar suaranya atau melihat wajahnya. Clara sendiri juga tidak ingin Louis mengetahuinya. Clara selalu berakting dengan hebat di depan Louis, bersikap seolah-olah dirinya tidak peduli terlalu dalam terhadap keberadaan Louis.
Lewat satu tahun berlalu dan kini Clara sudah hampir lulus SMA. Satu sore, ia mengajakku berjalan-jalan keliling taman sampai akhirnya ia berkata, “Cathy, sebentar lagi aku mau pergi ke Singapur,” sambil memalingkan mukanya terhadapku. Aku hanya terdiam. Mengapa begitu tiba-tiba, Clara?
“Aku sudah memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Singapur,” ucapnya lagi. Tapi kau kan sudah diterima di Universitas Indonesia, dengan beasiswa pula? Gumamku bingung. Seperti mengerti pikiranku, Clara menjawab, “Kalau aku kuliah di UI, nanti aku harus bertemu Louis lagi. Aku tidak bisa memendam perasaan ini terus,” ia mengukir senyum yang pahit di bibirnya. Senyum itu pasti muncul dari hatinya yang terdalam, yang sedikit demi sedikit tergores akibat rasa cinta yang terpendam.
Aku menatapnya sedih. Jadi ini karena Louis lagi. Kau hanya perlu menyatakan cintamu pada Louis, Clara. Tidak perlu mengharap balas cintanya. Kalau kau tidak mencoba, bagaimana kau bisa tahu perasaan Louis padamu? Mungkin selama ini Louis juga takut kalau ternyata kamu tidak menyukainya. Mungkin selama ini Louis juga tengah menjaga perasaannya agar tidak tersakiti. Mungkin selama ini, Louis menyimpan perasaan yang sama terhadapmu! Aku sungguh ingin meneriakkannya kepada Clara. Tetapi melihat wajahnya yang begitu pilu, aku hanya terdiam.
“Aku seorang wanita, Cathy!” serunya pelan. Dan air mata mulai menetes perlahan di pipinya. “Satu tahun ini aku sudah memendam rasa cinta terhadap Louis, namun aku takkan pernah bisa mengungkapkannya. Aku tidak punya keberanian. Aku tidak punya, Cathy...Aku lemah,” ujarnya. “Mungkin kau mengejekku sekarang. Mungkin katamu, sekarang ‘kan jaman emansipasi wanita. Tetapi hal itu tidak berlaku buatku, Cath. Aku tidak bisa membiarkan harga diriku terinjak,”
Ya, Clara. Karena kamu seorang wanita. Kamu takut dilukai sehingga kamu tidak mau mengambil langkah terlebih dahulu.
Ketika sore itu Louis datang untuk mengucapkan perpisahan dengan Clara, sudah seharusnya Clara mengutarakan perasaannya. Kalau tidak dimuntahkan, kata-kata yang muncul dari hati itu akan masuk kembali dan akan menjadi benalu yang amat menyakitkan untuk jiwanya. Sudah seharusnya pula Clara beranggapan kalau Louis setidaknya memiliki perasaan untuknya, meskipun hanya sebesar biji sesawi. Kalau tidak, untuk apa dia harus repot-repot datang ke rumah Clara untuk sekadar mengucapkan selamat tinggal?
Tetapi Cathy tidak segera menemui Louis. Aku mengintip kearah ruang tamu, ke atas sofa dimana Louis dengan kaus biru lautnya sedang duduk. Louis amat gagah dan tampan, pantas saja Clara sampai tergila-gila dengannya, sampai menghabiskan waktu 1 tahun memendam cinta yang tak terbalas. Aku begitu serius memandangi Louis sampai-sampai aku tak menyadari bahwa kakiku tak sengaja menyenggol meja kecil di sebelahku. Louis pun menoleh.
“Cathy? Hei, kemarilah!” sapanya dengan senyum yang lebar. Untungnya sepertinya dia tidak menyadari poseku yang terlihat seperti orang yang tertangkap basah sedang memandanginya. Aku berjalan mendekatinya dengan tatapan menyelidik. Tidak biasanya dia begitu menyambut kehadiranku. Biasanya, yang dia perhatikan hanyalah Clara seorang.
“Cath, dimana Clara? Aku sudah menunggu 10 menit tetapi dia belum turun juga,” ujar Louis begitu aku duduk di atas sofa. Aku hanya membuang pandangan dengan cuek. Malas sekali aku melayani obrolan lelaki ini.
“Louis? Cathy? Sedang apa kalian?” Clara muncul dari balik tirai-tirai jingga cerah yang membatasi ruang makan dengan ruang tamu. Aku menoleh kearah Clara, begitu pula Louis.
“Aku…aku ingin mengucapkan salam perpisahan denganmu, Clara,” ucap Louis pelan. Mata Clara meneduh dan ia berjalan mendekati kami.
“Cath…kamu tunggu di atas saja, ya? Tunggu di kamarku saja…kalau sudah selesai, aku akan segera memanggilmu kesini,” pinta Clara. Aku mengangguk mengiyakan dan segera beranjak pergi. Tetapi aku tidak naik ke atas, melainkan bersembunyi di balik tembok ruang makan, tepat disebelah tirai-tirai jingga itu, hingga aku bisa sesekali mengintip kearah mereka.
“Louis…” ucap Clara pelan sambil menatap mata Louis dengan dalam. Aku tahu ini saatnya. Ya, Clara pasti akan mengungkapkan perasaannya.
“Yah…gak bisa ketemu nona Clara lagi, deh. Pasti…hidupku sepi banget kalau tidak bisa menggoda kamu setiap hari seperti dulu,” canda Louis. Clara hanya tersenyum sambil menundukkan kepalanya.
“Louis, aku mau ngomong…dan ini serius. Aku…sejak setahun lalu, aku…suka sama kamu,”
Deg. Kata-kata itu keluar juga. Kata-kata yang diucapkan dengan suara yang lirih dan putus asa, yang tidak mengharapkan balasan apapun dari sang tertuju, namun semata-mata hanya untuk menjelaskan suatu hal yang benar. Ya, bahwa Clara menyukai Louis sejak dulu.
“Clar…, aku tahu kamu udah mau pindah. Tapi jangan bercanda gitu, dong,” balas Louis dengan senyumannya, mencoba mengerti.
“Aku serius, Louis! Selama ini, cuma kamu laki-laki yang paling perhatian dan peduli sama aku. Itu juga yang membuatku luluh, dan…sudah sejak setahun lalu. Semestinya aku memberitahumu sejak dulu, Louis…aku benar-benar sangat menyukaimu,”
Louis terdiam. Bodoh, itu semestinya adalah waktu dimana ia mengatakan ‘aku juga selama ini telah menyukaimu, Clara’!
“Clara…aku tahu kenapa kamu tidak memberitahuku dari dulu. Karena kamu takut persahabatan kita akan berakhir, bukan? Kalau itu yang kamu takutkan, tenang saja, Clara. Persahabatan kita tidak akan hancur hanya karena masalah cinta begini. Aku tidak mau kehilangan sahabat sepertimu,” ucap Louis lembut. Apa? Apa yang baru saja dia katakan? Louis, lelaki itu…dia bahkan tidak mencoba untuk memberi penjelasan mengapa setahun belakangan ia telah memberi perhatian ekstra untuk Clara, sehingga telah memberi Clara harapan kosong!
Clara mengangkat kepalanya, menatap Louis dengan mata berkaca-kaca.
“Persahabatan, katamu? Aku mencintaimu, Louis, dan…itu kalimat yang kau utarakan bagiku?” Clara bangkit berdiri.
“Clara…persahabatan jauh lebih penting daripada cinta,” ujar Louis putus asa. Clara tidak mendengarkan. Ia menghambur keluar ruangan dan berlari keluar rumah begitu saja dengan mata berderai air mata.
Ia pasti amat malu. Harga dirinya amat jatuh. Setelah mengungkapkan cinta terang-terangan, Louis tidak sedikitpun mengutarakan kalau ia dulu juga punya perasaan yang sama terhadap Clara. Dulu Louis tidak mungkin sangat perhatian terhadap Clara kalau ia tidak memiliki perasaan terhadap wanita itu. Tetapi mengapa sekarang Louis menanggap perasaan Clara seperti sampah? Yang bisa dibuang begitu saja demi mempertahankan persahabatan?
Aku keluar dari tempat persembunyianku dan menatap Louis dengan mata yang marah. Dia masih duduk di atas sofa, dengan kepala tertunduk dan kedua tangannya meremas-remas rambutnya. Entah mengapa, aku melihatnya seperti seorang yang juga tersakiti. Apa yang salah, Louis?
“Cathy…” Louis menoleh dan menatapku. Matanya merah dan hampir saja mengeluarkan air mata. Apa yang telah kau perbuat terhadap Clara, Louis? Geramku.
Ia membuang pandangannya jauh kearah datangnya sinar dari jendela di sebelah kiri ruang tamu. Setelah sekian waktu, ia lalu menoleh kepadaku lagi.
“Kamu pasti tahu, dulu…aku menyukainya. Menyukai Clara. Sangat menyukainya,” ujarnya pelan.
“Siapa yang tidak suka padanya? Mata yang hangat, tawa yang riang, selera humor yang bagus…aku sangat suka padanya. Tidak mendengarkan suaranya satu hari saja seperti ada yang kurang lengkap,” ucapnya. Lanjutkan, Louis, aku mendengarkan, gumamku.
“Tetapi aku merasa kalau sikap Clara terhadapku dingin. Semakin hari aku semakin merasa kalau ia tidak menyukaiku. Karena itulah aku takut mengungkapkan perasaanku padanya. Aku takut bila ia menolakku, Cathy. Perasaan itu terus aku pendam. Benar-benar sakit rasanya…”
Deg. Ternyata perkiraanku benar. Aku menghela napas perlahan. Lanjutkan, Louis.
“Hingga akhir-akhir ini, aku telah benar-benar melupakan perasaan itu, dan tidak mau lagi mengingatnya. Terlalu sakit, Cath. Dan kata-kata yang kuucapkan padanya tadi…mungkin adalah untuk melindungi diriku sendiri. Untuk tidak tersakiti lagi; sebuah tameng yang aku bangun di dalam hatiku. Aku tidak tahu kalau akhirnya akan menjadi begini. Kalau dia ternyata juga menyimpan perasaan yang sama. Tetapi semuanya sudah terlambat…”
Bodoh, benar-benar bodoh. Aku turun dari atas sofa, berdiri dan memandangnya sinis. Tetapi aku tetap diam seribu kata.
“Kalau dia begitu menyukaiku, mengapa dari dulu sikapnya selalu biasa-biasa saja? Mengapa ia sangat cuek terhadap kehadiranku? Ini bukan salahku, Cath…kamu harus bisa membantu menjelaskannya pada Clara…”
Ha? Apa Louis sudah gila? Menyuruhku menjelaskannya pada Clara? Memangnya dia tidak punya mulut sendiri?
Aku melompat ke atas pangkuan Louis dan berbicara tajam dengan mataku.
Karena Clara wanita, bodoh. Because she is a lady. Tidak ada kata-kata yang lebih menjelaskan daripada itu. Seorang wanita yang tidak mau terluka, dan mengharap sang pria datang membawa cinta untuknya. Kamu yang harus malu, bodoh. Kamulah sang pria, tetapi Clara adalah wanita.
Louis menatapku kaget, menyadari bahwa seakan-akan aku mengerti kata-katanya, mengerti apa yang sedang terjadi antara dia dan Clara.
Lewat satu tahun berlalu dan kini Clara sudah hampir lulus SMA. Satu sore, ia mengajakku berjalan-jalan keliling taman sampai akhirnya ia berkata, “Cathy, sebentar lagi aku mau pergi ke Singapur,” sambil memalingkan mukanya terhadapku. Aku hanya terdiam. Mengapa begitu tiba-tiba, Clara?
“Aku sudah memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Singapur,” ucapnya lagi. Tapi kau kan sudah diterima di Universitas Indonesia, dengan beasiswa pula? Gumamku bingung. Seperti mengerti pikiranku, Clara menjawab, “Kalau aku kuliah di UI, nanti aku harus bertemu Louis lagi. Aku tidak bisa memendam perasaan ini terus,” ia mengukir senyum yang pahit di bibirnya. Senyum itu pasti muncul dari hatinya yang terdalam, yang sedikit demi sedikit tergores akibat rasa cinta yang terpendam.
Aku menatapnya sedih. Jadi ini karena Louis lagi. Kau hanya perlu menyatakan cintamu pada Louis, Clara. Tidak perlu mengharap balas cintanya. Kalau kau tidak mencoba, bagaimana kau bisa tahu perasaan Louis padamu? Mungkin selama ini Louis juga takut kalau ternyata kamu tidak menyukainya. Mungkin selama ini Louis juga tengah menjaga perasaannya agar tidak tersakiti. Mungkin selama ini, Louis menyimpan perasaan yang sama terhadapmu! Aku sungguh ingin meneriakkannya kepada Clara. Tetapi melihat wajahnya yang begitu pilu, aku hanya terdiam.
“Aku seorang wanita, Cathy!” serunya pelan. Dan air mata mulai menetes perlahan di pipinya. “Satu tahun ini aku sudah memendam rasa cinta terhadap Louis, namun aku takkan pernah bisa mengungkapkannya. Aku tidak punya keberanian. Aku tidak punya, Cathy...Aku lemah,” ujarnya. “Mungkin kau mengejekku sekarang. Mungkin katamu, sekarang ‘kan jaman emansipasi wanita. Tetapi hal itu tidak berlaku buatku, Cath. Aku tidak bisa membiarkan harga diriku terinjak,”
Ya, Clara. Karena kamu seorang wanita. Kamu takut dilukai sehingga kamu tidak mau mengambil langkah terlebih dahulu.
Ketika sore itu Louis datang untuk mengucapkan perpisahan dengan Clara, sudah seharusnya Clara mengutarakan perasaannya. Kalau tidak dimuntahkan, kata-kata yang muncul dari hati itu akan masuk kembali dan akan menjadi benalu yang amat menyakitkan untuk jiwanya. Sudah seharusnya pula Clara beranggapan kalau Louis setidaknya memiliki perasaan untuknya, meskipun hanya sebesar biji sesawi. Kalau tidak, untuk apa dia harus repot-repot datang ke rumah Clara untuk sekadar mengucapkan selamat tinggal?
Tetapi Cathy tidak segera menemui Louis. Aku mengintip kearah ruang tamu, ke atas sofa dimana Louis dengan kaus biru lautnya sedang duduk. Louis amat gagah dan tampan, pantas saja Clara sampai tergila-gila dengannya, sampai menghabiskan waktu 1 tahun memendam cinta yang tak terbalas. Aku begitu serius memandangi Louis sampai-sampai aku tak menyadari bahwa kakiku tak sengaja menyenggol meja kecil di sebelahku. Louis pun menoleh.
“Cathy? Hei, kemarilah!” sapanya dengan senyum yang lebar. Untungnya sepertinya dia tidak menyadari poseku yang terlihat seperti orang yang tertangkap basah sedang memandanginya. Aku berjalan mendekatinya dengan tatapan menyelidik. Tidak biasanya dia begitu menyambut kehadiranku. Biasanya, yang dia perhatikan hanyalah Clara seorang.
“Cath, dimana Clara? Aku sudah menunggu 10 menit tetapi dia belum turun juga,” ujar Louis begitu aku duduk di atas sofa. Aku hanya membuang pandangan dengan cuek. Malas sekali aku melayani obrolan lelaki ini.
“Louis? Cathy? Sedang apa kalian?” Clara muncul dari balik tirai-tirai jingga cerah yang membatasi ruang makan dengan ruang tamu. Aku menoleh kearah Clara, begitu pula Louis.
“Aku…aku ingin mengucapkan salam perpisahan denganmu, Clara,” ucap Louis pelan. Mata Clara meneduh dan ia berjalan mendekati kami.
“Cath…kamu tunggu di atas saja, ya? Tunggu di kamarku saja…kalau sudah selesai, aku akan segera memanggilmu kesini,” pinta Clara. Aku mengangguk mengiyakan dan segera beranjak pergi. Tetapi aku tidak naik ke atas, melainkan bersembunyi di balik tembok ruang makan, tepat disebelah tirai-tirai jingga itu, hingga aku bisa sesekali mengintip kearah mereka.
“Louis…” ucap Clara pelan sambil menatap mata Louis dengan dalam. Aku tahu ini saatnya. Ya, Clara pasti akan mengungkapkan perasaannya.
“Yah…gak bisa ketemu nona Clara lagi, deh. Pasti…hidupku sepi banget kalau tidak bisa menggoda kamu setiap hari seperti dulu,” canda Louis. Clara hanya tersenyum sambil menundukkan kepalanya.
“Louis, aku mau ngomong…dan ini serius. Aku…sejak setahun lalu, aku…suka sama kamu,”
Deg. Kata-kata itu keluar juga. Kata-kata yang diucapkan dengan suara yang lirih dan putus asa, yang tidak mengharapkan balasan apapun dari sang tertuju, namun semata-mata hanya untuk menjelaskan suatu hal yang benar. Ya, bahwa Clara menyukai Louis sejak dulu.
“Clar…, aku tahu kamu udah mau pindah. Tapi jangan bercanda gitu, dong,” balas Louis dengan senyumannya, mencoba mengerti.
“Aku serius, Louis! Selama ini, cuma kamu laki-laki yang paling perhatian dan peduli sama aku. Itu juga yang membuatku luluh, dan…sudah sejak setahun lalu. Semestinya aku memberitahumu sejak dulu, Louis…aku benar-benar sangat menyukaimu,”
Louis terdiam. Bodoh, itu semestinya adalah waktu dimana ia mengatakan ‘aku juga selama ini telah menyukaimu, Clara’!
“Clara…aku tahu kenapa kamu tidak memberitahuku dari dulu. Karena kamu takut persahabatan kita akan berakhir, bukan? Kalau itu yang kamu takutkan, tenang saja, Clara. Persahabatan kita tidak akan hancur hanya karena masalah cinta begini. Aku tidak mau kehilangan sahabat sepertimu,” ucap Louis lembut. Apa? Apa yang baru saja dia katakan? Louis, lelaki itu…dia bahkan tidak mencoba untuk memberi penjelasan mengapa setahun belakangan ia telah memberi perhatian ekstra untuk Clara, sehingga telah memberi Clara harapan kosong!
Clara mengangkat kepalanya, menatap Louis dengan mata berkaca-kaca.
“Persahabatan, katamu? Aku mencintaimu, Louis, dan…itu kalimat yang kau utarakan bagiku?” Clara bangkit berdiri.
“Clara…persahabatan jauh lebih penting daripada cinta,” ujar Louis putus asa. Clara tidak mendengarkan. Ia menghambur keluar ruangan dan berlari keluar rumah begitu saja dengan mata berderai air mata.
Ia pasti amat malu. Harga dirinya amat jatuh. Setelah mengungkapkan cinta terang-terangan, Louis tidak sedikitpun mengutarakan kalau ia dulu juga punya perasaan yang sama terhadap Clara. Dulu Louis tidak mungkin sangat perhatian terhadap Clara kalau ia tidak memiliki perasaan terhadap wanita itu. Tetapi mengapa sekarang Louis menanggap perasaan Clara seperti sampah? Yang bisa dibuang begitu saja demi mempertahankan persahabatan?
Aku keluar dari tempat persembunyianku dan menatap Louis dengan mata yang marah. Dia masih duduk di atas sofa, dengan kepala tertunduk dan kedua tangannya meremas-remas rambutnya. Entah mengapa, aku melihatnya seperti seorang yang juga tersakiti. Apa yang salah, Louis?
“Cathy…” Louis menoleh dan menatapku. Matanya merah dan hampir saja mengeluarkan air mata. Apa yang telah kau perbuat terhadap Clara, Louis? Geramku.
Ia membuang pandangannya jauh kearah datangnya sinar dari jendela di sebelah kiri ruang tamu. Setelah sekian waktu, ia lalu menoleh kepadaku lagi.
“Kamu pasti tahu, dulu…aku menyukainya. Menyukai Clara. Sangat menyukainya,” ujarnya pelan.
“Siapa yang tidak suka padanya? Mata yang hangat, tawa yang riang, selera humor yang bagus…aku sangat suka padanya. Tidak mendengarkan suaranya satu hari saja seperti ada yang kurang lengkap,” ucapnya. Lanjutkan, Louis, aku mendengarkan, gumamku.
“Tetapi aku merasa kalau sikap Clara terhadapku dingin. Semakin hari aku semakin merasa kalau ia tidak menyukaiku. Karena itulah aku takut mengungkapkan perasaanku padanya. Aku takut bila ia menolakku, Cathy. Perasaan itu terus aku pendam. Benar-benar sakit rasanya…”
Deg. Ternyata perkiraanku benar. Aku menghela napas perlahan. Lanjutkan, Louis.
“Hingga akhir-akhir ini, aku telah benar-benar melupakan perasaan itu, dan tidak mau lagi mengingatnya. Terlalu sakit, Cath. Dan kata-kata yang kuucapkan padanya tadi…mungkin adalah untuk melindungi diriku sendiri. Untuk tidak tersakiti lagi; sebuah tameng yang aku bangun di dalam hatiku. Aku tidak tahu kalau akhirnya akan menjadi begini. Kalau dia ternyata juga menyimpan perasaan yang sama. Tetapi semuanya sudah terlambat…”
Bodoh, benar-benar bodoh. Aku turun dari atas sofa, berdiri dan memandangnya sinis. Tetapi aku tetap diam seribu kata.
“Kalau dia begitu menyukaiku, mengapa dari dulu sikapnya selalu biasa-biasa saja? Mengapa ia sangat cuek terhadap kehadiranku? Ini bukan salahku, Cath…kamu harus bisa membantu menjelaskannya pada Clara…”
Ha? Apa Louis sudah gila? Menyuruhku menjelaskannya pada Clara? Memangnya dia tidak punya mulut sendiri?
Aku melompat ke atas pangkuan Louis dan berbicara tajam dengan mataku.
Karena Clara wanita, bodoh. Because she is a lady. Tidak ada kata-kata yang lebih menjelaskan daripada itu. Seorang wanita yang tidak mau terluka, dan mengharap sang pria datang membawa cinta untuknya. Kamu yang harus malu, bodoh. Kamulah sang pria, tetapi Clara adalah wanita.
Louis menatapku kaget, menyadari bahwa seakan-akan aku mengerti kata-katanya, mengerti apa yang sedang terjadi antara dia dan Clara.
Tentu saja aku mengerti, bodoh! Kau kira seekor kucing hanya bisa mengeong saja? Pikirku kesal. Aku pun loncat dari pangkuannya dan berlari mencari sahabatku, majikanku, dan pemberi susuku yang setia, Clara, meninggalkan Louis yang mematung seperti manekin toko.
PROFIL PENULIS
Nama : Nathania Larissa
TTL : 8 Agustus 1994
Tempat Tinggal : Surabaya
TTL : 8 Agustus 1994
Tempat Tinggal : Surabaya
Alamat facebook : facebook.com/nathaniaLrs
Baca juga Cerpen Cinta yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar