S I L A
Karya Eko Amriyono
Sila turun dari motorku, berdiri sejenak. Memandang purnama yang bertengger di langit, sambil menggenggam tanganku. Sila melebur dengan samar cahaya bulan di sela-sela tubuh burung-burung gereja yang terbang berbaris, lalu hinggap di atap pertokoan. Bangunan pertokoan itu sudah tua, gelap, dan seolah-olah tak berpenghuni. Aku pun tak membuang pandang.
Masih seperti dulu, pusat kota ini hanya hidup hingga petang, namun mati di malam hari. Beberapa wanita berdandan menor tampak menggoda setiap lelaki yang lewat. Pedagang-pedagang kaki lima di sudut pertokoan, berbaring di dalam gerobak miliknya menanti pembeli. Bau comberan di parit-parit depan pertokoan itu, berhamburan keluar, menyengat.
Masih seperti dulu, pusat kota ini hanya hidup hingga petang, namun mati di malam hari. Beberapa wanita berdandan menor tampak menggoda setiap lelaki yang lewat. Pedagang-pedagang kaki lima di sudut pertokoan, berbaring di dalam gerobak miliknya menanti pembeli. Bau comberan di parit-parit depan pertokoan itu, berhamburan keluar, menyengat.
Wanita-wanita di sini, dengan aroma parfum yang harum menyengat, memang tampil menawan. Tapi Sila, tetaplah gadis yang menjadi pusat perhatian di mataku, karena pancaran wajahnya. Ia bagai peti yang menyimpan cahaya. Beribu-ribu cahaya yang pernah singgah di lingkungan pertokoan ini, tak pernah lagi kembali, karena menyatu menyelubungi wajahnya. “Seharusnya aku bernyanyi di cafe malam ini.” Kata Sila. Wajahnya memancarkan keteduhan. Kulitnya putih bening, dengan rambut lurus sebahu, terlihat kesempurnaan wajahnya. Seolah membuktikan bahwa ia memang lahir pada malam bulan purnama.
Aku tak sanggup untuk menghiburnya. “Padahal aku sudah berlatih keras untuk dapat menyanyikan lagu yang rencananya akan kubawakan malam ini.” Kata Sila. Matanya kini menatap jalanan tempatnya berpijak. “Seandainya saja bos tidak termakan hasutan perempuan itu...”
“Barangkali ini ujian untukmu. Aku yakin kelak, kau akan menjadi penyanyi terkenal.” Cepat aku memotong kalimat yang diucapkannya. Sila berusaha menyembunyikan kegundahan di balik wajah lembutnya, wajah yang bersinar, disiram cahaya bulan.
Kami berjalan ke arah salah satu pelataran toko. Cahaya lampu jalan serupa pancaran sinar purnama, menerangi langkah kami. Seorang laki-laki berambut panjang dengan jaket kulit hitam melintas, memetik senar gitar, menyanyikan lagu balada. Sila tampak sinis menatap, namun matanya lekat mengikuti jejak si musisi jalanan. Laki-laki itu berangsur-angsur mengecil, lalu hilang ditelan jarak.
“Lebih enak menjadi pengamen, meskipun bersaing satu sama lain, tapi tetap berteman.” Ucap Sila. Matanya memang memandang ke depan, tapi aku yakin tatapannya kosong. Aku hanya diam, mencoba memaklumi perasaannya.
“Barangkali ini ujian untukmu. Aku yakin kelak, kau akan menjadi penyanyi terkenal.” Cepat aku memotong kalimat yang diucapkannya. Sila berusaha menyembunyikan kegundahan di balik wajah lembutnya, wajah yang bersinar, disiram cahaya bulan.
Kami berjalan ke arah salah satu pelataran toko. Cahaya lampu jalan serupa pancaran sinar purnama, menerangi langkah kami. Seorang laki-laki berambut panjang dengan jaket kulit hitam melintas, memetik senar gitar, menyanyikan lagu balada. Sila tampak sinis menatap, namun matanya lekat mengikuti jejak si musisi jalanan. Laki-laki itu berangsur-angsur mengecil, lalu hilang ditelan jarak.
“Lebih enak menjadi pengamen, meskipun bersaing satu sama lain, tapi tetap berteman.” Ucap Sila. Matanya memang memandang ke depan, tapi aku yakin tatapannya kosong. Aku hanya diam, mencoba memaklumi perasaannya.
Cahaya yang menerangi pelataran toko tempat kami berdiri, meredup. Lampu di atasnya telah dipadamkan oleh sang pemilik. Tinggal lampu jalanan, bias sinar rembulan dan tusukan cahaya bintang yang kini menerangi kami. Dengan mata terpejam, Sila merenungkan kembali apa peristiwa pedih satu jam yang lalu, saat ia harus terpaksa meninggalkan pekerjaannya, dipecat oleh pemilik cafe secara sepihak. Sila membayangkan peristiwa itu dengan tubuh tertahan. Lama-kelamaan, raut penderitaan muncul. Aku menyaksikan air mata bergulir di wajahnya yang lembut.
Masih dengan keadaan jiwa yang terpecah belah, Sila berjalan meninggalkanku begitu saja, menyusuri trotoar dengan cepat, sambil menundukkan wajah. Aku dengan sigap langsung mengejar dan mencoba menghentikan langkahnya, berharap ia akan mengadukan kesedihan hatinya. Tapi ia tetap melangkah. “Kau pulang saja, jangan ganggu aku!” Pintanya. “Apa kau memang tak memerlukanku?” Aku masih mencoba mengejarnya. “Kau bukan siapa-siapa. Sekalipun kau kekasihku. Aku tetap tak mau diganggu oleh siapa pun.” Ujarnya, semakin mempercepat langkah.
“Jadi, untuk apa kau memintaku menjemput lebih awal?”
Tersentak, ia mendengar ucapanku. Aku tahu, ia mulai menyadari ada sesuatu yang salah dilakukannya. Apalagi ia tahu aku tadi terpaksa meninggalkan teman-temanku di warung kopi, karena harus menjemputnya. Tapi, kesadaran itu tak cukup mampu menghentikan langkah kakinya yang terus meninggalkanku.
Aku tahu, aku bukanlah siapa-siapa. Aku hanyalah tukang ojek pribadinya yang harus siap sedia mengantar dan menjemputnya bekerja. Seiring berjalannya waktu, kebersamaan kami berubah menjadi kedekatan. Aku yang pada awalnya diupah sebesar dua ratus ribu per bulan, mulai merasa enggan menerima pemberiannya.
Melihat perubahan sikapku, ia mencoba mencari tahu, dan bertanya, “Kenapa sih, belakangan ini, tiap kali aku memberi uang, kau selalu menolak?” Aku tak pernah menjawab pertanyaan itu, hingga sekarang. Entah karena pertanyaannya tak pernah kujawab, atau karena aku yang selalu siap membawanya kemana saja, meskipun bukan untuk bekerja. Ia akhirnya luluh, “Ya, sudahlah, kalau begitu maumu, aku sih oke-oke saja. Siapa yang tidak mau dapat ojek gratisan?”
Saat Sila mengatakan hal itu, Aku sebenarnya sedikit tersinggung. Aku merasa bukan tukang ojeknya lagi. Sekalipun aku bersedia mengantar dan menjemputnya, hal itu kulakukan, semata-mata untuk menunjukkan bahwa aku adalah seorang teman yang baik dan mau menolong tanpa pamrih. Aku ingin ia menyadari hal itu. Tapi, tak sampai hatiku untuk mengatakannya, karena takut ia merasa tak enak hati, lalu menghindar dariku.
Hati dan pikiran seseorang tak pernah tetap. Sila yang tadinya masih menganggap aku tukang ojek pribadinya, malah seolah tak mampu hidup tanpa diriku. Satu hari saja aku tak ada di sisinya, entah itu karena sakit atau karena aku sedang ke luar kota, ia seperti kehilangan pegangan, setiap dua jam sekali menelpon untuk sekadar bertanya kabar atau menceritakan segala sesuatu yang dialaminya saat menjalani hari-hari tanpa diriku.
Saat ini pun demikian, ia yang tadinya memintaku menjemputnya dan mengajakku pergi ke tempat yang sunyi ini. Sekarang, malah meninggalkanku begitu saja. Kemana dia? Kendaraan apa yang ditumpanginya? Bagaimana keadaannya sekarang? Semuanya. Aku tak tahu sama sekali. Dalam pikiranku sedang berpadu bimbang dan cemas.
Cahaya bulan mulai memudar saat tengah malam, ketika ruas jalan di depan pertokoan menyepi. Hiruk pikuk nyanyian burung gereja satu persatu meninggalkanku. Yang tersisa hanya beberapa ekor kelelawar, terbang hilir mudik memotong siulan angin. Beberapa pedagang kaki lima, meninggalkan gerobaknya dan pulang. Ada yang ceria karena banyak barang dagangannya yang laku, adapula yang menggerutu karena tak banyak barang dagangannya terjual dan adapula yang menunjukkan raut wajah datar, seolah tak memikirkan apapun.
Aku memutuskan untuk pulang, namun aku tetap akan menyisir jalanan, berharap menemukan Sila dan mengajaknya pulang. Tiba-tiba, sebuah mobil sedan mewah, berhenti tepat di depanku. Rupanya sang pemilik cafe. Dia lantas, menghampiriku. Raut wajahnya berbeda. Sepertinya, ada kegundahan dalam dirinya, “Kamu lihat Sila?” Tanyanya, ketika menghampiriku. “Dia pergi berjalan kaki ke arah sana.” Jawabku, sambil menunjuk ke arah tikungan.
“Mestinya kau tak membiarkannya pergi sendiri. Bagaimana jika terjadi apa-apa pada dirinya? Bagaimana kau ini?” Kata pemilik cafe. Ditinggalkannya aku begitu saja. Seharusnya kau berdiri dulu di depan kaca, sebelum memarahiku, gumamku dalam hati.
Menyisir setiap ruas jalanan dengan perlahan, dari kejauhan aku melihat sosok Sila sedang berjalan kaki, melangkah pelan, sambil menjinjing tas merah kesayangannya. Meskipun beberapa pengendara menggodanya, tapi untunglah, tak ada satupun yang berniat kurang ajar. Ia terus berjalan. Aku tahu, hatinya pilu. Seandainya saja dia mendengarkan nasehatku, perihal perangai Yumi, penyanyi saingannya itu, tentu kejadian malam ini tak akan terjadi. Ketenangan memang dibutuhkannya malam ini. Dalam sedih ia memang senang menyendiri. Aku tahu itu. Ketika beberapa bulan lalu ia tak sudi berbicara dengan siapapun, setelah memergoki pacarnya tengah berduaan mesra dengan wanita lain, ia pun demikian. Apakah kali ini ia juga merasakan kesedihan yang sama?
Aku tak tahu, apakah ia akan terus melangkah, berhenti atau memakiku. Denyut jantungku kencang berdetak hingga terasa di permukaan kulit. Suara motorku perlahan tenang, namun gemetar. Tetap saja sosok itu terus berjalan. Sila tak berkenan untuk dihampiri. Tetap menyusur pelan di belakangnya, aku memandangi setiap ruas trotoar yang beberapa diantaranya sudah mulai retak, dan tampak pula bekas-bekas bungkus rokok, dilindas begitu saja oleh Sila.
Dinginnya angin mengabarkan kedatangan dini hari, ia seperti menyerahkan peristiwa menyakitkan itu termakan alam. Aku memberanikan diri untuk mendekati. Ia justru semakin melenyapkan diri dalam balutan kediaman, seperti tak mendengar ada kepedulian bersuara di sampingnya. Ia terus melukis kepedihan, lewat langkah kaki yang perlahan.
Aku sedikit mendahuluinya, memandangi wajahnya. Ia hanya memandang ke bawah, menahan derai-derai air mata. Kecantikannya tak lantas luntur. Ia justru menjelma menjadi seorang putri, penuh pengorbanan, sekalipun menangis, tetap merawat dengan setia sang pangeran pujaan hati, yang terluka karena berperang. “Aku tak memintamu mencariku.” Kata Silas ketus. “Aku tak mencarimu. Aku hanya kebetulan lewat dan melihatmu.” Kataku, sambil menjaga keseimbangan motor yang kukendarai.
Memang tak ada keinginan Sila untuk memintaku mencarinya. Ia membiarkanku tetap mengiring di sampingnya. Aku terus memandanginya sesekali melihat ke depan, agar tak celaka. Ia terus berjalan dan tak mau ambil peduli dengan kehadiranku. “Apa kau cukup mampu menghiburku?” Tanya Sila, setengah menantang. “Aku ditusuk dari belakang. Telah lama sebenarnya aku ditepikan, telah lama pula aku merasa diasingkan, dan sepertinya, telah lama pula bos ingin memecatku.” Lanjutnya.
Suara Sila berat, menusuk, dan tak tersekat. Ia seolah kehilangan kemampuan untuk menyembunyikan kesakitan yang menyerang di bilik hati. Lewat kata-katanya, aku memahami betapa sakit dikhianati Yumi, seorang sahabat, yang tak lain adalah sepupunya sendiri, anak dari adik ayahnya, yang dulu terseok-seok hidup di kota, tanpa pegangan hidup. Sebelum akhirnya Sila, membawanya ikut bekerja di cafe, menjadi penyanyi, untuk menghibur para pengunjung yang sedang asyik menyantap hidangan.
Menjelang dini hari, rembulan memudar, udara menelurkan embun. Aku mengajak Sila pulang. Kali ini ia tak menolak. Namun, aku tak ingin menoleh ke bawah, menyalah artikan dekapan kedua tangannya yang erat di pinggangku. Lain kali barangkali, aku akan mengabarkan pada Sila, bahwa aku sudah memiliki sebuah restoran, dan memintanya mendampingiku mengelola restoran itu, hingga pada akhirnya kami menghasilkan keturunan, yang dapat meneruskan usaha kedua orang tuanya.
September, 2007
PROFIL PENULIS
Nama Lengkap : Eko Amriyono
Nama Panggilan : Eko
Asal : Pontianak
Tempat dan tanggal lahir : Pontianak, 24 April 1984
Alamat : Jalan Gusti Hamzah, Gang. Pancasila 5, Pontianak, Kalimantan Barat.
Aktivitas Seni : Dewan Penasehat Komunitas Seni Jalan Lain (KSJL) STKIP PGRI Pontianak.
Karya Seni yang Pernah Dipublikasikan :
Puisi dan Cerpen di Surat Kabar Lokal Kota Pontianak
Naskah teater berjudul "Tutup?" yang dimainkan di Aula STKIP PGRI Pontianak
Naskah komed "Bantal Ember" Adaptasi dari ide cerita seorang sahabat yang juga seorang cerpenis di Kota Pontianak (Kalimantan Barat)
Facebook : Eko Amriyono
Email : zpublisher@ymail.com
Twitter : @ekokasjel
Nama Panggilan : Eko
Asal : Pontianak
Tempat dan tanggal lahir : Pontianak, 24 April 1984
Alamat : Jalan Gusti Hamzah, Gang. Pancasila 5, Pontianak, Kalimantan Barat.
Aktivitas Seni : Dewan Penasehat Komunitas Seni Jalan Lain (KSJL) STKIP PGRI Pontianak.
Karya Seni yang Pernah Dipublikasikan :
Puisi dan Cerpen di Surat Kabar Lokal Kota Pontianak
Naskah teater berjudul "Tutup?" yang dimainkan di Aula STKIP PGRI Pontianak
Naskah komed "Bantal Ember" Adaptasi dari ide cerita seorang sahabat yang juga seorang cerpenis di Kota Pontianak (Kalimantan Barat)
Facebook : Eko Amriyono
Email : zpublisher@ymail.com
Twitter : @ekokasjel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar