PELAJARAN UNIK
Karya Apit Nopiyanti
Cerita pendek, itulah dua kata yang membuatku pusing belakangan ini. Tugas akhir semester untuk pelajaran Bahasa Indonesia ini sangat membuat otakku berpikir keras. Cerpen yang dibuat harus berdasarkan pengalaman pribadi. Itulah inti dari permasalahanku. Pengalaman pribadiku bukanlah sesuatu hal yang menarik untuk dijadikan cerpen menurutku. Tugas ini mungkin sangatlah mudah bagi teman-temanku yang lain. Apalagi Riri. Riri adalah sahabatku yang paling dekat. Ya, dia adalah orang yang sangat periang dan ekspresif. Banyak cerita unik yang ia alami. Mulai dari cerita cinta pertamanya di SD, ketinggalan bus saat study tour di SMP, hingga memenangkan kuis konyol di majalah. Semua ceritanya menarik bagiku. Tidak heran mengapa ia dapat dengan mudah menulis cerpennya. Dia sudah menyelesaikan tugas ini sejak seminggu yang lalu. Sedangkan aku belum mulai menulis apapun. Setiap hari Riri selalu mengingatkanku untuk segera menyelesaikan cerpenku karena tinggal dua minggu lagi harus sudah dikumpulkan. “Risa! Cepetan selesain cerpennya.
Tinggal dua minggu lagi. Emang dikira gampang cari inspirasinya, ayo cepetan dikerjain Ris!”, omel Riri tiap hari padaku. Sebenarnya aku juga ingin cepat-cepat menyelesaikannya, tapi ya bagaimana lagi. Pikiranku terasa tersumbat. Aku tidak bisa menemukan ide apapun. Sempat terlintas olehku untuk menulis apa saja yang bukan merupakan pengalaman pribadiku. Menurutku itu tidak terlalu buruk. Toh Pak Harun, guru Bahasa Indonesiaku tidak akan tahu kebenaran ceritaku itu. Tapi akhirnya aku berpikir dua kali untuk melakukannya karena cerita Riri tempo hari. Riri bilang bahwa Pak Harun bisa mengetahui mana cerita yang palsu dan asli. Jelas aku tidak percaya, bagaimana mungkin, memangnya ia seorang cenayang? Tapi, Riri bercerita kalau beberapa orang di kelas sebelah sudah menjadi buktinya. Mereka semua mendapat omel dari Pak Harun. Riri menceritakannya dengan serius tanpa ada ekspresi bercanda. “Beneran Ris, mau kayak mereka? Ih Riri sih ogah”, katanya menakuti.
Sepanjang perjalanan pulang sekolah, pikiranku masih tertuju ke tugas cerpenku. Aku paling tidak suka dengan urusan karang-mengarang. Apalagi masalah pengalaman pribadi. Menurutku, cerita hidupku itu terlalu datar untuk dijadikan sebuah cerpen. Setahuku cerpen haruslah menarik, penuh kejutan, dan berkesan. Lalu, kalau harus berdasarkan pengalaman pribadiku, menyerahlah aku. Kuputar otak mengingat hal menarik apa yang pernah kualami untuk dijadikan bahan cerpen. Lama aku berpikir. Dan hasilnya kosong, aku tidak bisa menemukan hal apapun yang menarik.
Malam harinya aku mencoba mencari inspirasi dengan membaca cerpen di majalah, mencari di internet, hingga menghayati drama di televisi. Tidak ada yang berhasil. Semua cerita yang kulihat itu terlalu langka bagiku. Mengapa? Ya, karena aku merasa tidak pernah dan tidak akan mungkin mengalaminya. Mulai dari cerita cinta pertama yang ditemui dengan cara yang unik, seorang biasa bisa hidup bersama seorang yang hebat, seseorang yang sederhana bisa dicintai seseorang yang sempurna, keberhasilan menggapai mimpi, keberuntungan yang tiada henti. Ah semua itu terlalu wah bagiku. Seperti yang kubilang tadi, terlalu indah untuk jadi kenyataan. Dan akhirnya aku menyerah dan memutuskan untuk tidur.
Keesokan harinya seperti biasa, Riri menginterogasiku lagi. Aku bilang menyerah, dan menceritakan semua yang membebaniku. Mulai dari caraku mencari inspirasi melalui majalah, internet, dan televisi hingga kejengkelanku akan cerita hidupku yang sedatar papan triplek sehingga membuatku harus jungkir balik untuk membuat sebuah cerpen. Mendengar ceritaku, Riri geram dan mengomel. “Risa, Risa, emang ada apa sih sama hidup lo? Kayaknya asik-asik aja. Lo aja yang aneh. Emang lo mau punya kehidupan kayak drama di tv? Hah?”, omelnya. Mendengar perkataan Riri, aku jadi berpikir, andaikan semua cerita itu bisa terjadi di hidupku, mungkin akan menarik. Setiap hari penuh dengan kejutan yang tak pernah kubayangkan.
Biasanya aku pulang bersama Riri. Tapi hari ini Riri harus pergi ke rumah saudaranya. Jadi terpaksa aku pulang sendiri. Hari ini aku memutuskan untuk pulang lewat jalan lain yang lebih jauh, sehingga aku bisa jalan lebih jauh. Menurutku, mungkin saja dengan hal itu aku bisa mencari inspirasi cerpen dengan lebih mudah. Lagi-lagi cerpen. Aku ingin cepat-cepat menyelesaikannya. Tugas ini sangat membebaniku. Saat aku berjalan sambil merenung, tiba-tiba seseorang menyapaku. “Arisa? Arisa kan?”, sapanya ramah. Aku mencoba fokus dan melihat siapa yang menyapaku. “Andi??”, jawabku heran. “Hai Ris, gimana kabarnya? Udah lama banget ya ga ketemu.”, balasnya. “Apa? Ah iya baik. Iya lama banget.”, jawabku bingung. “Oh ya gimana sekarang sekolahnya?”, tanyanya sambil tersenyum. “Hmm, ya gitu biasa aja haha”, jawabku singkat. “Oh gitu, haha. Eh iya duluan ya Ris, ga nyangka bisa ketemu disini.”, katanya ramah. “Oh iya Di haha”, jawabku masih bingung. Andi pun pergi dan aku masih kaget bercampur bingung. Itu Andi, teman lama yang sangat lama. Sudah hampir tiga tahun aku tidak bertemu dengannya. Dan yang lebih anehnya, dia menyapaku seperti itu. Dulu kami jarang bertegur sapa seperti itu. Penyebabnya sangat konyol, sikap anak kecil yang karena persaingan kecil dan masalah tidak jelas bisa dengan mudah menyebabkan permusuhan tanpa ujung. Dan kami malu untuk saling meminta maaf. Tapi tadi, Andi menyapaku ramah. Itulah sebabnya aku heran dan salah tingkah. Aku senang akhirnya kami bisa bertingkah normal tanpa harus malu dan menjaga citra seperti dulu. Aku tak sabar ingin menceritakan hal ini pada Riri. Riri juga mengenal Andi, karena dulu kami juga satu sekolah.
Keesokan harinya aku menceritakan kejadian itu kepada Riri. Riri kaget dan sangat antusias mendengarnya. Ia sangat penasaran dan memberondongku dengan sejumlah pertanyaan. “Eh demi apa? Ya ampun, sekarang dia kayak gimana? Udah ga kaku gimana? Ramah gitu? Aduh jadi penasaran deh Ris”, tanya Riri panjang. Sebenarnya aku agak sedikit bingung dengan reaksi Riri barusan. Aku mulai berpikir jangan-jangan Riri menyukai Andi. Pada awalnya Riri dengan cepat menyanggah dugaanku itu, tapi setelah kupancing lagi akhirnya ia mengaku. Jadi, cinta pertamanya yang selama ini ia ceritakan kepadaku adalah Andi. Aku benar-benar kaget. Sebenarnya aku agak sedikit kecewa karena Riri baru menceritakannya sekarang. Dulu Riri pernah bercerita bahwa ia sangat menyukai orang itu, yang sekarang kuketahui yaitu Andi. Riri sangat mengaguminya, dan tidak ada orang lain yang bisa menarik perhatiannya seperti Andi. Setiap mendengar ceritanya itu, aku selalu senang. Bahkan pernah aku berpikir untuk menjadi mak comblang Riri dengan orang itu. Ya, karena aku tahu seberapa sukanya Riri terhadap orang itu. Tapi, setelah aku tahu orang itu adalah Andi, hmm aku jadi agak sedikit bingung dan malas untuk memikirkannya. Aku juga tidak tahu kenapa.
Hari ini aku tidak pulang sendiri lagi, karena ada Riri. Dan tak kusangka, sepulang sekolah kami bertemu dengan Andi. Aku sangat kaget dan merasa ini terlalu aneh, terlalu kebetulan seperti adegan di sinetron saja. Andi tersenyum dan menyapa kami berdua. Aku menengok ke arah Riri, dan benar saja, Riri tampak sangat senang dan membalas sapaan Andi dengan sangat semangat. Aku hanya bisa tersenyum aneh. Mereka mengobrol lumayan panjang. Aku baru tahu ternyata mereka berdua bisa sedekat ini. Aku lama-lama bosan dan tanpa kusadari aku menarik tangan Riri dan memaksanya pulang. “Andi, kita duluan pulang ya, udah sore”, kataku cepat. Riri bingung dan heran, tapi karena tarikanku lumayan keras, Riri tidak bisa mengelak. Riri agak sedikit kesal dengan sikapku tadi. Ia bertanya kenapa aku harus menariknya buru-buru. Aku juga bingung dan tidak bisa menjawab apa-apa.
Semalaman aku tidak bisa tidur memikirkan pengalamanku hari ini. Hari ini tidak seperti biasanya yang berjalan normal. Hari ini agak aneh menurutku. Mulai dari pengakuan Riri, pertemuanku dan Riri dengan Andi, sampai sikap anehku menarik Riri tadi. Benar-benar aneh pikirku.
Besoknya di sekolah, tampaknya Riri sudah tidak terlalu kesal denganku. Ia menghampiriku sambil tersenyum lebar. “Risa, Risa, aduh senangnya kemarin akhirnya bisa ketemu sama Andi juga. Iya loh beneran beda dia sekarang. Jadi bisa ngobrol gitu hehe. Tapi, kenapa sih harus ada tarik-tarikan kemarin?”, tanya Riri penasaran. Aku menjawabnya dengan tenang, “Oh ga, ya karena kemarin itu udah sore.”
Waktu istirahat tiba, Riri menghampiriku. Dan, lagi-lagi ia bercerita tentang Andi. Awalnya aku maklum, tapi lama-lama ia semakin menjadi. Dan tanpa kusadari aku menerobos, “Aduh Ri, capek deh dengerin cerita Andi mulu dari tadi. Ga ada topik lain apa? Emang segitu senengnya apa ketemu sama dia sampai seharian diceritain melulu?” Seketika Riri diam dan ekspresi wajahnya berubah muram. Ia pun pergi meninggalkan mejaku tanpa berkata apapun.
Sepanjang sisa pelajaran Riri diam dan muram. Ia tidak mau menoleh ke arahku. Setiap kutanya ia selalu menghindar. Aku pusing dan merasa bersalah dengan ucapanku ke Riri tadi. Aku merasa sangat jahat berkata seperti tadi. Dan sepertinya Riri marah besar kepadaku.
Semenjak kejadian itu, Riri seakan sangat menjauhiku. Sudah lima hari kami tidak pulang bersama lagi. Aku sudah mencoba meminta maaf padanya, tapi ia sepertinya tidak mendengarkanku. Aku sadar bahwa ucapanku waktu itu memang sangat keterlaluan. Harusnya aku tidak bersikap seperti itu, apa salahnya mendengar cerita kebahagiaan sahabat sendiri. Aku juga sebenarnya tidak tahu alasanku bersikap kasar begitu. Aku sungguh menyesal. Riri adalah sahabat terdekatku, ia sudah seperti saudara perempuanku. Kami selalu mengobrol bersama, bekerja bersama, tertawa terbahak-bahak bersama. Dan saat ia menjauhiku, itu sangat tidak menyenangkan. Aku merasa tidak nyaman dan malas melakukan apapun. Apalagi di sekolah. Aku tidak fokus, dan pikiranku melayang-layang. Aku semakin sulit menemukan ide untuk cerpenku. Padahal batas waktu pengumpulan semakin dekat. Hah, semua kacau. Semua terbengkalai. Masalah baru setiap hari muncul. Aku jadi rindu kehidupanku yang sederhana dan tidak aneh-aneh seperti sekarang. Mengapa waktu itu aku kesal dengan kehidupan yang kupunya, dengan mudahnya aku bilang hidupku sedatar papan triplek. Hah, aku baru sadar kehidupanku dulu sebenarnya lebih menyenangkan, hanya saja aku yang kurang mensyukurinya.
Saat sedang termenung memikirkan hal itu, Riri tiba-tiba menghampiriku. Ia tersenyum dan berkata, “Gimana Ris, udah bosen sama cerita sinetron yang Riri buat? Ga enak kan?” Aku bingung mendengar ucapan Riri. “Iya, cerita tentang sahabat yang ternyata menyukai orang yang sama-sama disukai, bertingkah aneh sampai bikin sahabatnya itu marah terus ngejauhin dia, semua terbengkalai, sampai cari ide buat cerpen gadapet-dapet karena menurutnya hidupnya terlalu datar”, lanjutnya panjang. Aku terbelalak karena akhirnya aku mengerti maksud ucapan Riri. “Iya Ris, Riri Cuma pura-pura. Pura-pura bilang kalau Riri suka sama Andi, pura-pura ngobrol deket sama Andi, sampai pura-pura marah sama Risa waktu itu. Haha, akting Riri keren ya?”, jelas Riri. “Tapi buat apa Ri?”, balasku lemas. “Ya, Cuma mau bikin Risa sadar kalau ga semua yang kita lihat menyenangkan itu bener-bener menyenangkan. Banyak hal menarik yang tanpa kita sadari terjadi loh sama kita. Jadi, jangan ngiri sama kehidupan kayak di cerpen majalah, atau drama di televisi Ris. Ga enak kan?”, ceritanya lebar lalu tersenyum. Karena terlalu senang bahwa ternyata Riri tidak benar-benar marah padaku, aku terdiam dan memeluk Riri. Riri tertawa dan berkata, “Maaf ya Ris, jadi bikin sedih dan pusing belakangan ini haha.” “Huh, dasar. Tapi ya, yang harus anda tahu. Saya tidak menyukai Andi seperti yang anda pikir. Inget itu!”, omelku. Riri hanya tertawa mendengar omelanku itu.
Aku tidak menyangka Riri punya cara seunik ini untuk memberi pelajaran bagiku. Caranya benar-benar ampuh dan terbukti. Aku berterima kasih sekali kepada Riri karena banyak hikmah yang kudapat dari cerita drama yang dibuatnya untukku. Selain sekarang aku sadar akan pentingnya mensyukuri hidup, sekarang aku juga sudah punya ide untuk dijadikan bahan menulis cerpenku. Ya, aku akan menulis tentang pengalamanku ditipu Riri.
-SELESAI -
PROFIL PENULIS
Saya pelajar SMA yang baru naik ke kelas XII. Umur saya kira-kira 17 tahun. Cerpen ini merupakan cerpen karangan saya sendiri yang saya buat untuk memenuhi tugas Bahasa Indonesia. Kebetulan cerpen saya ini kurang lebih berdasarkan pengalaman pribadi, tapi tidaksemuanya hehe. alamat fb apit.nopiyanti@gmail.com
Saya pelajar SMA yang baru naik ke kelas XII. Umur saya kira-kira 17 tahun. Cerpen ini merupakan cerpen karangan saya sendiri yang saya buat untuk memenuhi tugas Bahasa Indonesia. Kebetulan cerpen saya ini kurang lebih berdasarkan pengalaman pribadi, tapi tidaksemuanya hehe. alamat fb apit.nopiyanti@gmail.com
Baca juga Cerpen Remaja yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar